Wednesday, December 7, 2011

Cairo in Focus (2)

Dilarang Memanjat di Sini!
Parkir Sepeda
Berguru

Saturday, December 3, 2011

Cairo in Focus

Soekarno Street, Agouza
Tarawih di Al Azhar

Kakek dan Cafenya
Penjaga Masjid

Tuesday, November 29, 2011

Bendera Tiga Warna

Ruangan perpustakaan fakultas Ushuluddin tidak senyap seperti biasanya. Kali ini agak ramai. Ada beberapa mahasiswa yang sudah lulus duduk antri di depan meja ustadz Gamal. Mereka adalah mahasiswa yang sedang mengurus ijazah, termasuk saya. Masing-masing menunggu namanya dipanggil.

Di hadapan saya terdapat seorang pria seusia saya. Mahasiswa juga tentunya. Wajah peranakan arab dengan berjenggot lebat menjalar dari cambang hingga dagu. Mirip sarang tawon, demikian saya membatin.

“Mana paspor kamu?” ustadz Gamal mengulurkan tangan kanan dengan telapak hadap ke atas. Jari telunjuknya bergerak-gerak dari depan ke belakang. Sebuah isyarat untuk meminta.

Ooo, ternyata si empunya sarang tawon adalah mahasiswa asing (non-Mesir). Mungkin dari negara Arab lain. Sebuah buku tipis seukuran dompet dia keluarkan, tentu sebuah paspor. Tapi berbeda dengan warna sampul paspor dari negara lain yang hanya pakai satu warna (biru tua, merah atau hijau seperti Indonesia), punya si jenggot memiliki tiga warna sekaligus; merah, hitam dan hijau.

Saturday, November 26, 2011

Terusan Suez

Jika dilihat dari postur tubuh dan keriput yang berlipat-lipat di wajah mereka, saya menaksir sepasang bule itu berusia lebih dari setengah abad. Dengan menggelembungkan sedikit nyali, saya dan Novan memberanikan diri menyapa mereka.

Hello…”

Hello…” si kakek membentang senyum di bibirnya. Sekelumit rasa percaya diri saya mengembang.

Ee… where are you from?” saya sedikit tergagap, agak takut kalau bahasa Inggris saya kurang dimengerti.

We are from Wales,”

Wow…. Ryan Giggs…!” spontan, saya langsung teringat pemain kesebelasan Manchester United asal Wales ini. (Percakapan selanjutnya saya terjemahkan di sini dalam Bahasa Indonesia)

“Hahaha… Tahu banyak juga kamu… selama ini orang hanya tahu ‘Putri Diana’ saja dari negara Wales. Kamu dari mana?”

Thursday, November 10, 2011

Memo Idul Adha

Daging
Tak terhitung berapa jumlah kambing, sapi dan unta yang meregang nyawa pada Hari raya Idul Adha. Saat itu seluruh umat Islam di seluruh penjuru bumi menyembelih hewan kurban, mengikuti syariat Nabi Ibrahim AS dan meneladani takwa beliau.  

Jalan di Saqr Qurays merah darah. Bisa dimaklumi karena di negara ini sistem drainase (selokan) tidak begitu bagus. Toko daging Awlad Amr dan Husayni di dekat kediaman kami menunda libur hari raya mereka untuk melayani permintaan masyarakat menyembelih hewan kurban. Tubuh para domba itu tergantung tanpa kulit dengan dua kaki belakang di atas. Anak-anak bermain-main petasan di sekitar tempat penjagalan, tak peduli dengan amis darah. Mereka tetap bergembira dengan baju terbaiknya.

Alhamdulillah kami seflat juga ketiban rezeki daging. Meskipun tidak terlalu banyak, terhitung lima kantong plastik daging beraneka ukuran teronggok di kulkas. Asalnya bermacam-macam; tuan rumah, syeikh, persatuan pelajar negara asing hingga teman sejawat. Itupun masih ditambah undangan ke rumah teman-teman sesama mahasiswa. Pastinya menu di sana lagi-lagi daging.

Thursday, October 20, 2011

Rindu Guru (Bag.1)

Suatu malam, saya terlibat perbincangan iseng dengan Jali, teman seflat saya. Ketika itu kami sedang nonton pertandingan sepakbola Liga Italia antara AC Milan vs Palermo. Gol Antonio Nocerino di menit ke-40 memecah kebuntuan serangan kesebelasan Milan. 

Gemuruh stadion terdengar jelas dari layar TV. Namun Nocerino menolak untuk merayakan golnya tersebut, maklum musim lalu gelandang bernafas badak ini berkostum Palermo. Mungkin dia tidak ingin melukai perasaan fans Palermo yang dulu mengelu-elukan namanya. 

“Mun….” di tengah riuh dan teriakan komentator Al Jazeera Sport, Jali membuka pembicaraan.

Kenapa sih nih orang, pasti kepingin membanding-bandingkan AC Milan dengan Real Madrid, klub pujaannya, demikian saya membatin.

“Kenapa ya, orang yang sudah sukses itu pasti membangga-banggakan almamater tempat dia kuliah. Atau paling gak ngebanggain pesantren atau SMA dia dulu…?” ujar Jali dengan mata melirik ke TV.

Saya sempat kaget. Bukan karena tidak tahu jawaban pertanyaan Jali, tapi shock  dan gak habis pikir kok dia bisa kepikiran hal itu pas nonton bola.

Saturday, October 1, 2011

Ahmed Ogah Buta Huruf

Malam itu sudah hampir jam 10. Saya dan kawan-kawan baru saja pulang setelah seharian dari pagi menghadiri seminar tasawwuf di Al Azhar, lalu kelayapan di Dokki. Kami sudah mirip karyawan di ibukota; pergi pagi-pulang malam. Bedanya kami belum bisa menghasilkan uang. Lelah begini, enaknya sebelum tidur mandi pakai air hangat biar tidur nyenak dan bangun cepat besok pagi. Sakhanah (pemanas air bertenaga gas) di kamar mandi kami harus bekerja lebih awal sebelum musim dingin tiba.  

Memasuki gerbang apartemen, kami disambut Noura dan Safiya, dua putri Amu (paman) Gamal penjaga apartemen kami. Tampak Safiya yang masih balita, lari-lari berebut boneka dengan kakaknya Noura. Sedangkan putra sulung beliau, Ahmed sedang terpekur di tangga menekuni soal-soal di buku, mungkin sedang mengerjakan PR.

Profesi sebagai penjaga apartemen atau bawwab memang tidak menjanjikan. Untuk menambah penghasilan, Amu Gamal harus bekerja sebagai kuli bangunan di Hayy Sabie. Sebagai penganggungjawab keamanan dan kebersihan apartemen, bawwab mengandalkan iuran bulanan para penghuninya. Di samping itu, biasanya mereka dapat penghasilan tambahan dengan mencuci mobil atau karpet para penghuni. Biasanya, para bawwab dan keluarganya—di Saqr Quraiys khususnya—berasal dari pedesaan. Karena kerasnya hidup, mereka merantau ke kota.

Penghasilan bawwab memang tak seberapa, tapi saya salut dengan semangat Amu Gamal menyekolahkan Ahmed. Kebetulan, di belakang apartemen kami ada sekolah ibtidaiyah negeri (setingkat SD). Lumayanlah, Ahmed bisa belajar baca-tulis di sana dengan biaya murah. Walau saya masih ragu, apakah setelah lulus SD, Ahmed  bisa melanjutkan sekolah. Namun dalam hati saya berdoa, semoga Ahmed dan adik-adiknya bisa mendapat pendidikan yang layak dan mengangkat derajat keluarganya.

Orang berilmu lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tak berilmu. Dan salah satu kunci mendapat ilmu adalah baca-tulis. Inilah salah satu rahasia Allah menurunkan perintah membaca dalam wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW.  Sejarah mencatat, peradaban masa lampau yang maju, berjaya dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan bangsa yang hanya mengandalkan perang dan kekerasan kalaupun muncul ke permukaan, niscaya akan meredup dengan cepat lalu bagai lenyap.

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Q.S. Al Mujadilah ayat 11)

Bukan rahasia lagi, bahwa kesulitan ekonomi selalu erat kaitannya dengan kualitas pendidikan yang rendah. Alasan klasik yang jadi masalah laten di negara berkembang seperti Indonesia dan Mesir. Saya sempat terkejut ketika koran El Youm El Sabie bulan Juli lalu menurunkan berita bahwa 17 juta warga Mesir masih buta huruf, 69% adalah kaum hawa. Ini angka tertinggi diantara negara Arab lainnya. “Sebuah kenyataan pahit sekaligus memalukan,” demikian tulis wartawn Ahmed Hamdy.

Menurut Hamdy, pemerintah sudah berusaha keras memberantas buta huruf sejak era presiden Gamal Abdel Nasser. Sekolah-sekolah negeri banyak yang digratiskan. Namun sekali lagi, faktor ekonomi menjadi penghambat nomor satu. Anak-anak dan remaja usia sekolah lebih memilih membantu orang tua di ladang membantu keluarga dari pada masuk kelas . Sedangkan remaja putri di kampung dianggap nasibnya akan berakhir sebagai ibu rumah tangga, jadi buat apa sekolah?

Sungguh ironis. Padahal jika melihat kedigdayaan ulama-ulama Mesir dan murahnya harga buku di sini ditambah seringnya diadakan pameran buku, angka-angka itu agak tidak masuk akal. Tapi memang, Mesir tidak seluas daun kelor, banyak kisah-kisah di belakang layar yang tidak saya ketahui.

Pantas saja, salah satu penyedia layanan seluler di Mesir mencanangkan program pemberantasan buta huruf. Lewat poster gede yang ditempel di dinding gerai perusahaan ini di bilangan Makram El Abied, mereka menargetkan tahun 2017 nanti manusia sejumlah 17 juta itu sudah bisa membaca. Meski ada aroma promosi di balik program ini—namanya juga perusahaan—paling tidak sedikit meringankan beban negara yang belum punya presiden ini.

Belum sempat melewati lima buah anak tangga, sekepal tangan kasar Amu Gamal menggapai bahu saya. “Jangan lupa ya, kalau bisa besok kalian sudah bayar iuran bulanan…” ujarnya sambil memamerkan barisan giginya yang menghitam akibat rokok Cleopatra. Wallahu'alam.

Saqr Qurays, hari terakhir bulan Syawwal 1432 H.

Monday, September 19, 2011

Oase


Baru-baru ini saya berkesempatan mengunjungi kawasan oase di Siwa, Mesir bagian barat. Menurut Youssef Sarhan—warga setempat yang jadi pemandu kami— di Siwa terdapat tidak kurang dari 200 mata air, baik besar maupun kecil. Air dari oase-oase ini membuat pohon kurma tumbuh subur di sini. Selain kurma, Siwa juga terkenal sebagai penghasil Zaytun. Sesuai adat yang berlaku di sini, siapapun boleh makan buah kurma dari pohonnya, sepuas hati. Dengan syarat tidak boleh dibawa pulang alias makan di tempat.

Sejak zaman dahulu kala Siwa sudah didiami oleh manusia. Di tengah kota Siwa yang mungil, masih berdiri dengan kokoh reruntuhan kota Shali yang dibikin dari bata dan lumpur kering. Ada juga reruntuhan kuil peninggalan Alexander Agung. Saat bertualang naik jip off-road ke gurun di barat Siwa, terlihat kota ini seperti sepetak tanah hijau di kelilingi padang pasir gersang. Sungguh kontras.

