Friday, December 26, 2008

Armada Masa Depan

Sabtu, 20 Desember 2008.

Ini adalah tempat paling angker bagi para mahasiswa Indonesia. Cukuplah menziarahinya setahun sekali, jangan sampai lebih.Mitos kantor Imigrasi di Asrama Bu'uts amat sakral dan menyeramkan. Kita harus berjibaku, antri untuk bisa 'menyambung hidup' di Mesir melalui perpanjangan izin tinggal (residence permit/ iqamah muaqqatah). Tidak tanggung-tanggung, kalau lagi kurang beruntung, bisa dari pagi sampai zhuhur. Tapi jika dewi fortuna berpihak, paling 'cuma' berdiri 1-2 jam. Ketika petugas imigrasi sudah memberikan stempel perpanjangan iqamah setahun ke depan, rasanya seperti memenangi peperangan sengit. Meski begitu, Imigrasi Bu'uts bisa dibilang paling toleran terhadap mahasiswa asing. Dengan selembar surat keteragan dari fakultas, semua lancar. Tinggal beli formulir seharga 8 LE dan dan antri. Terlambat beberapa minggu pun tidak dikenai denda. Berbeda dengan Kantor Imigrasi Pusat di Tahrir, urusan bisa runyam jika terlambat memperpanjang iqamah yang mati. Untuk orang Indonesia dan Malaysia hanya diberi jatah hari Sabtu dan Senin, sisanya untuk bangsa-bangsa lain.

Hari ini aku harus terjun dalam medan perjuangan iqamah. 3 Januari 2009 nanti iqamahku habis. Sebenarnya bisa saja aku mengurus setelah ujian. Toh terlambat satu-dua minggu no problem, tapi lebih baik turuti peraturan kan?

Sejak tiba jam 9 pagi, aku harus menunggu jam 11 untuk mengumpulkan berkas. Minggu depan 'pergumulan' masih berlanjut, tapi hanya sekedar menunggu panggilan nama untuk pengesahan perpanjangan. Rentang waktu dua jam ini tidak terasa panjang dengan obrolan bersama. Rifani, teman sedaerah asal Banjarmasin yang baru pulang dari Indonesia. Dia banyak cerita tentang pengalamannya di Banjar, sesekali kami tertawa. Saking asyiknya, buku Filsafat yang sedari pagi tertenteng tidak kunjung selesai dibaca. Padahal aku sudah berniat untuk memanfaatkan waktu antri untuk melahap diktat kuliah. Ujian sebentar lagi sih!

"Selama Ramadhan aku sering diminta ngisi Kultum (kuliah tujuh menit) di Masjid. Orang melihat alumni Timur Tengah itu bisa segalanya, padahal kerjaan kita di Mesir ya kayak gini lah…."

"Pas ketemu teman-teman lama, aku beberapa kali diajak ke diskotik. Waduh! Hancur bener orang-orang itu! Mereka tidak mengerti kalau dunia kita sudah berbeda. Terpaksa tolak aja secara halus." Mau tak mau aku tergelak juga mendengar kisahnya.

Sebuah kesimpulan yang terus membayang selama perjalanan di atas bus dari Bu'uts; tanggung jawab besar sudah menanti di tanah air. Kewajiban membina masyarakat, generasi muda dan lingkungan. Gini-gini aku harapan umat, bangsa dan negara lho!


"Kitalah armada masa depan
Yang akan mengukir dunia
Raih semua bintang
Dan tebarkan sinarnya terangi semesta
Takkan dipungkiri
Nanti kita akan menjadi tua
Jangan dibiarkan bergulirnya waktu
Hanyalah memakan usia
Tak jelas tujuannya"

ARMADA MASA DEPAN - Ada Band

Wednesday, December 24, 2008

Mahasiswa yang Sedang Kalap

Hujan debu menyuruhku belajar

Serap bijak dari jilidan lembar-lembar

Mendaki baris abjad berjajar

Akulah mahasiswa terpelajar


Debu terus berkibar

Tunggangi cekam musim dingin

Merasuk perlahan dalam dinding

Pun dalam lantai berubin

Semua dingin, Aku menggigil


Debu berkecamuk di luar sana

Aih! Nalar batok kepalaku membabi-buta

Aku kalap luar biasa:

Aku santap rumus-rumus logika

Aku cerna teori dan fatwa

Aku kalap

Bukan malam ini saja

Malam berhujan debu di Cairo, 23 Desember 2008

Thursday, October 30, 2008

el-Sayeda Aisha (Laporan Armada Jelajah)


Lama menunggu bus jurusan el-Sayeda Aisha dari terminal Zahra, aku dan tujuh laskar Armada Jelajah IKPM Cab. Kairo (Jamil, Nurdin, Irfan, Arwani, Niam, Amien dan Zahro) mencegat tramco menuju terminal H-7. Terpaksa rute yang diambil meloncat-loncat karena bus 353 dan 65 yang biasanya langsung mengarah ke el-Sayeda Aisha itu tak kunjung datang. Begitu kami sampai, bus 24 jurusan Darrasah baru saja tiba. Masih kosong, belum banyak orang di dalam. Dari Darrasah sudah dekat, tinggal mencegat bus yang lewat benteng Shalahuddin (Saladin Citadel). Dulu aku bersama seorang teman pernah mencoba jalan kaki dari el-Sayeda Aisha ke Darrasah. Wuih! Kaki terasa mau copot. Untung saja pemandangna sepanjang jalan tidak membosankan. Benteng Shalahuddin yang perkasa, indahnya Azhar Park hingga reruntuhan dinding kota Kairo dinasti Ayyubiyah berderet sepanjang trotoar.

