Sunday, October 31, 2010

Pray for Indonesia

Sudah lama saya tidak mengutak-atik program Photoshop. Sambil menahan kantuk, jadilah grafis sederhana ini. (Sebenarnya meniru desain avatar Indonesia Unite!).
Semoga bangsa Indonesia dianugerahi ketabahan dan tawakkal atas segala musibah yang menimpa negeri ini.

Meraba Masa Indah SMU

"CATATAN AKHIR SEKOLAH"
Sutradara: Hanung Bramantyo
Pemain: Ramon J. Tungka, Marcel Chandrawinata, Vino G. Bastian
Produksi: Rexinema, 2005


Saya bukan lulusan SMU. Masa pendidikan menengah saya (SMP & SMU) terlewati di dua pesantren yang berbeda di dua pulau yang berjauhan pula. Gambaran kehidupan SMU –yang kata orang adalah masa paling indah dalam hidup remaja—hanya bisa saya “raba” melalui cerita teman, film atau pun kisah fiksi seperti novel dan cerita pendek.

Oleh karena itu, saya begitu bersemangat untuk menonton film “Catatan Akhir Sekolah”. Sekarang sudah tahun 2010. Mungkin banyak yang mengatakan saya ketinggalan zaman sebab ini adalah film lama, produksi 2005. Tapi tak apalah, toh film ini karya sutradara Hanung Bramantyo.

Saya pernah menonton film-film arahan suami aktris Zaskia Adya Mecca ini seperti Jomblo, Doa yang Mengancam, Kamulah Satu-satunya, Get Married 1 & 2, Perempuan Berkalung Sorban dan Ayat-Ayat Cinta. Meski di antara beberapa film tersebut ada yang menuai kontroversi, paling tidak masih bisa diterima “akal sehat”. Tidak seperti sinetron yang sudah menonjolkan—maaf—kedunguan dunia sinema. Sepengetahuan saya, karya Mas Hanung bukan “asal buat” seperti film horror atau komedi cabul yang marak belakangan.

Karena di Kairo tidak ada rental DVD film Indonesia seperti di tanah air, maka saya memanfaatkan koneksi internet melalui situs YouTube.

Adegan pembukaan sungguh memikat. Kurang lebih delapan menit saya disuguhi tayangan non-stop kehidupan SMA Fajar Harapan. Bermula dari gerbang terus berlanjut lorong, kelas, kantin, lapangan basket hingga toilet kamera terus berjalan membidik suasana sekolah khas remaja.

Akting pemain cukup alami—setidaknya menurut saya. Tidak sefantastis SMU dalam sinetron yang glamor; kemana-mana naik mobil mewah, persaingan murid jahat dan baik dan hal-hal di luar akal sehat lainnya. Di sini, para artis diarahkan untuk berdandan layaknya siswa normal, jajan di kaki lima, berjejal di bus, naik bajaj dan nongkrong di mall.

Sisipan Rohis

Cerita berpusat pada trio sahabat; Agni (diperankan Ramon J. Tungka) siswa berkacamata yang begitu berambisi dalam ekskul film. Arian (Vino G. Bastian), pengurus mading sekolah yang meledak-ledak dan suka bicara nyaring. Alde (Marcel Chandrawinata), si tampan pemalu yang jadi idola para gadis.

Mereka bertiga dianggap pecundang di sekolah alias cupu (Culun Abis, istilah remaja), meski secara tampang tidak terlalu cupu memang hehehe. Film-film Agni selalu dianggap tidak bermutu. Sedangkan Arian hanya diserahi tugas sebagai pemegang kunci mading dalam kelompoknya. Adapun Alde bermasalah dengan anggota ekskul band.

Akhirnya, mereka bertekad untuk membuat sebuah film dokumenter untuk tentang sekolah yang diputar dalam pentas seni (Pensi). Mereka ingin untuk membungkam teman-teman yang memandang mereka sebelah mata. Maka, berbekal kamera digital milik ibunya Alde mereka merekam keseharian para siswa. Tidak hanya kegiatan belajar dan ekskul, tapi juga kenakalan ala ABG. Momen-momen “gelap” SMU seperti mencontek di kelas, kabur saat jam pelajaran, rokok, narkoba hingga skandal kepala sekolah.