Monday, September 12, 2011

Jangan Takut Naik Pesawat

Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin ikut hadir mengucapkan belasungkawa atas musibah tim Lokomotiv
Pesawat pribadi yang membawa tim hoki es Lokomotiv Yaroslavl mengalami kecelakaan saat lepas landas dari bandara Yaroslavl, Rusia seminggu lalu (7/9). 43 penumpang tewas termasuk 36 pemain Lokomotiv yang akan bertanding di Minsk, Belarusia. Sungguh kejadian yang tragis, Lokomotiv pun membatalkan keikutsertaan mereka dalam liga hoki tersebut. Para suporter memberikan penghormatan kepada para pemain dengan mengheningkan cipta dan memasang foto mereka di atas lapangan.

Tahun 1958 kejadian serupa pernah menimpa kesebelasan Manchester United (MU). Tim sepakbola asal Inggris ini harus kehilangan delapan pemainnya. Pesawat yang membawa mereka tergelincir di bandara Munich, Jerman. Pelatih Matt Busby mengalami cedera parah dan harus dirawat selama dua bulan. MU harus berjuang dengan pemain yang tersisa di bawah asisten pelatih Jimmy Murphy. Murphy yang tidak ikut rombongan membangun kembali MU dengan merekrut pemain junior untuk melengkapi tim agar bisa berlaga di kompetisi. Diantara Busby Babes (sebutan untuk pemain binaan Busby) yang selamat adalah Bobby Charlton dan kiper Harry Gregg.

Saturday, August 20, 2011

Ramainya Baku Hantam Ozil vs Villa

Ozil dan Villa dilerai rekan setim
Barcelona meraih gelar Piala Super Spanyol 2011 setelah menaklukkan musuh bebuyutannya Real Madrid 3-2 (Agregat 5-4). Pertandingan berjalan alot dan keras. Pelatih Madrid, Jose Mourinho menerapkan pressing ketat untuk meredam permainan kolektif Barcelona. Selain 5 gol yang tercipta di stadion Camp Nou Barcelona, wasit juga harus merogoh 3 kartu merah. Satu kartu merah untuk bek kiri Madrid, Marcelo yang mengganjal Fabregas. Sedang dua lainnya untuk Mesut Ozil (Madrid) dan David Villa (Barca) yang berkelahi. Sebenarnya mereka berdua sudah berada di bangku cadangan dan diganti pemain lain. Namun karena ada insiden pengusiran Marcelo, entah kenapa mereka baku hantam.


Besoknya di dunia maya (19/8) beredar isu bahwa Ozil tersulut emosinya karena David Villa menghina agama Islam yang dianutnya. Melihat berita tersebut mulai berkembang di dunia internet saya langsung mengubek-ubek Google. Kata kunci “David Villa insult Ozil religion Islam” saya tuliskan. Hasilnya memang situs football.fr melaporkan kejadian itu. Situs-situs lain pun (kebanyakan situs berita kecil) mengutip berita dari football.fr. Karena penasaran, saya buka juga website Marca & As, dua media olahraga terkemuka Spanyol. Hasilnya nihil. Saya tidak—atau belum—menemukan adanya berita tersebut Yang ada, hanya tentang perkelahian mereka berdua hingga berujung kartu merah.

Wednesday, August 3, 2011

Ramadhan Made in China

Matahari menyalak di atas horison. Sengatannya terasa menggigit kulit. Angin berhembus sepoi-sepoi, meniupkan hawa panas yang mengundang keringat. Peluh bercucuran di dahi. Bulir-bulirnya berlomba turun dari pelipis. Tidak mudah bertahan hidup di bawah suhu 38 derajat celcius seperti ini. Apalagi bagi saya, lelaki biasa dari kepualauan tropis yang lembab di Asia bagian tenggara sana.