Mujib–laskar ke-9–berdiri melambaikan tangan di depan masjid el-Sayeda Aisha. Lelaki berambut cepak ini berdomisili di asrama Bu’uts, hingga tidak perlu berangkat bareng kami dari H-10 Nasr City. Kami langsung menunaikan Shalat Ashar di masjid ini, sekaligus ziarah ke makam Sayyidah Aisyah. Beliau adalah putri Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali Zainul Abidin bin Imam Husain cucu Rasulullah Saw. Beliau terkenal ahli ibadah, di samping itu juga terkenal seorang yang sangat dermawan. Setiap hari ia bersedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, meski terkadang beliau sendiri dalam keadaan ekonomi sulit. Makam beliau dilingkungi pagar besi mungkin dengan maksud agar para peziarah tidak berbuat macam-macam yang tidak sesuai syari’at. Namun ada saja yang menyelipkan uang, bahkan foto ke dalam pagar tersebut.

Selanjutnya kami menyeberang jalan, menuju makam ulama besar Imam as-Suyûthi. Nama lengkap beliau ialah Abdul Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiqudin bin al-Fakhr Usman al-Khudairi As-Suyûthi. Seorang cendikiawan dan ulama agung al-Azhar. Dilahirkan pada tahun 749H (6 tahun sebelum kematian ayahandanya). Beliau adalah seorang pembaharu pada abad ke-9 H. Kitabnya karyanya: Jami’ Saghîr Asbah wa Nazhâir ar-Rahmân, Al-Itqân, Tafsir Jalâlain, Tadrîb ar-Râwi dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 933 H.

Maghrib akan menjelang, untung saja Museum Mustafa Kamil belum tutup. Di dalam bangunan kecil ini terdapat makam Mustafa Kamil, tokoh nasionalisme Mesir pada masa penjajahan Inggris. Selain makam pengacara legendaris ini, disemayamkan 3 jasad tokoh lainnya; Mohammad Farid, Abdurrahman ar-Rafi’i dan Fathi Ridhwan. Seorang petugas memandu kami menjelaskan sejarah benda-benda peninggalan yang terdapat di sini. Memperkenalkan sebuah cagar budaya bernilai sejarah. Dan yang lebih penting, gratis! Tidak ada tiket masuk.

Karena sudah gelap, kami bergegas menapak Masjid Rifa’i dan Madrasah Sultan Hassan. Sayangnya bangunan terakhir sudah tutup. Padahal masjid sekaligus pusat pendidikan fikih empat mazhab pada masa Dinasti Mamalik berkuasa ini termasuk salah satu peninggalan umat Islam terbesar di dunia. Berdiri kokoh dengan dinding cokelat yang eksotis. Konon, Sultan Hassan membangun madrasah ini (1348-1351 M) menggunakan bebatuan yang diambil dari Piramida Giza. Wallahu a’lam.

Persis di sisi masjid Sultan Hassan berdiri Masjid Rifa’i (nisbah kepada Abi Syubbak Hafizh Rifa’i, seorang juru dakwah besar). Ide pembangunan masjid ini lahir dari ibu Khedive Ismail tahun 1287 H/ 1869 M dan rampung tahun 1912. Di dalam masjid Rifa’i dimakamkan beberapa raja, termasuk Fuad II (Raja Farouq, raja terakhir Mesir yang direvolusi tahun 1952). Juga ada beberapa makam Syah Iran, kaisar terakhir Parsi yang digulingkan pada 20 Februari 1979. Sekilas dua masjid ini terlihat kembar, karena memiliki model dan ketinggian hampir sama. Namun berbeda dari berbeda dari menara dan warna batu kedua bangunan.

Setelah shalat Maghrib di Masjid Rifa’i dan memuaskan diri dengan berfoto-ria, kami mengisi perut yang kosong dengan burger kofta di dekat Shalahuddin Park. Malam merayap, azan Isya tiba, kami beranjak pulang.


Saturday, July 5, 2008

Sabarnya Tetangga Kami


Jum'at, 04 Juli 2008. Ba'da Ashar
Telepon dari Hasan sungguh membuat hatiku berdebar. Flat kami kebanjiran. Hasan memang tidak tinggal seflat lagi dengan kami karena sudah pindah ke kawasan Mutsallats. Tapi kakak kelasku ini masih memiliki hubungan yang baik dengan Mama Kautsar, pemilik flat yang kami sewa di Saqr Quraisy.

"Rumah di Saqr banjir," katanya di seberang sana.

"Tadi bawwab (penjaga apartemen) ngubungin mama. Trus mama nelpon ana. Di rumah gak ada orang," lanjutnya lagi.

Kejadian yang pernah menimpa rumahku di Tajammu' Awwal musim dingin kemarin terulang kembali di Saqr. Penyebabnya sama; kran yang terbuka ketika air mati, lalu ketika air sudah mengucur, tak ada yang menutup hingga tenggelamlah seisi flat.

Berarti ada yang lupa menutup kran ketika flat kosong. Sejak kemarin aku memang menginap di IKPM karena ada tugas panitia tur ke Sinai yang aku bereskan bersama teman-teman. Aku harus segera kembali ke flat.

Flat tercinta di Saqr....
Aku menemukan karpet di ruang tamu tergantung di jemuran. Rupanya Yunan dan Dayat sudah beres-beres kemarin. Thanks fren.... Mereka tidak mau merepotkan aku yang sibuk mempersiapkan tur. Yang membuat aku makin terenyuh adalah sikap penghuni flat di bawah kediaman kami yang tidak marah atas banjir yang melanda tempat tinggal kami. Padahal air dari flat kami merembes ke dalam flat mereka. Apalagi ketika bocoran dari kamar mandi kami sering menembus lantai dan sudut-sudut dinding. Suami istri itu tak pernah mengumbar emosi. Mereka cuma memperingati saja, "Kalau air mati, krannya ditutup ya...."