Namanya juga film, pasti ada bumbu cerita. Proyek tiga serangkai ini tidak semulus yang dikira. Puncaknya ketika terjadi konflik internal di antara mereka. Pembuatan film dokumenter bubar. Mereka kembali dipersatukan ketika Alde babak belur dihajar preman. Seperti film lainnya, cerita berakhir bahagia. Happy ending.

Belakangan, Hanung Bramantyo akrab dengan film-film bertema keislaman. Film-film religi semacam Ayat-ayat Cinta, Doa yang Mengancam, Perempuan Berkalung Sorban dan yang paling gres, biografi KH Ahmad Dahlan “Sang Pencerah”.

Bisa jadi, kecendrungan ini bermula sejak Catatan Akhir Sekolah. Ada adegan menarik saat A3 mewawancarai ketua ekskul rohis (Rohani Islam) di mushalla sekolah. Dengan lugu Agni bertanya, “Kenapa sih kita harus shalat?” “Bla…bla… bla… Shalat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar,” jawab ketua rohis yang berpeci putih dengan ayat yang fasih. Ajaib! Mereka yang sebelumnya bengal, ikutan shalat. Mungkin takut neraka.

Bagi teman-teman yang belum pernah mengecap bangku SMU seperti saya, Catatan Akhir Sekolah dengan segala kekurangannya bisa jadi salah satu referensi. Wallahua’lam.

Markus Murah Senyum

Markus Haris Maulana

Lihatlah dalam tayangan kiper-kiper tenar dunia seperti Oliver Kahn, Gianluigi Buffon atau Edwin van der Saar, tidak segan-segan berteriak membentak para pemain belakang. yang tidak becus menjaga pertahanan. Baik ketika diserang tim lawan atau kebobolan gol.

Tapi Markus Haris Maulana, penjaga gawang no. 1 tim nasional sepakbola Indonesia lain dari yang lain. Di saat-saat genting, dia masih sempat tersenyum. Sebenarnya tidak terlalu tepat disebut tersenyum, mungkin cuma “menyengir”.

Kemurahan senyum Markus tidak hanya ketika membela panji tim nasional. Saat bermain untuk klubnya PSMS, Arema sampai saat ini Persib Bandung, kebiasaan itu tidak hilang.

Karir Markus mencuat saat dipercaya pelatih Ivan Kolev tampil melawan Korea Selatan di ajang Piala Asia 2007. Saat itu kita hanya butuh hasil imbang untuk lolos ke babak perempat final. Malang, partai terakhir penyisihan grup Merah Putih harus menghadapi Korsel.

Gianluigi Buffon

Kebetulan saya sempat menonton pertandingan tersebut melalui siaran langsung. Bulu kuduk merinding. Putih mendominasi stadion. Kontras dengan dua pertadingan pertama dimana Stadion Gelora Bung Karno dipenuhi warna merah. Melawan tim Ginseng, Indonesia kebagian jatah memakai kostum putih karena Korea memperoleh kesempatan warna merah. Toh tidak mengapa, warna putih kan bagian dari bendera sang saka juga. Presiden SBY dan ibu Ani Yudhoyono juga turut hadir, memakai baju warna putih.

Hasil akhir: Indonesia takluk 0-1. Kalau bukan karena Markus yang berjibaku meloncat kesana kemari, mungkin Korea sudah pesta gol. Sejak saat itulah Markus selalu hadir di bawah mistar. Walau sering melakukan kesalahan vital (salah satunya saat dikalahkan Syiria 1-4 dalam kualifikasi Piala Dunia 2007) dan terlalu berani meninggalkan sarangnya, Markus tetap tak tergantikan.

Dalam kekalahan tragis dari Uruguay, Markus juga jadi penyelamat. Beberapa kali melakukan aksi gemilang, mencegah Luis Suarez dkk berpesta lebih dari 7 gol.

Alasan Markus

Iseng-iseng, pernah saya berbincang dengan seorang teman. Kami berdiskusi tentang arti di balik senyum seorang Markus.

