Friday, January 29, 2010

Bidik Kamera: Belajar! Ujian!

Menyalin Pelajaran

Kitab Keramat

Bila Suntuk Mendera

Diskusi

Ceret Jadi Saksi

Kekuatan Doa



Monday, January 25, 2010

Negeri 5 Menara: Mantera itu Bukan “Simsalabim”

Ahmad Fuadi Bersama Pimpinan Pondok Gontor, KH Abdullah Syukri Zarkasyi

Mati-matian Alif berkelit dari titah Amaknya (Ibu dalam bahasa Minang) agar masuk Madrasah selepas tamat Tsanawiyah (Sekolah Menengah Pertama). Keinginannya sudah tergantung tinggi di langit: Masuk SMA lalu kuliah di ITB Bandung kemudian jadi Insinyur seperti Pak Habibie!

Sungguh ibunya punya keinginan yang tidak kalah mulia. Ia ingin putra sulungnya menjejak langkah Buya Hamka, ulama besar Minang, mendalami ilmu agama. “Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk akhirat,” ujar ibunya bersikeras.

Sebagai langkah pemberontakan, Alif lebih memilih merantau ke Pondok Madani (PM), pondok pesantren modern di pedalaman Ponorogo, Jawa Timur daripada harus masuk madrasah. Padahal seumur-umur Alif belum pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Sebuah keputusan setengah hati yang Alif sesali, namun kemudian disyukurinya di kemudian hari.

Di PM Alif bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan bersama Raja dari Medan, Dulmajid dari Madura, Said dari Surabaya, Atang dari Bandung dan Baso dari Sulawesi, Alif menjalin persahabatan karib.

Setiap sore menjelang maghrib, Alif and the gank nangkring di bawah menara masjid. Mereka belajar bersama, membicarakan mimpi dan cita-cita, senda-gurau, sampai berbagi kesedihan.

Suka-duka Alif dan kelima kawannya belajar di PM lengkap dengan warna-warni kehidupan inilah yang menjadi pusat cerita Negeri 5 Menara (N5M). Novel karangan A. Fuadi ini memang diinspirasi dari kisah nyata selama penulis jadi santri di Pondok Modern Gontor, Ponorogo.

Keajaiban Man Jadda Wajada
Buang jauh-jauh bayangan santri yang kolot dan ketinggalan zaman. Fuadi menggambarkan anak didik PM sebagai para remaja berambut cepak yang keranjingan bahasa Arab dan Inggris sampai ke ubun-ubun. Tentengannya bukan hanya kitab hadits dan fikih saja, tapi ensiklopedi canggih Al Munjid plus Kamus Oxford setebal bantal. Mereka juga bisa menjelma dalam berbagai bentuk: orator ulung titisan Bung Karno, agen rahasia James Bond, wartawan amatir, juru sensor hingga Maradona yang hafal Al Qur’an.

Kehidupan PM yang dinamis dan disiplin, non-stop 24 jam memang bak perguruan shaolin di pedalaman Jawa Timur. Keras namun sarat hikmah dan bait-baik kebijakan.

Adalah mantera sakti “Man Jadda Wajada” yang merasuk sampai ke sumsum tulang para santri. Kalimat dalam bahasa Arab yang artinya “siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses” menyadarkan Alif dan kawan-kawan tentang perjuangan meraih sukses. Kerja keras, kreativitas, ketabahan dan doa menjadi multivitamin wajib dalam meraih mimpi di masa depan.

Man Jadda Wajada”, sebuah serum untuk sebagian generasi muda kita yang tersaruk-saruk diseret globalisasi. Generasi instan yang menurut penulis kawakan Gola Gong, “tinggal seduh langsung jadi”. Dunia tidak berubah begitu saja dengan ucapan Simsalabim Abrakadabra!

N5M juga menyuguhkan cara pandang baru terhadap pondok pesantren. Pesantren tidak ketinggalan zaman, tidak pula sekolah orang-orang buangan. Apalagi beberapa waktu belakangan, isu terorisme di Indonesia sempat membarikan stigma negatif lembaga pendidikan Islam ini. Beberapa pondok bahkan dituduh sebagai sarang para teroris.

Ulasan ini memang subjektif. Apalagi aku alumni Pondok Gontor seperti A. Fuadi. Jelas-jelas senior harus didukung he…he…he…. Tapi yang jelas saya berusaha menulis sebaik mungkin. Semoga berkenan.

Catatan:
-Terima kasih untuk Iqbal yang sudah membawa N5M jauh-jauh dari Tanah Air.
Musyakirin Awie!

-Foto diambil dari situs resmi www.negeri5menara.com

Thursday, January 21, 2010

Kang Abik Tak Mau Kecolongan Lagi

Catatan pembuka. Bisa dibilang tulisan ini ketinggalan zaman, berbulan-bulan setelah dua film KCB diputar ke hadapan masyarakat Indonesia. Maklum, namanya juga mahasiswa luar negeri. Jangankan nonton di bioskop, beli bajakan saja tak bisa.