Untuk kesekian kalinya kami kembali mengecewakan tetangga penyabar tersebut... "maafkan kami ya...."

Thursday, May 8, 2008

Berkah Insomnia?

Kamis, 8 Mei 2008. Sekitar jam 11 pagi.
"Berapa juz yang kamu hafal?" Tanya dosen kepada mahasiswa asal Turki di sebelahku.
"14"
Gila! Orang ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Hampir setengah isi Al Qur'an sudah terekam di memori kepalanya. Dua juz yang dijadikan syarat ujian tingkat pertama barang tentu sudah ada di luar kepala. Apalagi hafalanku belum lancar. Ketika melakukan tes bersama Syamsul, teman sedaerahku yang hafal 30 juz, benar-benar terasa hafalanku masih simpang-siur tidak jelas sambungan dan pasangan tiap ayat. Memikirkan ujian, sampai-sampai aku tidak bisa tidur tadi malam. Insomnia dadakan. Baru jam setengah dua mataku bisa terkatup. Padahal dari jam 12 malam, aku sudah berbaring di atas kasur. Tapi masih saja bayang-bayang ujian hari ini menggelayut di pelupuk mata. Komplit sudah horor ujian lisan ketika sekarang aku sudah berhadapan dengan orang ini. Debar jantungku makin berkecamuk.
"Bukan... tapi 14 halaman saja," ujarnya tersipu malu.
Untunglah, aku masih bisa bersaing.
Benar saja, semua soal Al Qur'an yang diberikan padanya tidak bisa dijawab dengan baik. Akhirnya pertanyaan yang dilemparkan kepadaku tersebut, bisa kujawab dengan baik. Bukan berarti aku tertawa di atas "penderitaan" rekan Turki ini. Tapi lebih kepada wujud syukur atas kemudahan yang aku dapatkan dalam ujian lisan. Semoga saja dia dilancarkan dalam ujian selanjutnya (ujian tulis akan dimulai tanggal 18 nanti). Bukan hanya dia, tapi semua mahasiswa. Termasuk aku.

Thursday, March 20, 2008

Bus Ada-ada Saja

Suara berderak terdengar di bawah kakiku. Bus perlahan menepi di Abbas el Aqqad, tapi tak ada yang peduli. Seluruh penumpang, termasuk aku mengira bus sedang menurunkan penumpang atau ada yang naik.

"Turun semuanya..." terdengar suara kondektur.

Aku berpandangan dengan orang Rusia di sebelah, saling mengangkat bahu.

Begitu turun, terkuaklah masalah yang sebenarnya. Ban kiri depan bocor, beberapa puluh senti di bawah tempat aku dan sobat Rusia berdiri.

"Kamu sih, tadi pagi kebanyakan makan, makanya bannya gak kuat nahan badan kamu yang berat," candaku sambil menepuk pundaknya.

Orang Rusia ini tersenyum sambil memperlihatkan barisan gigi depannya yang sudah kehilangan sebuah gigi seri. Aku juga tertawa kecil.

Akhirnya bersama Arwani meninggalkan sobat Rusia yang memilih menunggu di depan pom bensin Caltex, menuju Masjid Nuri Al Khithab. Di depan kampus Kulliyat el Banat tersebut banyak bus menuju Darrasah. Ada 3g, 24g dan 80. Apalagi banyak mahasiswi Azhar yang lalu lalang di sana, sekalian cuci mata. Tak lama berselang, bus 3g datang. Kalau naik angkutan ini kami akan melewati Universitas Ain Shams yang terkenal itu.

Jam 10.30 kami tiba di kampus. Kuliah Ulumul Hadits sudah dimulai, malah akan berakhir setengah jam lagi. Padahal kami berangkat jam 9 pagi. Gara-gara musibah yang tak disangka-sangka merubah semuanya.

Setelah shalat Zhuhur, aku bergegas pulang. Hari ini buku pinjaman dari Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK) harus dikembalikan. Sebenarnya kemarin batas akhirnya. Pasti aku kena denda 3 pound.

Bus 65 yang tadi bocor menyambutku di depan toko selimut. Segera meloncat ke atas, berbaur dengan puluhan mahasiswa lainnya. Padahal ini bukan rute bus 65 yang sebenarnya. Mungkin sopirnya lagi malas, apalagi siang seperti ini banyak mahasiswa yang pulang ke H-10 dan Madinet el Thullab di H-6. Jalur gemuk lah....

Suhu di dalam bus cukup hangat. Maklum, sudah masuk musim semi. Aku sendiri sudah tidak pakai jaket, hanya memakai kaos dilapisi baju koko. Rupanya di atas bus mayoritas adalah mahasiswa Indonesia. Hanya beberapa orang Mesir asli. Sampai-sampai kondektur menyeletuk,
"Orang Indonesia datang ke sini untuk belajar bahasa Arab dan agama Islam. Sampai-sampai satu bus isinya orang Indonesia semua," selorohnya disambut senyum para penumpang yang geer dengan tingkah lelaki gendut ini.

"Khusy uddam!" katanya menyuruh para penumpang yang berdiri untuk maju ke depan mengisi ruang yang kosong.

Cuaca yang cukup gerah rupanya membikin otak cepat panas. Salah seorang mahasiswa Indonesia marah-marah kepada bang Kondektur.

"Jangan suruh-suruh maju ke depan dong, sudah sesak tuh," ucapnya dengan raut masam. Teman-teman Indonesia menyuruhnya sabar. Kondektur pun berusaha tersenyum memenangkan. Akhirnya kemarahannya pun mereda.
...
Irfan menyuruhku datang ke IKPM, buletin Cakrawala sudah siap dicetak. Sesampainya di sana buletin tinggal editing lay-out saja. Kabar ini benar-benar bikin hati sejuk. Tidak sia-sia aku begadang tiga hari di flat sobat kuliner ini dalam rangka mengedit tulisan yang masuk.

Azan Ashar menyadarkanku dari luapan kegembiraan. Aku harus cepat pulang, hari ini giliran aku masak di rumah. Mama pemilik rumah pun rencananya mau datang, menagih uang bulanan sewa flat.

Memburu Uang Saku

Antrian panjang mahasiswa Indonesia sudah terlihat ketika aku dan Arwani tiba di depan kantor Al Jum’iyyah As Syar’iyyah (JS) di Terminal H-10. Tujuan kami berdua sama seperti mereka yang lebih dahulu menunggu, mengambil jatah bulanan atau istilah lainnya musa’adah, yang dapat menambah keras detak nadi kehidupan kami di negeri ini.

JS adalah salah satu lembaga yang memberikan beasiswa dan uang saku bulanan kepada mahasiswa asing seperti kami. Selain Indonesia, mahasiswa dari Negara lain seperti Malaysia, Thailand, Bangladesh, dan kawasan Asia lainnya menjadi pelanggan bantuan tersebut.

Namun perjuangan untuk mendapatkannya tidak semudah yang dibayangkan. Ketika sampai giliranku di depan meja penanggungjawab JS, bungkusan beras habis. Terpaksa semua yang berdiri di antrian gotong-royong menurunkan ratusan bungkus beras dan minyak goreng dari truk. Lelah! Sampai-sampai urat di kedua tanganku menonjol bersama otot yang tegang.

Lumayan untuk memperingan beban hidup. Selain uang saku 50 pound ada juga paket “sembako” yang berisi beberapa kilo beras, makaroni, teh, gula, dan minyak goreng. Kebetulan seluruh penghuni flat kami– 4 orang—sudah terdaftar sebagai penerima bantuan bulanan. Kalau dikalkulasikan selama kurang lebih 3 minggu kami bisa menghemat pengeluaran beras yang biasanya menyedot anggaran paling besar. Jadi iuran bulanan rumah bisa dialokasikan untuk menambah “gizi” lauk sehari-hari. Sehabis Ashar Yunan yang kena giliran belanja minggu ini mengisi kulkas dengan sayuran dan beberapa kilogram ikan tongkol.

Di samping itu setiap orang dapat selimut gratis. Sayangnya musim dingin mulai berakhir. Hawa dingin yang menusuk tulang berangsur menjadi angin musim semi yang sejuk. Akhirnya 4 selimut itu menumpuk di ruang tamu tak tahu harus diapakan.

Musa’adah di Cairo memang bertebaran di mana-mana apalagi tanggal-tanggal muda seperti ini. Biasanya para dermawan menyalurkan bantuannya ke masjid-masjid. Bak dilengkapi radar paling canggih, sebagian mahasiswa Indonesia—termasuk aku— akan menyisir setiap sudut kota melacak keberadaan musa’adah seantero Cairo. Open Hunt Season….

Pindah Kontrakan

Senin, 25 Februari 2008

Pukul 10 pagi….
‘asyra geneih kaman (sepuluh pound lagi)….”
Sambil geleng-geleng kepala supir taksi itu meminta tambahan ongkos. Total yang harus kami bayar adalah 30 pound. Barang kami yang menumpuk tak karuan membuat lelaki setengah baya ini bergidik.

Tanpa banyak cing-cong, aku dan Yunan segera masuk kedalam taksi, berbaur dengan barang-barang lainnya. Berebut tempat dengan monitor dan casing komputer, ransel, berjilid kitab turats serta koper-koper besar. Di atas atap masih ada kasur, meja belajar lipat dan peralatan dapur. Arwani dan Dayat akan mengangkut sisanya yang tidak terlalu berat dengan bus umum. Penghematan gitu lho.

Banyaknya bawaan yang harus diangkut dan jauhnya jarak, membuat kami memilih taksi untuk mengangkut barang-barang milik pribadi dan bersama. Jika menyewa pick-up, ongkosnya bisa mencapai 80 pound.

Keluarga besar el Tagammu’ el Awwal mengadakan imigrasi besar-besaran. Dari enam penghuni flat keramat di gedung 46A, aku termasuk empat orang yang pindah ke Nasr City, tepatnya Sakr el Koresh di H-10. Tiga lainnya adalah Yunan, Dayat dan Arwani. Mayoritas mahasiswa Asia Tenggara memang tinggal di NasrCity.

Rencananya kami mengisi flat yang dulu ditinggali Imam Turmudzi dan kawan-kawan. Dua penghuni lainnya sudah menentukan jalan hidup sendiri. Nuzul ke Gamie sedang Asep masih setia di Tagammu’ cuma pindah flat.

Pemilik flat sudah tidak bisa diajak kompromi soal harga sewa bulanan. Ini tidak bisa dikompromi lagi. Tak ada pilihan selain meninggalkan Tagammu’ di New Cairo. Meski jujur aku masih betah di sana.

Tidak seperti distrik H-10 yang rawan tindak kejahatan, Tagammu’ relatif aman. Tak terdengar penodongan atau cekaman teror seperti yang sering terjadi di H-10. Suasananya pun tak sekumuh Sakr el Koresh. Tagammu’ masih bisa dibilang kawasan elit. Dengan tenang kami juga bisa berangkat ke kampus tanpa berjibaku berebut bus seperti mahasiswa penghuni H-10 lainnya.

Tak ada gunanya menyesali masa lalu. Toh sudah berlalu. Sekarang saatnya menghadapi hidup baru…dengan keluarga lama.