  • Mengamalkan petuah dai kondang KH. Abdullah Gymnastiar. Ulama asal Bandung yang tenar dengan sebutan Aa Gym ini menitikberatkan kepada pensucian hati Istilah kerennya Manajemen Qalbu. Sebenarnya bukan Aa Gym saja yang menganjurkan senyum sebab menebar senyum memang dianjurkan dalam Islam. “Senyum-mu kepada saudara-mu adalah sedekah” demikian sabda Rasulullah SAW.
  • Mempunyai atau paling tidak pernah melihat kaos oblong bikinan Dagadu Djokdja tentang senyum. Kebetulan saya punya kaos model begini. Tulisannya:

“Senyum. Sesuatu yang indah dengan investasi 00,0 Rupiah.

Senyum. Kalau mau dapat kita lakukan setiap saat.

Senyum. Welcome di seluruh dunia. Apalagi di Djokdja.

Senyum. Senyum lebar rezeki lancar.”

  • Membayangkan kehidupan bahagia penuh kasih sayang setelah nikah dengan tunangannya. Markus memang sudah bertunangan dengan artis dan fotomodel Kiki Amalia. Rencananya perkawinan mereka akan berlangsung dalam waktu dekat.
  • Mencoba menghibur rekan setimnya agar terus semangat meski kalah dalam pertandingan.
  • Menunjukkan bahwa Markus adalah seorang penyabar dan memiliki mental yang kuat. Tidak cepat marah dan panik.
  • Markus memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan. Markus melihat Indonesia menjuarai Piala Dunia sekian tahun yang akan datang. Oleh karena itu dia tersenyum.
  • Mengetahui bahwa anda membaca tulisan ngawur ini!

Wallahu’alam. Garuda di Dadaku!

Sunday, October 17, 2010

Fans yang Gelisah: Mencari Urat Malu


Sedih dan kesal bercampur aduk. Tim nasional sepakbola Indonesia untuk kesekian kalinya gagal menang. Mau marah tidak ada gunanya. Ya… jelas-jelas lawan kita hari Jum’at (8/10) kemarin adalah Uruguay, peringkat empat Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Sedangkan tim Merah Putih ada di rangking 131.

Sebagian besar pemain Uruguay merumput di klub-klub Eropa. Nama beken seperti Luis Suarez (Ajax), Edison Cavani & Walter Gargano (Napoli), Diego Lugano (Fenerbache), Muslera (Lazio), Martin Caceres (Sevilla FC) atau Jorge Fucile (Porto) tentu akrab di telinga para penggila sepakbola. Merekalah aktor pembantaian timnas kita 1-7.

Harapan saya sempat melambung tinggi ketika di menit ke 17, Boaz Salossa lolos dari pengawalan Uruguay dan berhasil menipu kiper Castillo. 1-0! Saya dan kawan-kawan di flat yang menonton siaran langsung lewat streaming internet tercengang. Jangan-jangan ini mimpi, atau hanya skenario pemain Uruguay supaya tuan rumah terhibur.

Uruguay tersentak. Mereka mulai bermain serius, seakan-akan menghadapi Jerman dalam semifinal Piala Dunia kemarin. Indonesia terkurung dalam daerah pertahanan sendiri. Untung saja, penjaga gawang Markus sukses menahan beberapa gempuran Uruguay yang membabi-buta. Meski begitu sang tamu berhasil menceploskan dua gol. Babak pertama ditutup 2-1 untuk Uruguay.

Babak kedua dimulai. Inilah saat-saat tragis itu. Lima kali gawang Markus bergetar.Setiap kali Uruguay mencetak gol para suporter kita meneriakkan yel-yel; “Nurdin… turun…! Nurdin… turun…!”. Sudah lama Nurdin Khalid, ketua PSSI disorot. Lelaki asal Makassar ini dinilai tidak becus dalam memimpin sepakbola Indonesia. Selain kekalahan versus Uruguay, beberapa minggu sebelumnya kesebelasan junior Indonesia harus takluk dari Timor Leste, anak bawang dalam percaturan ASEAN.

Yang paling santer terdengar adalah kasus korupsi Bulog yang membuatnya meringkuk di bui tahun 2007 silam. Sampai-sampai Sepp Blater presiden FIFA—federasi sepakbola dunia—harus ikut campur. Namun pendirian pria kelahiran 1958 ini tetap tak tergoyahkan, tetap bercokol di kursi panas PSSI, mengendalikan organisasi dari balik jeruji.

Mungkin apa yang diutarakan pengamat sosial kemasyarakatan, Tubagus Januar Soemawinata adalah nyata. Janura menilai pejabat di Indonesia tidak punya ‘urat malu’ sehingga tidak bakal mau undur diri dari jabatannya sebagai rasa pertanggungjawaban apabila terjadi bencana ataupun berbuat kesalahan atas kebijakannya,.

Masih hangat Agustus silam ketika Kim Tae-ho perdana menteri Korea Selatan meletakkan jabatannya. Padahal Kim baru terkena “dugaan” korupsi. Hanya dugaan.

Beberapa bulan sebelumnya Horst Koehler, Presiden Jerman mengundurkan diri akhir Mei lalu. Pengunduran diri Koehler terjadi akibat salah omong dalam wawancara dengan stasiun radio usai kunjungan ke Afghanistan. Koehler menyebutkan bahwa keterlibatan militer Jerman di Afghanistan sebagai keterpaksaan. Jerman terpaksa ikut mengirim tentara ke Afghanistan guna mengamankan kepentingan ekonominya. Langsung saja, kritik datang bertubi-tubi dan buntutnya Koehler harus lengser.

Sudah malam. Jadi ngantuk…. Lain kali kita sambung lagi.

NB: Tetapi bukan Indonesia sendiri yang sedang ada dalam titik rawan. Mesir, juara Afrika tiga kali berturut-turut sedang terancam gagal lolos ke Piala Afrika 2012 di Gabon dan Guinea Equatorial. Kesebelasan Fir’aun secara mengejutkan takluk oleh Niger pada partai kedua kualifikasi. Pada pertandingan pertama, Sierra Leone sukses menahan imbang Mesir yang bermain di lapangan keramat Cairo Stadium.

Pelatih bertangan dingin Hassan Shehata menolak asumsi bahwa Mesir dalam krisis. “Jalan masih panjang. Masih ada empat pertandingan ke depan,” ujar laki-laki berkumis tebal ini di stasiun televisi Al Jazeera.

Sakr Koresh, 16 Oktober 2010. Delapan hari setelah kekalahan mengenaskan itu.

Wednesday, October 6, 2010

Ada Curhat di Balik Setir Taksi

Taksi Kairo (Photo by Hend Abdallah @ Flickr)

Taksi di setiap negara memiliki kekhasan dan cerita tersendiri. Beberapa malah sudah masuk ke layar lebar. Contohnya film “Taxi” bikinan Prancis yang fenomenal. Komedi-action yang diproduksi pertama kali tahun 1998 tersebut sampai dibuat 4 sekuel. Berkisah tentang Daniel, supir taksi kota Marseille yang jago ngebut tapi kocak. Pertemuannya dengan Emilien, polisi yang tidak bisa menyetir membawanya ke berbagai petualangan membasmi kejahatan.

Hampir dengan plot cerita yang serupa, film “Taxi” (2004) juga diproduksi di Amerika Serikat. Menceritakan tentang Isabelle Williams (diperankan penyanyi Queen Latifah) , supir taksi perempuan di New York. Belle dikisahkan terlibat pengejaran terhadap komplotan perampok bank wanita.

Cuma saja, akhir Agustus silam kabar sedih datang dari supir taksi New York. Karena mengaku beragama Islam, Ahmed Sherif yang sudah menyetir taksi sejak 15 tahun silam ditusuk penumpangnya. Imigran asal Bangladesh ini pun harus mendapat perawatan di rumah sakit.

Tidak salah pula jika beberapa waktu lalu pemerintah kita memasang iklan di banyak taksi di London, Inggris. Slogan “Remarkable Indonesia tersebut bertujuan untuk mempromosikan produk dan pariwisata Indonesia.

"Sejumlah taksi di London kita buat iklan di sana mengenai remarkable Indonesia," kata Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar kepada situs berita detik.com.

Khaled Al Khamissi dan buku Taxi

Curhat Taksi Kairo

Taksi bagi warga kota Kairo adalah salah satu elemen transportasi penting. Buktinya, banyak taksi bersliweran di jalan-jalan. Ikut menambah polusi emisi bahan bakar di udara kota berjuta cerita ini. Kadang terselip di antara barisan mobil yang menyemut dalam parade macet pada jam pulang kerja.

Berbeda dengan taksi di Indonesia yang dimiliki perusahaan, taksi-taksi Kairo adalah milik pribadi. Jangan heran kalau melihat taksi sampai menolak penumpang. Jangan marah pula kalau si sopir menambah penumpang lain di tengah jalan meski di dalamnya sudah ada kita sendiri. “Lha wong ini mobil milik gue sendiri. Protes? Turun sana!” Kira-kira demikian yang ada di benak para sopir.

Ya ampun, taksi Kairo kebanyakan tidak pakai argometer. Jadi pandai-pandailah menawar kalau tidak mau kena tipu. Wajar saja karena kebanyakan taksi adalah mobil kuno era 70-80an seperti Fiat 128, Peugeot 204, Sahin, Dogan (dua-duanya dari Turki), Lada (Rusia). Untuk mengatasi keborokan mesir sekaligus menghemat bensin, taksi-taksi berwarna hitam (untuk daerah Giza ada strip putihnya) ini dimodifikasi berbahan bakar gas yang relatif lebih murah dan ramah lingkungan.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, sejak 2008 pemerintah menggalakkan proyek peremajaan taksi. Mobil yang sudah kelewat tua harus diganti dengan yang baru. Kebanyakan sedan ekonomis Chevrolet Lanos, Daewoo dan Speranza. Pemerintah juga memberikan pinjaman dengan kredit lunak bagi sopir yang ingin mengganti taksinya. Mobil-mobil bercat putih ini lebih nyaman; pakai argo, dilengkapi pendingin udara dan mesin yang tokcer.

Tidak semua taksi menyambut gembira rencana peremajaan ini. Maklum, ekonomi Mesir masih morat marit. Menurut survey, satu dari lima penduduk berpenghasilan dibawah satu dolar Amerika per hari.

“Saya adalah pegawai di jawatan pemerintah. Dengan gaji 600 Pound Mesir sebulan mana cukup untuk menghidupi anak-anak saya. Sudah 15 tahun jadi sopir taksi, nasib tetap tak berubah. Ini malah ada peraturan baru segala” ujar Abdalla, supir yang saya tumpangi dari Ma’adi ke Nasr City. “Lihat nih kacamata yang rusak ini, terpaksa saya sambung pakai kawat,” katanya sambil menerawang jalan lingkar timur Kairo yang senyap.

Sebagai mahasiswa, saya tidak setiap hari menggunakan jasa taksi. Bus umum jauh lebih murah. Namun dalam beberapa kesempatan saya sempat menemukan beberapa supir yang dengan latar belakang yang unik. Saya pernah ngobrol dengan George, karyawan administrasi di salah satu perusahaan yang kerja sambilan sebagai sopir. Tuntutan ekonomi membuat penganut Kristen Koptik ini harus mencari penumpang sepulang kerja di sore hari layaknya Abdalla.

Ada juga Ramy, sarjana ekonomi yang terjebak di balik kemudi. Ijazah yang didapatnya dari Cairo University tersebut ternyata belum ampuh untuk memberinya pekerjaan yang layak. Untuk menambah penghasilan terkadang mereka berangkat ke Arab Saudi pada bulan haji. Di tanah suci, mereka bekerja sebagai sopir bus atau taksi yang melayani jama’ah.

Buku “Taxi” karya penulis Khaled Al Khamissi bisa dijadikan referensi tentang taksi dan sopirnya. Meski bergenre fiksi, “Taxi” menyoroti keadaan politik, sosial dan ekonomi masyarakat Mesir. Melalui dialog-dialog dengan para sopir, Khaled membawa pembaca keliling kota Kairo dengan berbagai fenomena yang ada di sekelilingnya. “Taxi” sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Prancis dan Spanyol mungkin saking lakunya. Wallahu’alam.

Friday, October 1, 2010

Perang Bersama Arwah



Siapa yang tidak kaget jika tiba-tiba mendapati dirinya berada dalam kancah peperangan? Tidak ada belas kasihan. Yang ada hanya prinsip: membunuh atau dibunuh!

Itulah yang pernah dialami Muhib—sebut saja demikian—teman satu fakultas saya asal Rembang, Jawa Tengah. Pemuda tambun dengan berat 82 kg tersebut mengalami “pengalaman spiritual” saat tidur di Masjid Sultan Farag bin Barquq, Dowaiqa, tidak jauh dari “Madinah al Bu’uts”— asrama untuk para mahasiswa asing yang kuliah di Universitas Al Azhar.

Sebagai pemuda Jawa yang memegang teguh tradisi keluarga Nahdliyin, Muhib rajin i’tikaf keliling masjid-masjid kuno sekitar Kairo selama bulan Ramadhan. Berbekal ransel biru yang warnanya sudah meluntur, Muhib menembus panas Kairo yang membakar ubun-ubun.

“Shalat di masjid-masjid seperti itu, ada sensasi tersendiri,” ujarnya beralasan. Biasanya, sambil menunggu buka puasa Muhib mengisi waktu dengan membaca Al Qur’an atau sekedar tidur-tiduran di pelataran Masjid. “Rasanya seperti ada di zaman-zaman keemasan Islam di Mesir,” katanya penuh takjub. “Kayak di film Sinbad dan Aladin.”

Muhib kerap menghabiskan waktu dari Ashar hingga shalat Tarawih. Tak jarang pula di ikut qiyamul lail bersama hingga dini hari. Dinding masjid-masjid yang masih dilestarikan dalam bentuk aslinya; bebatuan berwarna coklat membuat kesan kuno makin kentara. Malah salah satu tempat langganan Muhib, Masjid Sultan Hasan, konon dibangun dengan menggunakan bebatuan raksasa dari Piramid di Giza.

Suatu ketika, di alangkah kagetnya Muhib saat tidurnya menunggu shalat Ashar terusik suara keributan. Lebih terkejut lagi, saat membuka mata dirinya sudah berada di tengah kecamuk perang. Berada di atas punggung kuda, dengan baju besi dan tombak terhunus. Muhib sekarang adalah anggota barisan elit kavaleri berkuda Mamluk yang ditakuti itu!

“Allahu Akbar!” pekik takbir membahana merindingkan bulu roma. Ini perang pasukan Mamluk melawan tentara Mongol yang bengis. Tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan yang brutal itu sudah membumi hanguskan Baghdad. Mereka terus berekspansi menyisir Timur Tengah menuju ke arah barat. Harapan dunia bergantung kepada pasukan Mamluk yang berpusat di Kairo. Jika dalam peperangan di Ain Jalut ini Mongol yang menang, makan dunia Islam dan bahkan seluruh alam akan binasa.

Pada masa itu, kekuatan militer Mongol memang amat mengerikan. Bahkan hampir separuh dunia harus merasakan kebiadaban para Khan. Bahkan menurut sejarah nasional yang dipelajari di siswa-siswa sekolah di Indonesia, Kubilai Khan pernah mengirim pasukan ke tanah Jawa. Konon ceritanya, Kubilai murka setelah Raja Singhasari, Kartanegara melukai wajah dan telinga utusan Mongol yang datang agar tunduk Singhasari pada mereka. Pada akhirnya dengan muslihat yang cerdik, pasukan Mongol-Tiongkok ini berhasil dipukul mundur oleh pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya.

Jauh-jauh hari, Hulagu Khan sudah mewanti-wanti Sultan Qutuz lewat surat yang diantarkan kurir Mongol ke Kairo, ibukota Kesultanan Mamalik. Kesombongan Hulagu sudah memuncak ke sumsum tulangnya. Dia memang pantas untuk bersombong karena tentara Mongol sudah berhasil menyulap dinasti Abbasiyah yang begitu perkasa menjadi rata dengan tanah. Namun Hulagu lupa, bahwa ada kekuatan di atas kuasa manusia.

“…satu-satunya cara untuk selamat, adalah menyerah kepada Dinasti Mongol yang perkasa. Tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Bahkan doa kalian kepada Tuhan sekalipun tidak berguna. Kami akan meluluhantakkan masjid-masjid kalian untuk menunjukkan bahwa Tuhan kalian pun tidak berdaya...”

Demikian di antara isi surat Hulagu.

Serta merta, Qutuz menghabisi keenam utusan Mongol. Kepala mereka digantung di dinding salah satu gerbang kota Kairo yang tersohor, Babul Zuwaila.

