Thursday, March 20, 2008

Nonton Penuh Kritik

Dua ekor firakh masywi ludes, hanya menyisakan belulang. Dalam rangka tasyakuran atas komputer baru Irfan dan Taufik, aku ikut ambil bagian dalam pesta “berayam panggang” ini. Di tengah hingar bingar makan besar, Mas Afif pulang. Yang membikin aku senang tak kepalang, Pria asal Madura ini membawa copy film Ayat-ayat Cinta (AAC)!

Aku yang tinggal di New Cairo melihat pulang malam-malam begini bukan solusi yang baik. Bukan karena krisis keamanan yang dewasa ini terjadi di Nasr City. Tapi lebih cenderung pada cuaca musim dingin yang tak bersahabat. Perjalanan ke rumahku juga memakan waktu yang cukup lama.

Bukan rahasia lagi kalau perut kenyang dan kasur empuk plus selimut adalah faktor utama penyebab kantuk. Dalam keadaan normal, tiga faktor di atas akan memindahkan seseorang ke dunia mimpi sekejap mata.

Namun godaan AAC mengusir kantuk jauh-jauh. Selentingan kabar bahwa film AAC jelek dan mengecewakan tidak kuindahkan. Film ini adalah obsesi keduaku setelah ketemu Habiburrahman El Shirazy di Cairo. Dibawah balutan selimut, aku dan Sobat Kuliner duduk manis menghadap monitor.

Tak terelakkan, aku kecewa melihat adegan demi adegan film besutan sutradara Hanung Bramantyo ini. Berbeda dengan gambaran kehidupan yang aku dapati sendiri di Mesir. Aku dan Sobat kuliner memang tak henti mengkritisi jalan cerita dan setting yang ditayangkan. Tapi kami maklum, Mas Hanung banyak menghadapi kendala dalam syuting AAC. Bahkan lokasinya dipindahkan ke India karena masalah dengan birokrasi pemerintah Mesir. Jalan cerita juga dipermak dan dipersingkat, sedikit berbeda dengan novel.

Dalam novel, yang menuntut Fahri ke pengadilan adalah keluarga Bahadur—ayah tiri Nouora—sedang di layar lebar, ayah kandung gadis ini yang melakukannya. Juga ada sisipkan rekayasa kecelakaan mobil yang disusun Bahadur untuk membunuh Maria. Tabrakan inilah yang menyebabkan Maria sakit parah hingga koma. Tokoh Tuan Boutros, ayah Maria juga ditiadakan dari skenario.


AAC menggambarkan Mesir—ini yang tidak di sukai kalangan Masisir—lebih kumuh dan sembraut disertai potongan-potongan padang pasir. Tidak ada gemerlap Abbasea, Nasr City atau Heliopolis. Yang ditampakkan hanya kawasan pinggiran sekitar flat Fahri saja.
Belum lagi adegan mesra antara Fahri dan Aisha atau Maria setelah menikah yang terlalu berlebihan. Tidak sampai melanggar batas-batas kesopanan memang. Namun bagi para konsumen film islami, beberapa adegan ini cukup menggangu.

Meski begitu, acungan jempol buat mas Hanung. Dengan segala keterbatasan yang ada, sineas muda ini sudah berbuat maksimal. Paling tidak mengobati kehausan akan sinema islami di dunia layar lebar tanah air yang kini disesaki roman-roman percintaan tanpa makna hidup.

Jam setengah 2 malam, kami baru tidur. Mudah-mudahan besok pagi bisa bangun cepat. Semoga!

No comments: