Monday, May 17, 2010

Kaji Syi'ah, Ustadzku Raih Doktor Al Azhar

Ustadz Khalid (kedua dari kiri) bersama para pembimbing

Indonesia kembali berbangga di bidang akademis. Ustadz Muhammad Khalid Mushlih, M.A, mahasiswa asal Jombang, berhasil meraih gelar doktor di Jurusan Akidah Filsafat di Universitas Al Azhar Kairo, dengan predikat summa cum laude.

Dalam seminar doktoralnya pada hari Rabu (12/5), Ustadz Khalid yang pernah mengajarku di Gontor mengupas disertasi dengan judul “Welayat Al-Faqih wa Tathbiqotuha al-Mu’ashiroh: Qira’ah Naqdiyyah Muqoranah bil al-Syuro wa al-Dimukrothiyah”. Dalam bahasa Indonesia, “Welayat al-Faqih dan Penerapannya: Studi Kritik atas Sistem Politik Syi’ah Kontemporer, Komparasi dengan Sistem Syuro dan Demokrasi”.

Beliau menjelaskan tentang konsep Welayat al-Faqih yang ada dalam sistem politik Syi’ah, khususnya yang tengah diterapkan di Iran sekarang ini. Welayat al-Faqih adalah sistem politik Syi’ah yang ada di Iran sejak revolusi Iran tahun 1979 oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini.

Dari sistem ini adanya suatu keharusan bagi para fuqaha (ulama) untuk mendirikan negara di masa Ghaibah Al Kubra, yaitu masa ketiadaan imam Syi’ah yang ke-12 sejak tahun 329 H sampai sekarang.

Menurut kepercayaan aliran Syi’ah, ketiadaan imam mereka tersebut, karena imam ke-11, yaitu Imam Hassan Al Asykary tidak memiliki keturunan. Sedangkan dalam aliran Syi’ah, mereka itu harus dipimpin oleh seorang imam. Dan imam yang diakui oleh mereka hanyalah berjumlah 12 orang, sehingga terdapat kebingungan dalam masyarakat Syi’ah, ketika imam mereka yang terakhir ini tidak cenderung muncul.

Sebelum terjadinya Ghaibah al-Kubra, juga terjadi Ghaibah As Sugra, dari tahun 260-329. Konsep Ghaibah atau ketiadaan imam dalam Syi’ah ini untuk pertama kalinya dikembangkan oleh kelompok Syi’ah yang diberi nama dengan kelompok Itsna ‘Asyar. Dinamakan demikian, karena kelompok ini tetap meyakini bahwa imam mereka yang ke-12 itu tetap ada, akan tetapi masih gaib.

Selama masa ketiadaan imam mereka ini, maka mereka harus menunggu. Dan dalam masa penantian ini, para ulama tidak dibolehkan berijtihad, tidak dibolehkan berdakwah, tidak dibolehkan shalat Jum’at, tidak dibolehkan melakukan amr ma’ruf nahi munkar, dan lain sebagainya. Karena keyakinan Syi’ah mengatakan bahwa yang berhak melakukan semua itu hanyalah seorang imam. Inilah yang menjadi permasalahan besar dalam golongan Syi’ah.

Akhirnya ulama-ulama Syi’ah mulai berijtihad dan mencari jalan keluarnya. Semua ketidakbolehan selama masa penantian yang menjadi masalah besar tadi, sedikit-demi sedikit diselesaikan. Dan sampai pada zamannya Ahmad Naroki, para ulama mulai diwajibkan untuk menggantikan imam. Namun pada masa itu masih sedikit masyarakat Syi’ah yang mau percaya dengan konsep ini, karena masih kentalnya doktrin imamah Syi’ah ketika itu.

Kemudian pada masa Khomeini yang memimpin revolusi Iran, barulah konsep ini menjadi sebuah sistem dalam politik Syi’ah yang diberi nama dengan Welayat al-Faqih.

Konsep Welayat al-Faqih ini, dalam disertasinya yang dibimbing oleh Prof. Dr. Muharram (Guru Besar Akidah Filsafat serta mantan Ketua Jurusan di Universitas Al-Azhar) dan Prof. Dr. Jamaluddin Afifi (Guru Besar Akidah Filsafat dan Ketua Jurusan sekarang di Unversitas Al-Azhar), dikritik oleh beliau dengan cara perbandingan terhadap konsep syuro dalam Islam, dan konsep demokrasi.

Dalam membandingkan konsep Welayat al-Faqih dengan konsep syuro dan demokrasi, beliau memiliki enam poin utama yang dijadikan perbandingan, yaitu; dasar yang dijadikan pijakan oleh ketiga konsep ini, mengenai kekuasaan tertinggi, batas kekuasaan, pemisahan antara 3 kekuasaan, prinsip mayoritas, dan konsep perwakilan.

Dari keenam poin perbandingan ini, akhirnya beliau sampai pada kesimpulan bahwa ternyata konsep Welayat al-Faqih yang diterapkan dalam pemerintahan Iran sekarang ini, sangat rapuh sekali. Selain ditemukan kerancuan konsep terhadap konsep Syi’ah itu sendiri, juga terdapat pengadopsian konsep dari syuro dan demokrasi juga. Dan konsep politik dalam ajaran Syi’ah akan berkembang terus sesuai dengan tuntutan zaman, tidak konsisten.

Yang bertindak sebagai penguji disertasi ini adalah Prof. Dr. Thoha Abdus Salam Khadir (Guru Besar Akidah Filsafat di Universitas Al-Azhar) dan Prof. Dr. Muhammad Sayyid Al-Galayn (Dosen Fakultas Darul Ulum di Universitas Cairo). Turut hadir juga dalam seminar doktoral tersebut, Duta Besar Republik Indonesia, A. M. Fachir.

Ustadz Khalid termasuk mahasiswa yang bisa dibilang langka, karena dapat menyelesaikan studi di Universitas Al-Azhar dari jenjang S1 sampai doktor dalam jurusan yang dinilai sulit bagi sebagian besar mahasiswa Indonesia di Al-Azhar, yaitu jurusan Akidah Filsafat. Strata 1 diselesaikan pada tahun 1997, strata 2 pada tahun 2003, dan sekarang meraih gelar doktor dalam umur ke-35 tahun.

Rencananya Bapak dari dua putra--Azzam dan Bassam--ini akan pulang ke tanah air bulan depan, dan akan mengabdikan diri kepada Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat ini beliau masih tercatat sebagai dosen di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor. [disadur dari hidayatullah.com]