Maka, pada bulan Ramadhan tahun 1260 Masehi, pasukan Mongol dengan armada tidak kurang dari 20 ribu bertemu dengan pasukan Mamluk pimpinan panglima Baybars di lembah Ain Jalut, Palestina.

Muhib sadar, pemandangan di depan matanya hanya mimpi. Namun dia tak kuasa beranjak ke alam nyata. Keperkasaan Mamluk beradu dengan keganasan Mongol, begitu asyik ditonton. Debu membumbung ke angkasa, di antara pergumulan perang. Tebasan pedang yang menyabet baju zirah menimbulkan efek percikan api. Trang… trang.… Bunga api berpijar di mana-mana.

Pasukan Mongol dibantu oleh sekutunya; pasukan kerajaan Georgia dan Armenia termakan jebakan. Mereka sudah terkepung di atas kawasan perbukitan Ain Jalut.

Namun bukan Mongol namanya kalau menyerah begitu saja. Mereka berupaya lolos dengan memusatkan serangan ke sayap kiri barisan pasukan Islam. Hampir saja usaha mereka berhasil. Pasukan Muslim sudah hampir kewalahan menghadapi amukan Mongol.

Di saat kritis, Sultan Qutuz memacu kudanya ke tengah-tengah pasukan. Ia melepas helm bajanya agar para tentara bisa melihat wajahnya. Qutuz lalu berteriak nyaring, “Wa islamah, wa islamah…!” “Demi Islam! Demi Islam…!”. Sontak semangat pasukan di sayap kiri melambung, gemuruh pasukan Mamluk menyahut seruan itu. Muhib sampai terbawa suasana yang heroik tersebut, ikut-ikutan memekik sambil mengepal tangan ke atas. “Perasaan saya ketika itu ikut menggelora. Terbakar-bakar rasanya”

Akhirnya, sebagian besar tentara Mongol binasa. Kitbugha, panglima Mongol juga akhirnya tewas. Kitbugha juga termasuk salah satu aktor penting dalam penyerangan Mongol ke Baghdad, tahun 1258.

Ini kemenangan yang menentukan sejarah dunia. Kesultanan Mamluk di Kairo memang harapan terakhir untuk membendung arus Mongol.

“Sepertinya waktu tidur, arwah-arwah panglima Mamluk itu ikut masuk ke mimpi saya. Sayang mimpinya cuma sebentar,” kata Muhib menceritakan “perangnya” bersama tentara Mamluk.

Meski tidak percaya takhayul, bisa jadi Muhib benar. Sebab letak Masjid Farag ibn Barquq memang berada di tengah pemakaman raja dan orang-orang Mamluk. Sultan Farag sendiri meninggal dalam peperangan melawan Mongol di Suriah. Di Masjid ini hanya ada makan ayahandanya, Sultan Al Zahir Saifuddin Barquq. Barquq adalah pelopor dinasti Mamalik Burgi pada abad ke 14. Kata “Burgi” artinya menara. Julukan ini disematkan karena para penerusnya menjadikan benteng peninggalan Shalahuddin yang berada di ketinggian bukit sebagai pusat untuk menjalankan pemerintahan.

Area pemakaman ini berawal pada saat para sufi menyepi di daerah ini. Mereka mendirikan tempat khusus yang disebut khanqah untuk melakukan ritual tasawuf. Kondisi yang senyap dan sepi, amat pas bagi para imam sufi untuk mengasingkan diri, jauh dari hingar-bingar dunia. Hingga beberapa raja dan petinggi Mamalik pun dikebumikan di sini.

Dari Budak Menjadi Raja

Dinasti Mamalik atau Mamluk adalah salah satu kekuatan Islam pada masa keemasannya. Mereka sebenarnya adalah para budak dari Laut Hitam, Asia Tengah dan Kaukasus (Mamluk secara bahasa artinya “yang dimiliki”). Setelah memeluk Islam, mereka menjalani pendidikan militer, terutama kemahiran berkuda. Mereka mulai digunakan pada era Abbasiyah di Baghdad sebagai tentara. Begitu pula pada dinasti-dinasti lainnya seperti Fathimiyah di Mesir dan Turki Utsmani.