Di depan Masjid Sakr el Koresh, barang-barang diturunkan. Aku naik ke lantai 4, di mana flat baru kami berada. Semenit…dua menit…tak ada jawaban. Kupencet bel berkali-kali. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Yunan segera menghubungi nomor ponsel Imam. Celakanya, tak ada jawaban. HPnya tidak aktif!

Benar-benar gawat. kami berdua terlantar di depan bangunan bak gelandangan tanpa rumah. Dikelilingi segala macam benda. Satu-satunya harapan hanya menunggu Dayat dan Arwani. Setengah jam kemudian, Dayat dan Arwani tiba. Mereka tak dapat menyembunyikan rasa terkejut melihat keadaan kami di pinggir jalan.

Sebelum Aku dan Yunan beranjak kembali ke Tagammu’, dari jauh terdengar teriakan. Sesosok lelaki kurus bergegas menghampiri kami. Tampangnya sudah amat kukenal dan kami tunggu-tunggu. Imam Turmudzi…! Seolah tanpa dosa dia datang sambil tersenyum.
“Udah lama nunggu ya? Sorry, ana dari warnet. Biasa chatting…”

Kebangetan nih orang….dia enak-enakan berselancar di dunia maya, tak tahu penderitaan kami yang sudah lelah setengah mati, masih ditelantarkan pula….

*Ditulis tiga hari kemudian, di flat baru, jam 9 lebih 53 menit. Setelah acara kumpul-kumpul di sekretariat PCINU.

Nonton Penuh Kritik

Dua ekor firakh masywi ludes, hanya menyisakan belulang. Dalam rangka tasyakuran atas komputer baru Irfan dan Taufik, aku ikut ambil bagian dalam pesta “berayam panggang” ini. Di tengah hingar bingar makan besar, Mas Afif pulang. Yang membikin aku senang tak kepalang, Pria asal Madura ini membawa copy film Ayat-ayat Cinta (AAC)!

Aku yang tinggal di New Cairo melihat pulang malam-malam begini bukan solusi yang baik. Bukan karena krisis keamanan yang dewasa ini terjadi di Nasr City. Tapi lebih cenderung pada cuaca musim dingin yang tak bersahabat. Perjalanan ke rumahku juga memakan waktu yang cukup lama.

Bukan rahasia lagi kalau perut kenyang dan kasur empuk plus selimut adalah faktor utama penyebab kantuk. Dalam keadaan normal, tiga faktor di atas akan memindahkan seseorang ke dunia mimpi sekejap mata.

Namun godaan AAC mengusir kantuk jauh-jauh. Selentingan kabar bahwa film AAC jelek dan mengecewakan tidak kuindahkan. Film ini adalah obsesi keduaku setelah ketemu Habiburrahman El Shirazy di Cairo. Dibawah balutan selimut, aku dan Sobat Kuliner duduk manis menghadap monitor.

Tak terelakkan, aku kecewa melihat adegan demi adegan film besutan sutradara Hanung Bramantyo ini. Berbeda dengan gambaran kehidupan yang aku dapati sendiri di Mesir. Aku dan Sobat kuliner memang tak henti mengkritisi jalan cerita dan setting yang ditayangkan. Tapi kami maklum, Mas Hanung banyak menghadapi kendala dalam syuting AAC. Bahkan lokasinya dipindahkan ke India karena masalah dengan birokrasi pemerintah Mesir. Jalan cerita juga dipermak dan dipersingkat, sedikit berbeda dengan novel.

Dalam novel, yang menuntut Fahri ke pengadilan adalah keluarga Bahadur—ayah tiri Nouora—sedang di layar lebar, ayah kandung gadis ini yang melakukannya. Juga ada sisipkan rekayasa kecelakaan mobil yang disusun Bahadur untuk membunuh Maria. Tabrakan inilah yang menyebabkan Maria sakit parah hingga koma. Tokoh Tuan Boutros, ayah Maria juga ditiadakan dari skenario.


AAC menggambarkan Mesir—ini yang tidak di sukai kalangan Masisir—lebih kumuh dan sembraut disertai potongan-potongan padang pasir. Tidak ada gemerlap Abbasea, Nasr City atau Heliopolis. Yang ditampakkan hanya kawasan pinggiran sekitar flat Fahri saja.
Belum lagi adegan mesra antara Fahri dan Aisha atau Maria setelah menikah yang terlalu berlebihan. Tidak sampai melanggar batas-batas kesopanan memang. Namun bagi para konsumen film islami, beberapa adegan ini cukup menggangu.

Meski begitu, acungan jempol buat mas Hanung. Dengan segala keterbatasan yang ada, sineas muda ini sudah berbuat maksimal. Paling tidak mengobati kehausan akan sinema islami di dunia layar lebar tanah air yang kini disesaki roman-roman percintaan tanpa makna hidup.

Jam setengah 2 malam, kami baru tidur. Mudah-mudahan besok pagi bisa bangun cepat. Semoga!

Banjir!

Tidak ada hujan lebat atau badai topan. Sungai Nil juga takkan meluap.

Suara panik Arwani membangunkanku dari tidur. Aku terpana melihat seisi kamar yang terendam air. Karpet dan kasur sudah basah setengahnya. Untung saja komputer tidak ikut-ikutan basah. Air juga merembet kamar Arwani dan Dayat. Yunan dan Arwani tidak terkena imbas banjir ini sebab mereka berdua memakai dipan.


Kantuk yang telah lenyap tak berbekas menuntunku langsung ngacir ke kamar mandi untuk berwudhu. Bencana ini harus segera dibereskan.


Rupanya kran tadi malam tidak dalam posisi tertutup setelah kami memasak di dapur. Memang ketika itu air sudah mati. Begitu hidup dini hari, air tumpah dari tempat cuci piring yang mampet dan meluas kemana-mana. Olala! Jadilah rumah kami kebanjiran.


Kasur, selimut dan karpet kami jemur di luar. Hingga sore, hanya selimut yang kering dan bisa dipakai kembali. Andai ini terjadi saat musim panas, mungkin ceritanya akan lain. Suhu yang gersang akan mengeringkan harta benda kami dengan segera. Namun matahari tak bisa berbuat apa-apa di musim dingin.


Malam ini aku terpaksa tidur di kamar Asep. Di sana ada dua kasur. Sebelum tidur aku kembali ke dapur memeriksa kran. Fuih…kran sudah mati.

Tur Alexandria

Guyuran air hangat di sekujur tubuh membuatku seakan hidup kembali. Sudah beberapa hari aku tidak mandi. Bukan karena aku bermental kambing atau tidak menjaga kebersihan badan. Musim dingin menjadikan air di kamar mandi seperti benda yang menakutkan. Apalagi penghangat air di flatku tidak berfungsi. Kami serumah harus merebus air dulu sebelum mandi. Cukup merepotkan jika harus mandi tiap hari, gas untuk memasak jadi cepat habis. Rata-rata aku dan orang serumah di Tagammu' hanya mandi seminggu sekali atau mimpi "byur-byur".
Paling tidak ada dua keuntungan bermalam di flat Imam. Pertama tidak terlambat ke IKPM pagi ini. Kedua, bisa mandi air hangat... he he he.

07.45, bus berangkat.
Lewat kubri (jalan layang) adalah pilihan paling bijak yang harus diambil sopir untuk menghindari macet. Dalam setengah jam dari Nasr City, Giza akan dapat dicapai tanpa halangan berarti. Beda jika mengambil jalan kota, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu dua kali lipatnya!

Kebetulan aku dan Sobat Kuliner duduk berdampingan dalam bus. Sambil mendengarkan dendang lagu dari ponsel Nokia Communicator miliknya, terlihat keramaian Kairo dari atas kubri. Pemandangan Ramsis, stasiun metro Ghamra, kantor pusat koran el Gomhuria dan Akhbar el Yoom, Suq Wikalah, Tahrir beserta sungai Nil, rumah sakit Qibti dan gereja-gereja Koptik yang menebar nuansa mistis.


Tak lama kami sudah masuk propinsi Giza. Panorama pencakar langit yang tadi terlihat dari kubri berganti dengan ladang-ladang sayuran. Di sebelah kiri jalan, bangunan legendaris piramid ada di kejauhan. Kapan-kapan aku akan berkunjung ke sana. Tinggal di Mesir tak lengkap tanpa melihat piramid langsung dengan mata kepala sendiri sekaligus berfoto di sana.

Dua jam kemudian....
Bus melaju lurus membelah jalan tol. Samping kanan kiri hanya terlihat padang pasir gersang.

Azan Zhuhur.
Debur laut Mediterania menyambut kedatangan kami di bibir pantai. Di sisi lain Benteng Qit Bey berdiri kokoh menantang tamparan ombak. Desir angin laut dan hempasan gelombang seolah menceritakan epos maharaja Macedonia penakluk dunia yang mendirikan kota ini. Alexander the Great yang juga disebutkan dalam Al Qur’an sebagai Iskandar Dzulqarnain telah membentangkan kuasanya dari ujung barat ke pojok timur bumi.
Terlihat beberapa pasang anak manusia berbeda jenis berpelukan mesra disaksikan riak buih air laut. Seperti adegan sinetron saja.

Aiman, warga setempat yang aku ajak ngobrol menjelaskan bahwa hari Valentine seperti ini memang ajang pasangan yang memadu kasih di pantai Alexandria.
“Yoom ‘ied el hubb,” kata remaja kelas 2 tsanawy (setingkat 2 SMA) ini menyebut istilah yang dipakai muda-mudi Mesir menyebut Valentine Day.

15.30
Dinding batu berukir aksara-aksara dunia; latin, arab, hindi, baltik, greek, katakana, babilonia, hierogliph menghiasi bagian luar Bibliotheca Alexandrina—Perpustakaan Alexandria. Di pekarangan gedung berdesain kontemporer dengan sudut-sudut sederhana tanpa ornamen njelimet ini terdapat patung kepala Alexander the Great.

Tak salah jika perpustakaan ini disebut salah satu perpustakaan terbesar di dunia. Ratusan ribu buku dan lembar manuskrip tersimpan rapi di rak-raknya yang berdesain futuristik dengan lampu-lampu neon flourecent.

Di ruang baca, komputer-komputer akan menolong pengunjung mencari referensi yang diinginkan. Tinggal ketik kata kunci lalu klik beberapa kali, maka semua data akan terpampang di monitor. Cuma sekedar menonton video dokumenter atau film sejarah juga tak masalah. Pihak perpustakaan tetap welcome. Lebih canggih dari Perpustakaan ISID lho….

17.00, Montaza Park
Akhirnya terbukti kelompok kami, Ma’alisy—Mahasiswa Kholash Tob’an Kkuwaisy—adalah grup adventurer terfavorit. Tak sia-sia kami bertujuh menjelma jadi kumpulan orang edan. Bukan nomor satu memang. Gelar terbaik direngkuh salah satu tim cewek yang memang lebih unggul dalam presentasi dan laporan perjalanan Cairo Adventure.

Status ini disematkan di taman sebelah utara Istana Montaza, tempat menginap tamu-tamu kehormatan negara. Sambal pedas buatan Darussalam Catering tak sanggup menghangatkan suasana akibat terpaan angin laut yang mulai dingin.

Bergegas aku masuk kedalam bus meski teman-teman yang lain menunaikan shalat Maghrib di Mushalla terdekat. Nanti sajalah sekalian jama’ dengan shalat Isya di rumah, begitu kataku dalam hati. Tubuhku menggigil hebat tak sanggup lagi menerima tusukan udara dingin laut Mediterania.

11.20
Dengan mata mengantuk aku keluar dari bus. Kami sudah tiba kembali di Hay 10, akhir dari tur ini. Aku dan penduduk Tagammu’ lainnya segera menyetop el tramco ke terminal Hay 10. Sebelum tramco berjalan, mataku menangkap ada cewek IKPM yang pingsan begitu keluar dari bus. Sebelum aku tahu pasti penyebab tumbangnya gadis ini, tramco sudah berjalan. Memaksaku untuk hanya menerka-nerka saja di flat nanti.

Konvoi Buldozer

Jam 9 malam kurang seperempat, aku terbangun dari tidur. Kelebatan di otakku mengembalikanku dari dunia mimpi. Malam ini ada pertadingan penting yang tak boleh terlewatkan. Tanpa mencuci muka aku keluar flat, menuju toko bangunan yang biasanya mengadakan nonton bareng.

Benar saja, ketika aku sampai, pertandingan sudah dimulai. Keunggulan 1-0 berada di kubu Mesir. Namun dengan membabi-buta Kamerun membombardir pertahanan mereka. Untung saja kiper Esham Hadhary tampil cemerlang menyelamatkan gawangnya dari kebobolan.

Begitu peluit berbunyi tanda pertandingan usai, suasana berubah ramai. Bangsa Mesir memang terkenal fanatik sepakbola. Seorang ibu tua dengan dua putrinya bahkan ikut menyaksikan partai final bersama kami. Ikut histeris, ikut berteriak menyemangati Hadhary dkk.

Para pria konvoi berkeliling sambil membunyikan klakson. Yang membuat aku geli, ada yang mengendarai Buldozer zig-zag sambil membawa belasan orang di atasnya, merayakan gelar juara Mesir dengan mengibarkan bendera kebangsaan.

Harus diakui, terkadang mereka terlalu berlebihan dalam mendukung tim kesayangan. Dua tahun silam, Vodafone--penyedia jasa telekomunikasi seluler--pernah memberikan bonus sms gratis selama beberapa hari setelah Mesir yang jadi tuan rumah jadi juara Piala Afrika. Agak edan.

Abo Treka tersuruk lama dalam sujud di atas rumput. Gol semata wayangnya menorehkan gelar 6 kali yang direngkuh para Fir'aun dalam kejuaraan Piala Afrika. Sejarah besar yang akan menjadi cerita kepada anak cucu di lembah Nil.

Bukan Abo Treka saja yang berhak menyandang sebutan pahlawan. Penjaga gawang Hadhary, kapten Ahmed Hassan, Mohammad Zidan yang memberikan umpan, pelatih Hassan Shihata, hingga pemain di bangku cadangan.

Imajiku berangan nakal. Entah apa yang terjadi jika Mesir kalah di final, dan Kamerun yang bergembira. Kerusuhan, tindak anarkiskah seperti di tanah air? Yang jelas itu tidak terjadi sekarang.

Memenuhi Hasrat

"Ma'mun!"Teriakan pegawai imigrasi itu membahana, menyambar saraf pendengaranku hingga darah tersirap di sekujur tubuh. Segera aku menerobos barisan pengantri, tak peduli bahuku menyenggol para mahasiswi yang juga ikut "berjuang" di kantor ini, menyambut panggilan perempuan setengah baya tersebut.

Dengan visa yang sudah di perpanjang, eksistensiku di negeri Fir'aun ini terjamin selama setahun kedepan. Walau untuk itu aku harus berjuang eksra keras untuk dapat menembus antrian imigrasi yang melelahkan. Bahkan tadi malam aku harus bermalam di rumah mas Afif dkk. Lokasi rumah mereka di bilangan Rabea relatif lebih dekat jika dibandingkan tempat tinggal kami di Tajammu'.

Selesai satu urusan masih ada yang menunggu. 5 Menit keluar dari gerbang imigrasi, aku sudah berada dalam bus 80 coret, menuju Griya Jawa Tengah di Hay 10. Tak peduli perut yang keroncongan--meski sudah terisi sepotong isy bil kibdah, masih lapar euy!--mantap aku memasuki aula pertemuan.

Seminar Bersama Habiburrahman el Syaerozi (Kang Abik), penulis novel idolaku baru dimulai. Ini acara mahapenting! Pertemuan dengan seseorang yang sudah kuimpikan sejak tiga tahun silam.

Di Gontor memang pernah didakan acara serupa. Dua kali malah. Tapi ketika itu aku disibukkan tugas bagian hingga tak bisa hadir. Hutang itu terbayar lunas, hari ini di negeri tempat setting novel Ayat-ayat Cinta karangan beliau.

Azan maghrib menutup seminar ini. Aku puas, bahagia, pokoknya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ada suka yang merambah seisi hatiku.

Setelah shalat maghrib, aku berjalan menyusuri jalanan Mutsalats. Ada talk show di sekretariat Kalimantan di Shaqr Quraisy yang harus kuhadiri. Meski daerah ini terbilang rawan kejahatan, waktu seperti ini masih relatif aman sebab masih banyak orang beraktifitas. Tindak kriminal yang menimpa mahasiswa asing seperti kami umumnya terjadi di kawasan sepi. Tempat para begundal yang terdiri dari pengangguran negro Sudan dan Mesir sendiri sering nongkrong.

Di sekretariat, Reza mengingatkan bahwa besok ada turnamen Futsal. Kesempatan untuk mengasah naluriku kembali terbuka. Musim dingin memang membuat orang malas berolahraga, sebab keringat yang tidak keluar dengan sempurna membuat seluruh tubuh gatal-gatal.

