Tuesday, July 21, 2009

Pemerintah Kairo Larang Maulid Sayyidah Zainab

Para peziarah di Sayyidah Zainab

Peringatan hari lahir (maulid) Sayyidah Zainab, salah satu cucu Rasulullah SAW dirayakan setiap tahun di. Ribuan muslim dari berbagai daerah di penjuru Mesir berdatangan. Namun tahun ini tradisi itu terancam batal karena pemerintah Kairo memutuskan untuk meniadakan acara maulid tersebut. Abdel Azeem al Wazir, Gubernur Kairo menerapkan kebijakan ini sebagai langkah pencegahan terhadap wabah flu babi. Hingga 16 Juli, tercatat 122 kasus penyakit yang disebabkan virus H1N1 di negeri Piramida ini.

Sejak pembatalan ini diumumkan minggu lalu, petugas keamanan telah memaksa para peziarah untuk meniggalkan lapak dan tenda-tenda di sekitar masjid Sayyidah Zainab, Kairo. Acara puncak yang dijadwalkan 21 Juli ini terancam tidak terlaksana.

Sumber: Al Masr
Pelarangan ini juga membuat para pedagang gundah. Sayid Madkour, warga provinsi Kafr al Sheikh harus rela melihat dagangannya tidak laku. "Padahal saya sudah membawa banyak mainan anak-anak senilai 3.000 pound untuk dijual di sini." "Acara ini (maulid Sayyida Zainab) merupakan warisan leluhur," ujar Sheikh Abdul Gelil Mohammed, perwakilan Tariqah Qasimiyah, salah satu kelompok sufi muslim sunni kepada surat kabar al Masry al Youm. Tokoh Tarekat asal Qalyubiya tersebut menuntut pemerintah untuk menutup wadah-wadah keramaian lain seperti pasar dan bioskop, bukan hanya festival maulid ini.

Sumber: Al Masry Al Youm, 19 Juli 2009

Monday, July 20, 2009

Hari Lahir Mandela Jadi Hari Nasional

Johannnesburg-Berbarengan dengan ulang tahun Nelson Mandela ke 91, Sabtu (18/07), para pendukungnya meresmikan sebuah hari khusus dengan menggunakan nama Presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan (Afsel) ini.

Mandela beserta keluarganya dan kerabatnya merayakan "Hari Mandela" dimana masyarakat dianjurkan untuk melakukan perbuatan baik terhadap lingkungan sekitar. Yayasan sosial milik Mandela mengharapkan "Hari Mandela" menjadi acara nasional tahunan.

"'Hari Mandela' diadakan untuk memperingati kehidupan Nelson Mandela. Selain itu juga merupakan seruan kepada masyarakat dunia agar percaya terhadap kekuatan yang ada dalam diri mereka untuk merubah keadaan di sekelilingnya," ujar juru bicara yayasan Mandela.

Inisiatif ini mendapat dukungan dari PBB. Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal PBB menggambarkan Mandela sebagai "perwujudan dari nilai-nilai luhur yang ada di PBB".

"Komitmen Mandela terhadap demokrasi di Afsel, ketabahannya terhadap keadilan dan sikap pemaafnya kepada pihak yang selama ini menyakitinya merupakan sifat-sifat seorang yang mulia," puji Ban. "Semoga kita bisa meneladani kebijaksaan dan karyanya di masa depan," tambahnya lagi.

Bakti Sosial
Setelah menjabat sebagai presiden Afsel selama satu priode (1994-1999), Mandela mengabdikan diri dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan seperti memerangi AIDS dan kemiskinan. Selain itu Mandela juga aktif dalam kampanye sosial membantu anak-anak yang kurang beruntung di negaranya seperti mengumpulkan pakaian bekas, renovasi sekolah-sekolah dan pembangunan rumah singgah bagi para tuna wisma.

Simpatisan "Hari Mandela" mengajak masyarakat untuk mengorbankan waktu paling sedikit satu menit untuk pelayanan umum. Seperti Thandiwe Gwinza, perawat rumah sakit di Johannesburg yang ikut menjadi sukarelawati untuk memasak sup.

"Pagi ini saya telah menghabiskan 67 menit untuk membantu orang-orang memasak sup. Saya juga memberikan pakaian bekas saya kepada mereka yang kurang mampu," jelasnya.

Para tokoh negara juga tidak tinggal diam. Jacob Zuma, presiden Afsel mengunjungi kawasan miskin di Johannesburg setelah lawatan ke kediaman Mandela. Helen Zille, pemimpin partai oposisi pemerintah pun terlihat sibuk di dapur umum.

Sumber: Al Jazeera, 19 Juli 2009

Sunday, July 19, 2009

Tiga Hari untuk Bersedih dan Berbangga


Kamis, 16 Juli 2009
Setengah tak percaya aku mendengar kabar wafatnya Badrun. Saat itu aku masih berada di Wisma Nusantara, Rabea el Adawea karena ada kegiatan yang diselenggarakan
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Mesir. Salah seorang teman menyodorkan rekaman percakapannya melalui aplikasi chatting Yamee! di ponselnya yang mengabarkan berita tersebut. Masih tak percaya, aku buka Yahoo! Messenger di ponselku dan kudapatkan banyak pesan offline memberitakan kabar duka; adik kelasku Badrun Syamsu Rangga Dyka meninggal akibat tenggelam di pantai Sharm el Sheikh. Teman-teman lainnya yang ikut rombongan tour ke Sinai sempat memberikan pertolongan namun Allah memanggilnya dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Malam setelah selesai acara, aku mampir di Sekretariat IKPM Cab. Kairo, ingin memastikan kejadian itu. Ternyata kabar yang tidak aku harapkan itu bukan isapan jempol belaka. Di IKPM sudah ada beberapa senior termasuk Abdullah Yazid, Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Mesir. Pemuda asal Ponorogo ini memang terkenal mudah bergaul dengan siapa saja. Tak heran, kepergiannya menoreh jejak duka yang membekas. Selamat jalan Sahabat! Rezeki, jodoh dan ajal memang sudah tertulis atas kehendakNya.

Jum'at, 18 Juli 1987

Teroris sialan! Jakarta kembali diguncang ledakan bom. Setelah selama tiga setengah tahun relatif aman dari kejadian bernuansa terorisme, pagi ini Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Hotel luluh lantak. Parahnya, hotel Ritz menurut rencana adalah tempat menginap pemain tim sepakbola Manchester United selama di Jakarta. Buntutnya, kesebelasan besutan Sir Alex Ferguson ini membatalkan pertandingan ujicoba melawan Indonesia All Star. Aku memang bukan penggemar fanatik United, tapi gagalnya tur tim berjuluk 'Setan Merah' ini ke Indonesia membuat wajah kita tercoreng. Apalagi jika menyangkut cita-cita menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Yang lebih mengesalkan adalah respon pemerintah yang mengkait-kaitkan tragedi ini dengan isu konspirasi politik. Bah! Jadi tambah puyeng kepalaku!

Sabtu, 19 Juli 2009
Ba'da shalat Zhuhur, jenazah Badrun dishalatkan di Masjid As Salam. Menurut rencana, besok almarhum akan diterbangkan ke Indonesia untuk dikebumikan di tanah kelahirannya Ponorogo sesuai permintaan keluarga. Bapak A. M. Fachir, Duta Besar Indonesia di Cairo juga ikut hadir dan memberikan sambutan seusai shalat jenazah. Beliau berpesan agar kita selalu berlomba berbuat kebaikan agar nantinya ketika harus meninggalkan dunia yang fana ini meninggalkan jejak yang bermanfaat bagi orang lain seperti yang sudah dicontohkan alm. Badrun. Sebulan silam, buku karangan Badrun diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, salah satu penerbit terkenal. Badrun menggunakan nama pena 'Fahdin Ardhain' ketika merampungkan buku berjudul 'Diary Dodol ABG Ngocol' ini. Laman Lingkar Pena di Multiply pun merilis berita belasungkawa.