Dalam era perang Salib pada masa Shalahuddin Al Ayyubi, para Mamluk ini semakin mendapat tempat dalam kancah politik dan pemerintahan. Di antaranya ada yang menduduki kursi panglima pasukan, petinggi militer hingga perdana menteri. Puncaknya pada tahun 1250, Izzuddin Aybak, seorang atabik (panglima) Mamluk naik tahta sebagai sultan dan memulai era dinasti Mamalik di Mesir. Dinasti Ayyubiyah akhirnya tamat. Periode Mamluk bertahan hingga 1517 sebelum kekuasaan di Mesir berpindah kepada Turki Utsmani.

Ada sebuah budaya unik di kalangan para Mamluk. Tradisi bersaing terpupuk dengan baik. Sebab siapa yang berprestasi, karirnya akan terus menanjak dan tidak mustahil mencapai posisi terhormat seperti Aybak.

Masa Mamalik dikenal dengan kemajuan di bidang militer dan arsitektur. Pasukan berkuda Mamluk amat disegani. Mamluk juga memiliki pasukan artileri baik senjata ringan berupa panah maupun ketapel raksasa. Mereka banyak berperan pada periode kritis dalam sejarah Islam. Ketika itu, ancaman bukan hanya datang dari invasi Mongol, tapi juga dari pasukan salib yang bergerak dari Eropa menuju Yerussalem.

Keangkeran yang Telah Hilang

Selain makam Sultan Barquq, raja Mamluk yang bersemayam di kawasan ini antara lain Sultan Barsbay dan Qaytbay. Kalau melihat kubah-kubah indah, jangan sangka banyak masjid di sana. Kubah-kubah itu merupakan pertanda bahwa di bawahnya ada makam. Komplek Sultan Qalawun di distrik Gamaliya, dekat pasar Khan Khalili bisa dijadikan contoh. Karena memang, pemakaian kubah pada era Mamluk lazimnya diperuntukkan untuk kubur.

Sejauh mata memandang hanya ada petak-petak kubus berwarna coklat. Membentang dari Asrama Bu’uts hingga Imam Syafi’i. Tidak heran karena masyarakat Mesir juga menjadikan daerah ini sebagai area pemakaman keluarga turun temurun. Biasanya di pintu terukir nama keluarga yang memiliki makam tersebut.

Kalau malam tiba, buang jauh-jauh bayangan angker komplek pemakaman seperti yang kita dapatkan di tanah air. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari menerobos jemuran pakaian. Gemerlap lampu kelap-kelip di sana-sini. Ini bukan ulah dedemit atau arwah-arwah penasaran. Himpitan ekonomi dan keadaan memaksa sebagian orang tinggal di antara mayat-mayat. Ya, pekuburan keluarga yang berkotak-kotak itu ditinggali manusia.

Keluarga yang memiliki makam tersebut memberikan imbalan kepada mereka untuk berteduh di pekuburan itu. Bukan hanya berteduh, bahkan sampai beranak pinak hingga beberapa generasi.

Pertengahan Januari lalu, Al Ahram Weekly—koran mingguan berbahasa Inggris terbitan Kairo—pernah membahas fenomena ini. Wartawati Dina Rashid menyambangi para tuna wisma di kawasan pamakaman Al Ghafir, Al Mugawrin, Sayyidah Aisyah dan Ain Al Shira.

Mereka menuturkan bahwa sebenarnya mereka ingin hidup normal layaknya orang kebanyakan. Apalah daya, kerasnya kehidupan mengungkung mereka di sini. Stereotip yang berkembang di masyarakat luas juga menganggap mereka sebagai sampah masyarakat. Pemerintah kota Kairo juga berencana menggusur kawasan tersebut dalam rangka pengaturan kembali tata kota Kairo yang memang semrawut. Di mana-mana, nasib orang pinggiran selalu terabaikan. Wallahu’alam.

O, iya…. Sampai sekarang, setiap Ramadhan datang Muhib selalu menyambut dengan suka cita.

“Saya selalu berharap bisa ikut perang lagi bersama laskar berkuda Mamluk, walau hanya dalam tidur. Tapi sayangnya meski udah tidur seharian di Masjid, gak pernah mimpi lagi…” Mujib hanya bisa mengangkat kedua bahunya.

Kairo, Kamis 30 September 2010. Di tengah badai debu.