Sempat sedikit geli ketika browsing poster film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) di Internet, ada stempel “Dijamin Asli Mesir” di sana. Terus terang agak sedikit norak. Tapi tindakan ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Besar kemungkinan pihak produser tidak ingin mengecewakan para pecinta novel-novel religi Habiburrahman el Shirazy, seperti saat film Ayat-ayat Cinta (AAC) dirilis.

Dari segi sinematografi, menurutku AAC yang juga diangkat dari buku Kang Abik—panggilan akrab Habiburrahman—, tidak begitu buruk. Mungkin nilai 7 dari 10 pantas disematkan. Cuma saja jalan cerita yang agak ‘menyimpang’ dari novel best seller itu membuat khalayak kecewa. Yang paling disesali para pembaca karya Kang Abik adalah langkah alternatif MD Pictures mengganti Mesir dengan India sebagai lokasi syuting. Fantasi indah para pembaca sontak buyar melihat film AAC garapan sutradara Hanung Bramantyo itu.

Kalau bisa jujur—tanpa mengesampingkan rasa kagumku pada Pak Chaerul Umam dan Kang Abik—, Aku tidak begitu puas dengan film yang menelan biaya hampir 20 milyar perak ini. Mungkin ini imbas dari keseringan menyantap film-film Holywood. Atau bisa jadi ini gejala trauma terhadap film-film horor-cabul yang beredar marak di bioskop tanah air.

Belajar dari AAC, Kang Abik tidak mau cerita di novelnya dipelintir sutradara seenak udel sutradara. Akhirnya ‘kepatuhan’Chaerul Umam pada novel yang membuat film ini terasa agak ‘kurang’. Banyaknya alur cerita yang padat dan terlalu berwarna membuat sebagian jalan cerita terkesan tidak fokus. Kasus serupa pernah terjadi dalam film The Da Vinci Code. Adaptasi dari novel dengan judul sama ini akhirnya menghasilkan rangkaian adegan yang terburu-buru. Potensi akting Tom Hanks dan Audrey Tatou pun tak tergali maksimal.

Novel dan film adalah dua media yang berbeda. Yang satu digerakkan oleh kata-kata, sedangkan yang lain mengeksplorasi suara dan gambar. Tidak semua film adaptasi dari novel tunduk pada cerita aslinya. Lihat saja Laskar Pelangi, Harry Potter, atau Trilogi The Bourne-nya Robert Ludlum yang harus banting setir beberapa derajat. Itu pula yang membuat KCB harus dibuat sebanyak dua seri, sama seperti novel. Lucu juga menyaksikan tulisan ‘to be continued’ terpampang di akhir KCB pertama karena cerita harus dilanjutkan ke KCB 2 yang rilis hari raya Idul Adha 2009 kemarin.

Tapi jangan sekali-kali menyamakan KCB dengan film setan murahan bikinan KK Dheraaj. KCB jauh lebih bermutu! Isinya sarat dengan nilai-nilai; perjuangan utama Azzam yang membanting tulang di Kairo demi adik-adiknya, bakti pada orang tua, kesucian cinta, jiwa enterprenuer sampai realita sosial kemasyarakatan.

Siap Lahir Batin untuk Kawin
Dalam KCB 1 penonton disuguhi pemandangan Mesir yang eksotis. Pantai biru Alexandria, Sungai Nil yang legendaris, monument-monumen peninggalan Islam, Piramid, Universitas Al Azhar berusia ratusan tahun sampai kost sederhana ala mahasiswa. Lebih menyenangkan, para tokoh juga berbahasa Arab dengan fasih.

Mengenai roman percintaan, bagian inilah yang cukup mendapat porsi terutama dalam KCB 2. Si Azzam di usianya yang hampir kepala tiga—setelah 9 tahun di Mesir—kalang kabut mencari jodoh. Untuk mendapat sang belahan jiwa, Azzam memakai metode Islami tanpa pacaran. Bagi sebagian penonton yang kurang memahami Islam memang agak bermasalah dalam bagian ini. Seakan Azzam berpetuah di sini, “Carilah istri kalau kehidupanmu sudah mapan”. Ya, Jadi pengusaha bakso sukses ternyata tidak menjamin Azzam mudah mendapat istri. Aku sendiri jadi sedikit khawatir tentang masa depanku setelah pulang ke Indonesia nanti. Jangan-jangan….

Ya, secara keseluruhan KCB 1&2 tidaklah buruk. Sebagai film Islami, KCB sudah bisa membahasakan pesan-pesan yang ingin disampaikan. Kekurangan memang masih banyak di sana-sini, tapi perpaduan antara aktor-aktor baru dan senior bisa saling menutupi. Angkat jempol buat M. Cholidi yang cukup berhasil menghidupkan tokoh Azzam dalam novel KCB dan Ibu Ninik L Karim yang mengingatkanku pada ibu di Banjarmasin.

Satu catatan sebelum lupa. Terima kasih untuk Pak Chaerul (atau siapapun) yang sukses memilah para aktris wanita dalam KCB. 80% perempuan-perempuan dalam KCB bening dan indah dipandang mata, terutama Meyda Safira dan Asmirandah. Gubrak!

