Thursday, October 20, 2011

Rindu Guru (Bag.1)

Suatu malam, saya terlibat perbincangan iseng dengan Jali, teman seflat saya. Ketika itu kami sedang nonton pertandingan sepakbola Liga Italia antara AC Milan vs Palermo. Gol Antonio Nocerino di menit ke-40 memecah kebuntuan serangan kesebelasan Milan. 

Gemuruh stadion terdengar jelas dari layar TV. Namun Nocerino menolak untuk merayakan golnya tersebut, maklum musim lalu gelandang bernafas badak ini berkostum Palermo. Mungkin dia tidak ingin melukai perasaan fans Palermo yang dulu mengelu-elukan namanya. 

“Mun….” di tengah riuh dan teriakan komentator Al Jazeera Sport, Jali membuka pembicaraan.

Kenapa sih nih orang, pasti kepingin membanding-bandingkan AC Milan dengan Real Madrid, klub pujaannya, demikian saya membatin.

“Kenapa ya, orang yang sudah sukses itu pasti membangga-banggakan almamater tempat dia kuliah. Atau paling gak ngebanggain pesantren atau SMA dia dulu…?” ujar Jali dengan mata melirik ke TV.

Saya sempat kaget. Bukan karena tidak tahu jawaban pertanyaan Jali, tapi shock  dan gak habis pikir kok dia bisa kepikiran hal itu pas nonton bola.

Saturday, October 1, 2011

Ahmed Ogah Buta Huruf

Malam itu sudah hampir jam 10. Saya dan kawan-kawan baru saja pulang setelah seharian dari pagi menghadiri seminar tasawwuf di Al Azhar, lalu kelayapan di Dokki. Kami sudah mirip karyawan di ibukota; pergi pagi-pulang malam. Bedanya kami belum bisa menghasilkan uang. Lelah begini, enaknya sebelum tidur mandi pakai air hangat biar tidur nyenak dan bangun cepat besok pagi. Sakhanah (pemanas air bertenaga gas) di kamar mandi kami harus bekerja lebih awal sebelum musim dingin tiba.  

Memasuki gerbang apartemen, kami disambut Noura dan Safiya, dua putri Amu (paman) Gamal penjaga apartemen kami. Tampak Safiya yang masih balita, lari-lari berebut boneka dengan kakaknya Noura. Sedangkan putra sulung beliau, Ahmed sedang terpekur di tangga menekuni soal-soal di buku, mungkin sedang mengerjakan PR.

Profesi sebagai penjaga apartemen atau bawwab memang tidak menjanjikan. Untuk menambah penghasilan, Amu Gamal harus bekerja sebagai kuli bangunan di Hayy Sabie. Sebagai penganggungjawab keamanan dan kebersihan apartemen, bawwab mengandalkan iuran bulanan para penghuninya. Di samping itu, biasanya mereka dapat penghasilan tambahan dengan mencuci mobil atau karpet para penghuni. Biasanya, para bawwab dan keluarganya—di Saqr Quraiys khususnya—berasal dari pedesaan. Karena kerasnya hidup, mereka merantau ke kota.

Penghasilan bawwab memang tak seberapa, tapi saya salut dengan semangat Amu Gamal menyekolahkan Ahmed. Kebetulan, di belakang apartemen kami ada sekolah ibtidaiyah negeri (setingkat SD). Lumayanlah, Ahmed bisa belajar baca-tulis di sana dengan biaya murah. Walau saya masih ragu, apakah setelah lulus SD, Ahmed  bisa melanjutkan sekolah. Namun dalam hati saya berdoa, semoga Ahmed dan adik-adiknya bisa mendapat pendidikan yang layak dan mengangkat derajat keluarganya.

Orang berilmu lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tak berilmu. Dan salah satu kunci mendapat ilmu adalah baca-tulis. Inilah salah satu rahasia Allah menurunkan perintah membaca dalam wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW.  Sejarah mencatat, peradaban masa lampau yang maju, berjaya dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan bangsa yang hanya mengandalkan perang dan kekerasan kalaupun muncul ke permukaan, niscaya akan meredup dengan cepat lalu bagai lenyap.

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Q.S. Al Mujadilah ayat 11)

Bukan rahasia lagi, bahwa kesulitan ekonomi selalu erat kaitannya dengan kualitas pendidikan yang rendah. Alasan klasik yang jadi masalah laten di negara berkembang seperti Indonesia dan Mesir. Saya sempat terkejut ketika koran El Youm El Sabie bulan Juli lalu menurunkan berita bahwa 17 juta warga Mesir masih buta huruf, 69% adalah kaum hawa. Ini angka tertinggi diantara negara Arab lainnya. “Sebuah kenyataan pahit sekaligus memalukan,” demikian tulis wartawn Ahmed Hamdy.

Menurut Hamdy, pemerintah sudah berusaha keras memberantas buta huruf sejak era presiden Gamal Abdel Nasser. Sekolah-sekolah negeri banyak yang digratiskan. Namun sekali lagi, faktor ekonomi menjadi penghambat nomor satu. Anak-anak dan remaja usia sekolah lebih memilih membantu orang tua di ladang membantu keluarga dari pada masuk kelas . Sedangkan remaja putri di kampung dianggap nasibnya akan berakhir sebagai ibu rumah tangga, jadi buat apa sekolah?

Sungguh ironis. Padahal jika melihat kedigdayaan ulama-ulama Mesir dan murahnya harga buku di sini ditambah seringnya diadakan pameran buku, angka-angka itu agak tidak masuk akal. Tapi memang, Mesir tidak seluas daun kelor, banyak kisah-kisah di belakang layar yang tidak saya ketahui.

Pantas saja, salah satu penyedia layanan seluler di Mesir mencanangkan program pemberantasan buta huruf. Lewat poster gede yang ditempel di dinding gerai perusahaan ini di bilangan Makram El Abied, mereka menargetkan tahun 2017 nanti manusia sejumlah 17 juta itu sudah bisa membaca. Meski ada aroma promosi di balik program ini—namanya juga perusahaan—paling tidak sedikit meringankan beban negara yang belum punya presiden ini.

Belum sempat melewati lima buah anak tangga, sekepal tangan kasar Amu Gamal menggapai bahu saya. “Jangan lupa ya, kalau bisa besok kalian sudah bayar iuran bulanan…” ujarnya sambil memamerkan barisan giginya yang menghitam akibat rokok Cleopatra. Wallahu'alam.

Saqr Qurays, hari terakhir bulan Syawwal 1432 H.