Di luar pagar masjid aku bertemu Hafidz Apriliyan, teman sekelasku dulu di Pesantren. Hafidz yang kuliah di fakultas Bahasa Arab di luar dugaan meraih nilai mumtaz (cum laude). Mahasiswa fakultasi ini memang lebih sedikit dibanding dengan fakultas Ushuluddin & Syariah sehingga nilai ujian semester akhir kemarin juga lebih dahulu turun. Selamat Kawan!

Jujur, aku iri sekaligus bangga dengan mereka berdua.

Saturday, July 11, 2009

Kontes Desain Sampul

Baru-baru ini Kedutaan Besar Republik Indonesia di Cairo melalui Fungsi Pensosbud mengadakan lomba desain cover buku "Potret Hubungan Indonesia-Mesir". Dengan segala kerendahan hati aku memberanikan diri ikut. Peluang menang kecil sih sebab dari 25 orang yang ikut, kebanyakan adalah para maestro desain grafis mahasiswa Indonesia di Mesir.

Untuk menghibur diri dan mengatasi krisis kepercayaan pribadi aku posting saja di blog contoh sampul depan dan belakangnya.

Sampul Depan


Sampul Belakang

Friday, July 3, 2009

Coklat Mahmud


Kairo diselimuti musim dingin. Suhu rata-rata di bawah 10 derajat celcius. Bagi mahasiswa Asia Tenggara sepertiku, temperatur ini cukup ekstrim. Suasana seperti ini paling enak ya, meringkuk di bawah selimut sambil menyeruput teh hangat, wuih nikmatnya. Namun dingin yang menggigit tak menyurutkan semangatku kuliah. Meski harus berjubel dalam bus menuju distrik Darrasah di mana Universitas Al Azhar berada. Di sini memang terdapat kampus khusus bagi fakultas-fakultas agama Islam, sedangkan fakultas umum Al Azhar seperti kedokteran, pendidikan dan teknik berada di Nasr City.

Fiuuuh! Akhirnya, jam kedua selesai. Wah, berat juga yah yang namanya pejaran Nudzum Islamiyah itu. Sudah bukunya tebal, materinya banyak lagi. Semoga ujian nanti aku bisa dimudahkan. Amien.

Aku langsung menuju Masjid Azhar. Ya, biasa. Shalat Dhuhur disana, dan nantinya makan siang dengan raghif kibdah[1]. Cukup 2 pound[2] sudah bisa kenyang. Musim dingin seperti ini perut memang cepat lapar.

Setelah melahap habis kibdah. Aku dan teman-teman Indonesia lainnya melanjutkan perjalanan sambil menunggu bus. Sesekali perjalanan kami dibumbui canda dan tawa gelak para pemuda. Kami sampai melupakan bahwa kami sudah berkepala dua. Setidaknya, kamui tidak kehilangan sense of humor masa ABG kami. Hehehe…

Tak terasa, bus yang kami nanti belum juga lewat. Kami memutuskan untuk menuju ke terminal Darrasah. Tak terlalu jauh memang, hanya sekitar lima ratus meter dari tempat kami berdiri sekarang. Setibanya disana, aku menyaksikan betapa ramainya terminal ini. Mengingatkan aku akan terminal kotaku dulu. Yah, semasa SMP sebelum masuk pesantren, aku sering menghabiskan waktu seusai jam pelajaran sekolah berakhir di sana. Sekedar kongkow bersama teman di warung kopi sambil ngemil pisang goreng atau ngegodain cewek yang lewat. Betul kata orang, masa ABG memang masa yang paling indah.

Lamunanku putus bersamaan saat pandanganku menangkap sosok kecil menjajakan coklat kepada orang-orang yang seakan sibuk sendiri dengan aktifitas mereka.

“25 piaster saja…siapa yang mau beli?” teriaknya lantang.

Hanya seperempat Pound, coklat yang di tawarkan anak bocah ini para calon penumpang yang menunggu bus mereka di terminal. Dengan lincah kakinya menerobos tubuh-tubuh orang dewasa yang memenuhi terminal. Tanpa putus asa menawarkan dagangannya pada setiap orang meski tak seorang pun yang tertarik membelinya.