Ya Rayyis… Negeri saya di Indonesia sana, tidak sepanas ini. Sungguh tidak bisa membayangkan harus menjalani puasa dalam suhu panas seperti ini,” ujar saya setengah mengeluh kepada sopir taksi yang membawa saya ke distrik Sayeda Zaynab.

Ziyadah el masyaqqah tugibu mazida tsawab. Semakin besar kesulitan yang kita hadapi dalam melakukan ibadah, pahalanya pun akan makin besar pula,” kata pria bernama Magdi itu sambil menggedor klakson. Taksi ini pelan-pelan merayap di tengah macet yang menggila.

Sunday, July 17, 2011

Di Bawah Pohon Menunggu Wahyu

Pohon keramat di depan Fakultas Ushuluddin
Akhirnya dua bulan melelahkan itu usai. Perasaan saya bercampur antara lega dan cemas. Plong karena musim ujian telah lewat sekaligus khawatir dengan pengumuman nilai nanti. Toh, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain banyak berdoa sebab lembar jawaban sudah terkumpul di tangan para dosen pengajar. Kalaupun ada yang hasilnya kurang memuaskan, semoga dosen yang memeriksa jawaban saya diserang kantuk dan keliru, lalu memberikan nilai tinggi. Allah selalu punya rahasia, siapa tahu?


Ujian akhir kali ini bisa dibilang penentuan, karena hasilnya menentukan lulus tidaknya kami nanti. Ujian terbagi dua, lisan dan tulis. Ujian lisan mencakup hafalan Al Qur’an dan pemahaman materi. Karena saya berada di jurusan tafsir, maka yang ditanyakan adalah tafsir dalam kitab-kitab klasik.


Saya dan beberapa teman dari Indonesia membentuk kelompok belajar. Anggotanya tidak banyak, cuma Hafiz, Dayat, Aman, Ahri, Pipin, Haji dan saya sendiri. Kami sering duduk berderet di ruang kuliah. Bahkan—maaf—jika udara panas dan suara pak dosen kurang terdengar, kami kerap terserang kantuk dan tertidur bersama. Tertelungkup di atas meja. Setelah kelas bubar, kami bersama mengerubungi Amin, mahasiswa Bangladesh yang biasa duduk paling depan. Menanyakan bab apa sajakah yang penting dan dijelaskan dosen tadi.Malamnya, kami berkumpul di rumah saya untuk mendiskusikan pelajaran yang tertinggal. Kisruh politik Mesir awal tahun silam, membuat studi kami agak terlambat. Apalagi kami masih harus melakukan perbaikan nilai untuk beberapa pelajaran tahun lalu.

Wednesday, May 18, 2011

Rame-rame Belajar Bahasa

Teman saya ini—sebut saja Iman—berasal dari kota di timur Sumatera tampak khidmat bersila di hadapan ponselnya. Alat komunikasi produksi Finlandia itu tergeletak di lantai sambil menjerit-jerit:

“Gooooooooooooooool!  Del Real Madrid! Gol gol gol goooooooooooooool del real Madrid! Golazo, golazo, golazo, golaaaaaaaaaaaaaaazo de Cristiano Ronaldooooooooooo!

Marcelo combina con Di María, Fideo la pone al segundo poste y Cristiano Ronaldo marca su primer gol en una final, menuda ocasión para empezar!

Deliiiiiiiiiiiiiiirio blancooooooooooo! Contra muchos pronósticos, el Madrid es nuevo campeón de la Copa del Reeeeeeeeeeeeeey!”

Bukan pagi itu saja saya menemukannya dengan ritual khusus itu. Hampir selalu seperti itu, setiap saya berkunjung ke flat sederhana dimana dia dan tujuh kawannya bermukim. Iman mengaku sedang mendalami bahasa Spanyol. “Ini rekaman komentator sepakbola Real Madrid lawan Barcelona kemarin”, ujarnya.

Saturday, May 14, 2011

Necis

Dekat gerbang apartemen kami terdapat sebuah toko kecil. Toko ini mengerjakan aneka rupa perabot rumah tangga seperti lemari, rak hingga pintu kamar mandi. Semuanya berbahan dasar alumunium. Lebih tepat jika kami menyebutnya bengkel karena aneka meubel tersebut dibuat sendiri oleh pekerjanya.

Pekerjanya pun hanya dua; seorang pria berusia 40 tahun-an didampingi oleh anak kecil yang menjadi semacam asisten. Walau bengkel ini tidak terlalu besar, menurut pengamatan saya selama ini, dua pekerjanya tak pernah menganggur. Setiap kali saya lewat, ada saja yang mereka kerjakan.

Monday, May 2, 2011

Manusia Karet

Keterangan Foto: (1) Hazem Emam di Al Jazeera Sport (2) Hazem berkostum De Graafschap, persis seperti dalam poster di Bola (3) Hazem di Udinese
Sungguh tidak disangka, lelaki yang menjadi bintang tamu dan analis dalam siaran rutin sepakbola Liga Italia di Al Jazeera Sport itu adalah si Manusia Karet. Lelaki Mesir bernama asli Hazem Emam ini ternyata sudah gantung sepatu.

Saya masih ingat ketika tabloid olahraga Bola mengangkat profil Hazem Emam dalam suatu edisi akhir tahun 1999 (kalau tidak salah). Satu halaman penuh untuk membahas Hazem Emam dengan judul yang tertulis besar: ‘Manusia Karet dari Mesir’. Lengkap dengan poster satu halaman. Sekarang tabloid-tabloid itu sudah dijual kiloan oleh ibu saya ke tukang loak.Bikin penuh rumah, kata beliau. Apalagi tumpukan koran dan majalah itu jadi makanan empuk buat rayap.

Saturday, April 16, 2011

Maafkan Saya, Krasnojarsk

Sepotong Adegan dalam "Men in Black"
Krasnojarsk. Baru pertama kali seumur hidup, saya mendengar nama aneh ini. Sekilas seperti kosakata dari bahasa antah berantah. Mirip juga dengan sebuah senyawa kimia. Yang pasti ia adalah nama kota karena setelah tulisan Krasnojarsk berbaris nama kota-kota nun jauh di sana; Kish, Lar, Stavanger, Askhabad, Donetsk dan Pulkovo. Lengkap dengan nama pesawat yang akan mengantar penumpang ke tujuan. Semuanya asing. Hanya Donetsk, di Ukraina yang sedikit saya tahu. Itupun karena tim sepakbolanya mampu menembus kompetisi Liga Champions Eropa.

Beberapa jam transit di Bandara Internasional Dubai, Uni Emirat Arab benar-benar menumbuhkan rasa penasaran yang amat sangat. Apalagi di lapangan terbang nan megah ini tak henti orang-orang beraneka rupa lalu-lalang. Tentu dengan pakaian unik berkibar-kibar, khas masing-masing. Benar-benar ala negeri dongeng.

Monday, March 21, 2011

Lamanya 35 Tahun

Wael Ghanim
Mari kita berkenalan dulu dengan pria yang satu ini:

Nama: Wael Ghanim. Usia: Baru 30 tahun. Kewarganegaraan: Mesir tulen. Pekerjaan: Manajer Pemasaran Timur Tengah Google Inc. di Dubai.  Status: Sudah beristri 1, punya anak 2

Berawal dari internet, Wael Ghanim menyulut api revolusi Mesir yang membara. Dialah orang yang membentuk grup “We are All Khaled Saed” di jejaring sosial Facebook. Grup ini pada mulanya didedikasikan untuk Khaled Saed, pemuda berusia 28 tahun yang tewas akibat kekerasan polisi Mesir. Masyarakat menemukan jasad Khaled bonyok tak bernyawa di jalanan kota Alexandria.