Yang penting besok aku harus turun ke lapangan.

Tak Buta Karena Cinta


Xiao Zao dihadapkan pada pilihan sulit. Menyelamatkan nyawa ibunya atau kehilangan sang kekasih hati untuk selamanya. Sebuah pengorbanan besar akhirnya dipilih gadis jelita ini dengan menjadi ketua Aliran Ming Persia hingga nyawa ibunya terlindungi.

Konsekuensi yang mahal karena sang ketua harus tinggal di Persia dan hidup membujang sepanjang hayat, haram kawin sebagaimana lazimnya peraturan perguruan yang berlaku.
Dengan mundurnya Xiao tinggal tiga wanita lagi yang memperebutkan cinta Zhang Wu Ji; Minmin Temuer, putri Mongol yang licin, Zu Er, adik sepupu Wu Ji dan Zi Rou, ketua perguruan E Mei. Begitulah kira-kira jalan cerita episode 28 serial silat Pendekar Zhang Wu Ji. Film silat berlatar belakang konflik berabad silam antara Mongol dan bangsa Han di Cina. Tak ketinggalan dibumbui romantika cinta anak manusia.

Libur musim dingin yang singkat kami habiskan di depan monitor komputer, mengikuti kisah bersambung ini sampai tamat di episode ke 40.
Pelajaran penting dari sutradara: cinta tak membuat Xiao Zhao lupa dunia dan buta segalanya. Akal sehat masih bisa menguasai diri meski hatinya menggelepar di mabuk asmara. Sadar, ibunya lebih jauh lebih penting daripada memuaskan hasrat kalbu yang menggelora. Bertolak belakang dengan Minmin yang rela mengkhianati keluarga, suku dan bangsanya hingga ayahnya dipenjara oleh pemerintah Mongol. Pendekar Rou pun harus hidup dalam perang dingin dengan saudari-saudari seperguruan demi kelangsungan hubungan dengan Wu Ji.

Masalah cinta memang takkan ada habisnya untuk dibicarakan. Kata orang, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati karena cinta. Kadang manusia mengalami gejala kejiwaan aneh hingga bingung tujuh keliling tatkala dihantam problematika yang satu ini. Tapi kami serumah tak kalah pusing, mau nonton film apa lagi setelah serial Zhang Wu Ji ditamatkan?


Tagammu' Awwal, 29 Januari 2008, jam 12.25.

Monday, March 3, 2008

Biografi

MUHAMMAD YULIAN MA'MUN


Aku lahir di Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin Jum'at pagi tanggal 24 Juli 1987. Masa kecilku dihabiskan di kelurahan Sungai Lulut, kawasan pinggiran sungai sebelah paling timur Kota Banjarmasin. Meski tinggal di 'pelosok kampung', aku sekolah di SD Negeri Kebun Bunga 6 yang berdekatan dengan kampus Institut Agama Islam Negeri Antasari--tempat Ayahku mengajar. Wajar saja jika aku sering terlambat datang ke sekolah sebab jarak yang lumayan jauh antara rumah dan sekolah. Prestasiku selama di SD ini bisa dibilang lumayan. Meski hanya sekali-dua kali rangking satu, tapi nilai rapor tidak jauh dari 3 besar. Hanyasaja aku mudah sekali menangis hingga selalu jadi bulan-bulanan ejekan teman-teman. Dasar cengeng!

Namun itu semua berubah sejak lulus SD akhir 1999, karena aku dikirim merantau ke kota Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara (200 km sebelah utara Banjarmasin). Kalau boleh berbangga, nilai NEM-ku waktu itu pantas untuk masuk SMP favorit. Tapi kedua orang tuaku berpikiran lain, aku harus diberikan pendidikan agama di pesantren untuk membentengi dari dampak era globalisasi. Akhirnya tiga tahun berlalu di Madrasah Tsanawiyah Normal Islam Putra, Amuntai, yang memiliki sistem asrama di bawah Pesantren legendaris 'Rasyidiyah Khalidiyah'.

Lulus SLTP aku kembali bertualang, kali ini menyeberang laut Jawa. Aku menemukan sebuah 'perguruan shaolin' di pedalaman kabupaten Ponorogo. Aku menjadi bagian dari keluarga Pondok Modern Gontor yang sarat sejarah. 24 jam para santri digembleng untuk menjadi ustadz serba bisa; pemimpin-guru-intelek-seniman-orator-kreatif-gaul dan masih sejuta kemungkinan yang bisa terjadi sesuai dengan kondisi mental dan kejiwaan para santri. Trio pimpinan pesantren (K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, K.H. Hasan Abdullah Sahal & Almarhum K.H. Imam Badri) tidak tunduk kepada siapapun kecuali Allah SWT Sang Pemilik Dunia. Dan terbukti, Allah menundukkan dunia kepada mereka!

Akhir 2006 adalah tahun terakhirku menjadi santri. Setelah lulus, alumni pondok ini disebar ke seluruh penjuru Indonesia untuk berjuang di tengah masyarakat. Sedangkan aku diberi kesempatan untuk melatih diri sebagai guru di Gontor, di almamaterku sendiri. Entah apa yang ada di kepala para Asatidz saat menentukan pengabdianku di pondok ini. Aku merasa aneh harus bersikap lebih dewasa dan bijak. Tapi bagaimanapun aku tetap bersyukur, sebab inilah suratan takdir yang ditentukan Allah hingga tahun 2007 aku kembali melancong. Kali ini lebih jauh; kota nan abadi Cairo di benua hitam Afrika untuk kembali maha-santri di salah satu kiblat para pemuda muslim dunia, Universitas Al Azhar.