Ekor matanya menangkap kehadiranku yang memperhatikannya dari jauh. Perlahan dia memutar haluan, berjalan cepat ke arahku. Sinar matanya dengan penuh harapan semoga dagangannya kubeli nanti.

Sebatang coklat disodorkan padaku. Aku menolak dengan halus.

“Asif ya walad, ana muflisy,”[3] aku menolak secara halus.

“Ayolah beli satu saja,” anak ini mencoba merayu.

Pengasong ini tak bergeming dari tempatnya berdiri. Masih menyodorkan sebatang coklat. Apa boleh buat aku tak bisa menolongnya, tidak ada uang kecil lagi. Yang tersisa hanya 50 piaster, hanya cukup buat ongkos bus pulang ke flat di Nasr City. Memang di dalam ransel masih ada selembar 20 pound, terlalu besar untuk membeli sebatang coklat. Perlahan posisi anak ini mendekat lalu duduk di sampingku.

"Ayolah 'amu… beli dong… satu saja,"

Aku hanya menggeleng sambil memandangnya sekilas. Bocah dekil, kotor dengan rambut kusut yang tak pernah disentuh shampoo. Usianya mungkin sekitar 7 atau 8 tahunan.

“Nama kamu siapa?” tanyaku.

“Mahmud,” jawabnya sambil menaruh sebatang coklat di pangkuanku.

"Di mana rumah kamu?"

"Saya tinggal di Gamalea sama ibu," hmmm…rupanya tak begitu jauh dari sini.

"Ayah?" aku keceplosan.

"Sudah meninggal ketika saya dalam kandungan," jawabnya dengan nada sedih.

"Maaf," aku merasa bersalah mengungkit kisah sedihnya.

Mahmud diam sejenak, mungkin merenungi nasibnya. Matanya menerawang jauh ke depan. Aku pun ikut diam. Anak sekecil ini harus berjibaku menghidupi dirinya. "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu" kata Iwan Fals dalam salah satu lagunya. Aku tak mau bertanya tentang pekerjaan ibunya. Sudah pasti mereka hidup dalam kekurangan. Memaksa Mahmud meloncat dari bus ke bus menjajakan coklat yang untungnya tak seberapa di terminal ini.

Dalam hati aku mensyukuri apa yang aku dapatkan di masa kecil. Keluarga kami cukup berada. Gaji orang tuaku sebagai pegawai negeri cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Akupun dapat menikmati masa kecil sebagai anak-anak. Tak sulit bagiku minta dibelikan playstation, sepeda baru atau mengoleksi komik Dragon Ball yang dulu ngetop. Dengan sedikit rengekan manja, hampir semua keinginanku akan dikabulkan.

"Dapat berapa hari ini?" tanyaku iseng.

"Yah, cuma sedikit…" Mahmud menyeluarkan lembaran pound lusuh dari saku celananya. Hanya ada tiga lembar nominal 1 pound. Padahal sudah hampir Ashar.

Aku kembali memandangi anak kecil ini dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kerasnya kehidupan membuat bocah yang seharusnya tampil dengan segala kelucuan yang menggemaskan dalam usia seperti ini berpenampilan lusuh dan tak terawat khas anak jalanan. Sampai-sampai resleting celananya dibiarkan terbuka. Urusan perut yang terus menjerit sepertinya harus diutamakan. Apalah artinya resleting celana yang rusak dibanding kebutuhan primer yang lebih mendesak.

"Hei, perbaiki celana kamu tuh…" aku menunjuk celananya sambil tersenyum.

Mahmud ikut tersenyum. Senyum yang memiliki ribuan makna. Di sebelah kami, para gadis murid sekolah menengah tertawa kecil melihat kepolosan anak kecil ini. Kami tergelak, paling tidak sejenak Mahmud melupakan hidupnya yang malang.

Aku jadi iba. Ingin rasanya membantu meringankan beban hidup Mahmud dengan membeli barang satu atau dua bungkus dagangannya. Aku mengambil dua batang coklat. Selembar 20 pound kukeluarkan dari ransel.