Grup ini terus berkembang dengan anggota yang makin banyak. Demonstrasi besar-besaran tanggal 25 Januari 2011 lalu di Tahrir Square disinyalir salah satunya berawal dari grup ini. Maka tak heran, pemerintah sempat memblok akses internet dan komunikasi seluler selama beberapa hari untuk mencegah mobilisasi massa lewat situs Facebook dan Twitter. Aparat pun menciduk Ghanim.

Usaha tak berguna. Demonstrasi makin panas dan beracun. Puncaknya, rezim presiden Mubarak runtuh tanggal 11 Februari  2011. Kursi empuk berumur 3 dekade itu pun harus digotong keluar istana negara.

Monday, March 14, 2011

Ikan Pun Doyan Mitos


Sudah lama saya meninggalkan ranah Banjar. Banyak hal yang makin saya rindui di perantauan. Apalagi terhadap makhluk air bernama haruan alias ikan gabus. Bukan rahasia lagi kalau orang Banjar adalah penggemar berat ikan. Urat-urat sungai yang mengakar dan bentangan rawa di bumi Kalimantan mempengaruhi budaya konsumsi masyarakat daerah ini. Malah penduduk bisa menemukan haruan dan ikan lain dengan mudah di barumahan—bagian bawah rumah panggung yang tergenang air atau terimbas aliran sungai.

Haruan jauh dari potongan ikan cantik rupa, apalagi imut seperti ikan hias dalam akuarium. Badan bulat panjang dengan sisik hitam serupa baju zirah. Kepala yang lonjong menopang sepasang mata bulat di atas mulut. Kulit sepanjang perut haruan berawarna agak sedikit terang. Karena perawakan inilah, sebagian peneliti fauna memberi gelar snake fish atau ikan ular.

 Berkat desain insang yang unik, haruan dapat hidup dalam benaman lumpur yang minim oksigen. Ia juga bisa bertahan lama di darat tanpa air. Oleh karenanya, jangan meremehkan ikan ini karena ia bisa ‘meloloskan diri’. Pernah waktu saya kecil dulu, haruan yang baru dibeli ibu saya meloncat dari baskom di dapur lalu berjalan meliuk-liuk bak ular sebelum akhirnya kabur ke barumahan. Kejadian traumatis ini terus membekas dalam benak saya.

Wednesday, March 9, 2011

Sebulan Cukup 4500


Matahari tergelincir ke arah barat. Bulir-bulir peluh tumbuh di ubu-ubun dan dahiku. Dua-tiga tetes merayap turun di pelipis. Begitu mudah cuaca berubah drastis di Banjarmasin. Siang seperti ini panas membara, lalu bisa-bisa menjelang sore turun hujan deras. Kata orang dalam angkot tadi, sudah hampir dua tahun iklim tidak stabil seperti ini. Keadaan ekstrim ini katanya juga melanda seluruh kepulauan Indonesia yang luas. Para petani banyak gagal panen, pasalnya tanaman padi yang sudah menguning terendam banjir. Akibat pemanasan global kah?

Sambil melayani pergumulan di benakku tadi, aku bergegas menuju terminal angkot di kawasan Pasar Sentra Antasari. Sebenarnya keputusanku ini  kurang bijaksana, karena angkot yang ngetem di terminal biasanya menunggu penumpang cukup penuh dulu sebelum jalan. Namun aku tidak punya cukup tenaga lagi untuk berjalan 300 meter menuju lampu merah. Di sini biasanya tinggal mencegat angkot yang sudah berisi penumpang dan siap tancap.

Rupanya di dalam angkot berkelir kuning-putih ini baru ada satu penumpang. Seorang kakek bersongkok beludru hitam di atas rambutnya yang sudah putih. Mumpung bangku di samping sopir sedang kosong, aku memilih duduk di depan saja. Biar nanti gampang kalau mau turun.

“Turun di mana Nak?” Kakek yang duduk di belakang itu membuka pembicaraan.

