Tuesday, August 27, 2013

Menara Keenam

Menara masjid yang baru rampung itu
Menara masjid di samping rumah saya sudah tegak berdiri. Butuh waktu 2 bulan untuk menyelesaikannya. Menurut kabar yang beredar, pembangunan itu memakan dana tidak kurang dari 75 juta rupiah. Untuk mempercantik penampilannya, dipasang lampu-lampu yang gemerlapan saat malam hari.

Kalau saya berdiri dari jemuran di lantai dua rumah kami lalu mengedarkan pandangan, genap sudah ada 6 menara yang terlihat. 5 menara lainnya adalah tower BTS milik 4 perusahaan jasa telekomunikasi seluler dan sisanya adalah pemancar stasiun tv lokal. Selepas shalat subuh, ibu biasanya mencuci di lantai atas rumah kami. Memang jemuran sengaja dibuat terbuka, tanpa atap di loteng menghadap arah terbit fajar. Sehingga sedari matahari terbit tengah hari, jemuran akan terus diguyur sinar matahari. Untuk mendukung tujuan tersebut, mesin cuci yang ada sejak tahun 2006 itu digotong ke atas beserta pipa dan selang untuk menyalurkan air.

Terlihat dengan jelas di timur laut lima menara BTS milik lima perusahaan penyedia jasa telekomunikasi seluler berdiri gagah. Di era canggih sekarang ini BTS atau Base Transceiver Station amatlah penting. Fungsinya adalah menjadi jembatan antara ponsel kita dengan jaringan hingga kita bisa berbicara dengan telepon di tempat lain.  Beberapa BTS dikontrol oleh Base Station Controller (BSC) yang terhubung dengan satelit atau kabel serat optik.

Saturday, August 24, 2013

Uwa

Uwa beraksi di Dapur. Saingan Masterchef


Mudik kali ini butuh perjuangan lebih karena saya harus menempuh jarak 200 kilometer dalam keadaan sakit. Sungguh tidak nyaman meski hanya duduk manis di samping  adik saya yang memegang kemudi. Biasanya jarak segitu bisa ditempuh 4-5 jam. Namun karena kami singgah di beberapa tempat dan saya yang harus sering istirahat kami menghabiskan waktu 8 jam. Apalagi di kecamatan Binuang—100 km dari Banjarmasin—macet sampai 3 kilometer. Maklum di sana ada objek wisata gua Batu Apu yang terkenal itu.

Kakek-nenek baik dari ayah dan ibu sama-sama sudah wafat. Jadi kami bersilaturahim ke saudara-saudara bapak & ibu di kampung sana. Karena jarang bertemu dengan sanak famili, hampir setiap rumah di kampung kami sambangi walau hanya sekadar bersalaman.

Yang paling berkesan tentu adalah kunjungan ke rumah Uwa. Menurut tradisi Banjar, Uwa atau Julak adalah sebutan bagi kakak dari ayah atau ibu. Uwa dan suaminya memang tidak dikaruniai anak, jadinya setiap para keponakannya datang, beliau menyambut dengan hangat. Syarif, sepupu saya yang sekolah di pesantren Ibnul Amin sampai ketagihan dimanja oleh Uwa. Pantas saja dia betah tinggal jauh dari orang tua di Banjarmasin.

Thursday, August 22, 2013

Mudik Pramuka


  
"Priiit!"

Sempritan peluit dari sepasang pramuka menyambut saya begitu turun dari Taksi di terminal 1C Bandara Soekarno Hatta. Bukan cuma saya, tapi empat orang turun sekaligus. Kebetulan pagi tadi kami sama-sama perantau yang menunggu Damri—Kependekan Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia, BUMN yang mengurusi angkutan umum. Saya heran kenapa tidak digunakan ejaan yang sudah disempurnakan saja: Jawatan Angkutan Motor Republik Indonesia alias JAMRI—dari dari terminal Lebak Bulus. Ditunggu lebih dari satu jam, bus tersebut tak kunjung datang. Padahal jam keberangkatan pukul 12 siang nanti. Karena sudah jam 9, entah siapa yang memulai, kami akhirnya bersepakat untuk urunan naik taksi, daripada terlambat dan tiket kami ‘hangus’. Malah kalau dihitung-hitung, biaya patungan hampir sama dengan ongkos tiket Damri.



Sepertinya para pramuka ini sengaja diturunkan untuk membantu mengatur kendaraan bermotor dan penumpang yang membludak di airport. Bayangkan saja, saat H-1 jumlah pemudik sudah mencapai angka 1 juta orang! Tugas utama mereka adalah membantu mobil berhenti dengan rapi di beranda untuk menurunkan penumpang. Mirip-mirip Polantas. Selain itu mereka juga melindungi para pejalan kaki yang menyeberang. Meski sudah tersedia zebra cross, masih cukup riskan jika mengingat banyaknya arus manusia dan kendaraan yang bersliweran menyambut mudik akbar ini. Oleh karena itu mereka diturunkan di setiap terminal keberangkatan dan kedatangan. Bisa jadi, pemerintah Provinsi Banten di mana bandara Soekarno Hatta berada ingin menghemat anggaran dengan para remaja ini. Daripada membayar polisi, misalnya, untuk satuan pengamanan tentu butuh biaya lebih besar.

Para pramuka tersebut berupa remaja, sekitar berusia 15-17 tahun. Rata-rata berbadan tegap, kulit agak gelap, berbintik kecil jerawat di wajahnya yang berminyak dan sudah jelas tidak seganteng personel Coboy Junior.