"Wah…uangnya besar sekali, gak ada kembaliannya," kata Mahmud.

"Ya sudahlah, kembaliannya buat kamu saja," aku menyahut.

Entah kenapa aku jadi begitu baik hari ini. Padahal peminta-minta di jalan saja jarang kukasih, kalau pun memberi paling banyak aku menyerahkan pecahan 50 piaster. Mahmud beruntung hari ini.

Aku merenungi tausiyah salah satu ustadz kondang di televisi swasta Indonesia. Kata beliau, sedekah tidak akan membuat orang miskin, justru sebaliknya Allah akan menggantinya dengan balasan berlipat ganda. Salah seorang temanku di kampus juga pernah berkisah tentang seniornya yang memberi uang 150 pound pada pengemis di masjid. Begitu keluar dari pekarangan masjid, tiba-tiba tangannya ditarik oleh pria setengah baya. Tanpa banyak omong, dia dimasukkan ke dalam sebuah sedan Hyundai yang masih mulus. Masih dipenuhi tanda tanya, seketika pria yang menariknya tadi memberikan sepucuk amplop tertutup. Sesampainya di rumah, ternyata amplop tersebut berisi uang 150 pound!

Teman-temanku tiba-tiba berlari. Rupanya bus yang ditunggu telah tiba. Aku tak mau kalah, bergegas naik, berjuang mendapatkan tempat duduk. Dari jauh terdengar teriakan Mahmud, "Syukran ya 'ammu"[4]. Sambil lari, kulambaikan tangan padanya.

Naik bus dari Darrasah ke Nasr City memakan waktu hampir setengah jam, cukup melelahkan jika harus berdiri sepanjang jalan. Untungnya masih ada bangku kosong di belakang sopir. Terasa begitu nikmat saat punggungku menyentuh jok yang sudah robek di sana-sini. Empuknya melebihi sofa mewah sekalipun. Sambil menunggu bus berangkat kunikmati coklat yang kubeli dari Mahmud. Lumayan sebagai pengganjal perut.

Lima menit kemudian bus berderak perlahan, Udara dingin membelai lembut. Mataku perlahan terpejam. Baru sekian detik aku menutup mata terdengar ribut-ribut. Ada yang marah sambil menyumpah-nyumpah kepada sopir dari luar. Bus berhenti.

Tabiat orang Mesir memang keras kepala dan suka meledak-ledak. Kalau sudah marah segala serapah paling tidak senonoh pun diteriakkan. Jalan raya merupakan tempat yang paling sering menjadi ajang adu mulut tersebut. Gaya mengemudi mereka yang seenaknya saja kerap menimbulkan sengketa akibat kecelakaan lalu lintas kecil seperti keserempet atau tersenggol sedikit. Tapi anehnya amat jarang terjadi adu jotos. Dengan kata "ma'alisy"[5] persoalan selesai begitu saja tanpa dendam. Ada-ada saja.

Aku menengok melalui jendela, rupanya di luar banyak orang mengelilingi bus kami. Aku berdebar melihat puluhan bungkus coklat berhamburan di sana. Detak jantungku tambah kencang melihat sesosok tubuh kecil digotong ke pinggir terminal. Bocah yang kutemui beberapa menit yang lalu. Seketika, sisa coklat yang masih menempel di sela-sela gigiku terasa pahit.
_______________________
[1] Roti gandum isi tumis hati sapi.

[2] 1 pound (mata uang Mesir) = 100 piaster

[3] “Maaf nih, saya lagi gak punya uang”

[4] Terimakasih bang!

[5] Maaf/ gak apa-apa.

Khianat!

alangkah nikmat jadi pengkhianat;
nyenyak sembunyi di balik selimut hangat
seret langkah ringan, tenteng beratus topeng berwajah sembab meminta iba

menjaja raut bijak tanpa dosa

menyelip rona licik penuh hasrat

alangkah hebat hidup pengkhianat;
pendam anyir durjana dalam wujud orang baik-baik: sobatku


*ditulis kembali untuk memperingati sebuah tragedi kemanusiaan