Saturday, February 5, 2011

Prahara Mesir: Kotak 18 Inchi

 

Ba’da Magrib, 4 Februari 2011
Sudah 11 hari, terhitung sejak 25 Januari lalu demonstrasi besar-besaran meledak di seluruh penjuru Mesir. Tahrir Square di  Kairo sebagai pusat konsentrasi massa dipenuhi lautan manusia. Tidak kalah dengan keadaan padang Arafah saat pelaksanaan ibadah haji. Penuh, sesak dan yang pasti bau keringat. Maklum, musim dingin seperti ini pasti orang-orang ogah mandi.
Pada hari kedua yang lalu saya berkesempatan menyaksikan secara langsung unjuk rasa di kawasan Tahrir. Bukan berarti saya mencari gara-gara, sebab bisa-bisa saya jadi korban salah tangkap. Masih untung kalau dideportasi ke Indonesia. Kebanyakan aktivis pergerakan di sini hilang tanpa kabar. Keberanian saya lebih dikarenakan rasa penasaran, sekaligus ingin jadi saksi sejarah. Mungkin ini yang disebut Bang Haji Rhoma Irama sebagai ‘masa muda, masa yang berapi-api’.

Friday, January 21, 2011

Menyeru Jakarta

Tulisan ini terlambat diposting hampir dua tiga minggu dari waktu penulisan. Sebenarnya saya sudah menulisnya malam final leg kedua.
Pasca kekalahan 0-3 final pertama saya sudah punya firasat; Indonesia gagal juara. Bagaimana tidak, Merah Putih harus menang dengan selisih empat gol. Tahu sendirilah, Malaysia diramal akan bermain bertahan, mengamankan keunggulan agregat. Terlebih lagi, para pemain Malaysia bermain baik, lebih disiplin dari duet Hamka dan Maman yang sering salah sendiri.

Terlepas dari insiden ‘laser’ di Kuala Lumpur, Indonesia memang bermain buruk. Jikalau tidak ada kejadian yang memaksa wasit menghentikan laga tersebut, saya yakin kita tetap kalah. Mental timnas mendadak jatuh setelah blunder fatal Maman yang berujung gol.

Hikayat Dua Beranak


Sepulang dari kampus aku dan kawan-kawan mampir ke pasar rakyat Attaba dulu. Hitung-hitung refreshing setelah ujian tadi. Maka singkat cerita, berbaurlah kami dengan lautan manusia yang hiruk-pikuk. Aku sendiri sempat terpisah dari teman yang lain di pusat buku bekas Azbakiya.

Lewat tengah hari, kami pulang dengan belanjaan masing-masing. Aku mendapatkan panduan wisata berbahasa Inggris dengan harga miring. Padahal di toko, buku keluaran terbaru itu bisa seharga ratusan pound. Ipeng memborong buku-buku filsafat kegemaran. Sedang Harun memuaskan dahaga fashionnya dengan kaos-kaos obralan. Meski paling tua di antara kami, lelaki ini tak pernah ketinggalan gaya.

Enaknya, nanti sampai ke flat langsung bergumul di kasur sambil selimutan. Hawa musim dingin yang sejuk pasti membuat tidur makin nikmat.

Rupanya bus tujuan Nasr City hampir penuh. Tinggal dua bangku kosong di belakang. Kami bertiga berebut bak anak kecil dibagi permen. Saling sikut, saling jegal. Apes, aku terlambat dan terpaksa berdiri. Mereka berdua yang beruntung siang ini.

Entah berdoa apa si Harun malam tadi, keberuntungannya dua kali lipat. Di sampingnya duduk gadis berjilbab hitam, modis seperti lazimnya remaja Mesir. Kalau soal kecantikan, jangan ditanya lagi. Memenuhi sembilan puluh persen standar kecantikan menurut orang Indonesia; kulit putih, hidung mancung, mata bundar, tubuh langsing semampai. Untuk kesekian kalinya aku memafhumi, negeri ini adalah surga bidadari dunia!