Friday, January 15, 2010

Menanti Kejutan Benua Hitam

Kejutan dan kejutan. Turnamen Sepakbola Piala Afrika 2010 di Angola baru dibuka secara resmi 3 hari yang lalu, tapi hal-hal tak terduga seperti tak henti datang.

Dimulai oleh kasus penembakan bus tim nasional Togo yang menewaskan dua orang dan mencederai beberapa lainnya. Ulah para pemberontak di daerah Cabinda memaksa pemerintah Togo memanggil para pemain kembali ke negaranya. Emmannuel Adebayor dkk mau tak mau harus absen dari kejuraan ini demi keselamatan nyawa mereka.

Tak berhenti sampai disitu, pertandingan pembuka antara tuan rumah Angola dan Mali membikin bulu kuduk merinding. Delapan gol terjadi saat tuan rumah rela kehilangan kemenangan yang sudah di depan mata. Dengan heroik, Mali bisa menyamakan kedudukan saat tertinggal 0-4. Yang membuat geleng-geleng kepala, empat gol itu terjadi begitu saja dalam waktu 12 menit terakhir babak kedua!

Dua hari setelahnya, Aljazair yang sudah memastikan lolos ke Piala Dunia dilidas “tim antah berantah” Malawi tiga gol tanpa balas. Hal bertolak belakang 180 derajat diraih Mesir saat mengkandaskan Elang Super Nigeria 3-1.

Pertanyaan sempat kembali mengemuka: siapa yang lebih pantas masuk Piala Dunia 2010, Mesir atau Aljazair? Entah. Padahal, babak play-off kualifikasi Piala Dunia 2010 zona Afrika antar kedua negara yang panas dan sarat kontroversi sepertinya baru saja berlalu. Aljazair harus melalui perjalanan ‘berdarah-darah’ untuk lolos ke pesta empat tahunan sepakbola terakbar sejagat itu. Penyerangan bus tim nasional Aljazair di Kairo dan isu kekerasan terhadap pendukung Mesir di Khartoum, Sudan masih terngiang anyirnya.

Kedua kesebelasan pun sudah saling balas-membalas kemenangan di kandang masing-masing. Pertandingan penentu akhirnya digelar di tempat netral. Stadion Omm Durman, Sudan pun jadi saksi akhir segala prahara ini. Gol cantik Antar Yahia memanfaatkan umpan panjang Karim Ziani membuat membuat pesta berkobar di Aljazair.

Inkonsistensi Firaun
Ngomong-ngomong
tentang Mesir, cap jago kandang benua Afrika sepertinya layak disematkan kepada anak asuh Hassan Shehata ini. Bagaimana tidak, para Fir’aun begitu perkasa di benua hitam dengan titel 6 kali juara Afrika. Padahal komposisi mereka tak seglamor tim nasional lain yang bertabur bintang liga Eropa macam Nigeria, Aljazair, Kamerun, Pantai Gading atau Ghana. Anehnya, ketika berlaga di kancah internasional, mereka melempem seperti kerupuk terkena air. Yah, sekali lagi, bola itu bundar.

Kembali lagi tentan Piala Afrika, semoga saja kejutan terus berlanjut. Kita nantikan apa lagi yang akan terjadi sampai final tanggal 30 Januari mendatang.

Wednesday, January 6, 2010

Siaran Langsung Indonesia vs Oman

Pertandingan Oman vs Indonesia leg pertama yang berkesudahan 0-0

Indonesia vs Oman

Disiarkan Langsung RCTI dari Stadion Utama Gelora Bung Karno
Waktu: jam 18:00 - 20:30 Waktu Indonesia Barat/ 13.00-15.30 Waktu Kairo

NONTON LIVE STREAMING dari INTERNET
http://imediabiz.tv
http://watchs-tv-online.blogspot.com/search/label/RCTI%20TV%20Online#
http://www.binus-access.com/our-services/bee-watch.html


Nasib Tim Nasional Sepakbola Indonesia di Kualifikasi Piala Asia 2011 terancam. Bagaimana tidak, Dari empat pertandingan, Merah Putih hanya meraup poin tiga, hasil dari tiga kali seri. Sedangkan dua partai sisa, Indonesia akan menghadapi dua lawan tangguh: Juara Piala Teluk 2009, Oman di Jakarta dan bertandang dijamu tuan rumah Australia.


Berat. Rekor selalu lolos dari ajang Piala Asia sejak 1996, 2000, 2004 dan 2007 bisa-bisa pupus. Apalagi penampilan timnas relatif menurun akhir-akhir ini. Indonesia juga sudah jarang berujicoba melawan tim-tim tangguh dari luar negeri. Terakhir, beberapa pilar absen karena dibekap cedera dan akumulasi kartu--Budi Sudarsono, Isnan Ali, Maman Abdurrachman dan Ismed Sofyan.

Tapi, maju tak gentar Bung! Itu semua hanya di atas kertas. Di atas rumput hijau, semua bisa terjadi. Timnas butuh dukungan masyarakat Indonesia di lapangan dan di manapun kita berada! Ayo Nonton!