Kantuk menyerang saya tanpa ampun. Ketika itu memang sudah larut
malam jam 11, jadi wajar jika mata butuh istirahat. Meski begitu, saya
tetap berjuang sekuat tenaga agar kelopak mata tetap terbuka. Bahaya!
Sebab saya masih berada di atas jok sepeda motor. Hilang kesadaran
sedikit saja bisa berakibat fatal. Saat pertahanan saya hampir ‘jebol’,
saya berinisiatif membuka kaca penutup helm. Lumayan, hantaman debu dan
angin malam membuat mata saya sedikit perih, kantuk pun beringsut pergi
menjauh.
Malam itu saya membonceng Rifqi—adik saya—pulang dari kota Banjarbaru, +
30 km sebelah timur laut Banjarmasin. Rifqi mendapat ajakan kawan-kawan
lamanya untuk menyaksikan festival tanglong (lampu hias) dan lomba
membangunkan (begarakan) sahur di lapangan Murjani, Banjarbaru. Kami
berangkat selepas buka puasa, dari Banjarmasin dia yang membawa. Barulah
pada saat pulang saya yang dapat giliran memegang setang motor.