Sunday, October 7, 2012

Obrolan Busway



Matahari sudah merendahkan diri ke ufuk barat. Apabila dalam hari-hari kerja, sore segini, jalanan Jakarta hampir pasti ramai luar biasa. Maklum, orang-orang pulang kerja ke rumah masing-masing. Anak-anak sekolah pun ada yang baru menyelesaikan pelajarannya. Pokoknya tumplek blek. Kalau sudah hari libur, barulah jalanan agak lenggang. Tapi di beberapa titik keramaian, kaidah ini tidaklah berlaku. Tetap saja ramainya bikin kita mengucap Masya Allah meski dalam kurun waktu week-end.

Angkutan umum pun ikut dalam siklus ini. Karena memang jumlah armada kendaraan umum sangatlah kurang jika dibandingkan total penduduk ibukota yang hampir mirip padang mahsyar, setiap hari berjubellah umat manusia ini dalam busway, metro mini dan angkot.

Andai aktivis Hak Asasi Manusia PBB berkunjung ke sini, niscaya mereka akan memberikan sanksi buat Pemerintah kita menyangkut perihal nasib penumpang angkutan umum. Lihat saja, bus tanggung seperti Metro Mini dan Kopaja yang hanya muat sampai dengan 20an penumpang dipaksa untuk menampung lebih dari itu. Sampai-sampai ada yang bergelantungan di pintu, bus jadi miring ke sebelah kiri menahan beban yang berat sebelah. Yang di ada dalam, berdiri berhimpitan tak tentu juntrungnya, bak ikan sarden dalam kaleng—demikian ungkap salah satu kolumnis di situs travelling Fodor’s mendeskripsikan realita transportasi di negara-negara berkembang.

Di tengah hiruk pikuk ini, saya juga ikut serta. Butuh waktu seperempat jam menunggu untuk bisa naik busway ke arah Blok M dari halte Bank Indonesia. Memang setiap lima menit armada bus datang, cuma selalu penuh. Baru pada bus ke empat saya bisa ikut serta itu pun harus berdiri di sela-sela ketiak para pria kekar.

“Gimana sih mas ini, kok cuma satu orang yang bisa masuk,”

Calon penumpang yang masih tertahan di tepi pintu halte menyalak saat si petugas merentangkan tangannya, melarangnya untuk naik

“Sabar Pak ya, di sini sudah penuh. Itu di belakang ada lagi kok,”

Pintu tertutup, dan bus mulai berjalan pelan. Memang si bapak berhasil digagalkan untuk naik, tapi sepertinya hatinya masih dongkol. Mukanya terlihat masam.

“Saya ini Mas, setiap hari saya kerja lima putaran. Klo macet kayak gini, biasanya dari jam sebelas pagi sampai jam sepuluh malam baru kelar. Sampai ke rumah jam sebelas malam. Masih saja saya sering dimarahi penumpang,” tanpa diminta pria muda sekitar 27 tahunan ini curhat pada kami yang berdiri di dekat pintu.

“Padahal itu kan buat keselamatan mereka juga,”

“Berarti 12 jam sehari mas ya, wuih pasti capek bener,” tanpa diminta, saya menimpali.

“Yah… sabar aja Mas, mudah-mudahan dapat pahala,” Bapak pemakai baju kotak-kotak membesarkan hatinya.

“Makasih pak, mudah-mudahan dapat gubernur baru, Jakarta jadi lebih baik,”

“Betul itu, kita semua harus dukung buat kemajuan Jakarta. Kalo saya sih baru bisa ngedukung pake baju kotak-kotak ini,” ah iya, ternyata baju kotak-kotak bapak itubermotif persis yang sering dipakai Gubernur baru terpilih, Jokowi saat kampanye. Warna merah, putih dan biru tua.

“Kalo itu saya pasti dukung Pak, saya kan asli wong Solo, satu kampung sama pak Jokowi” petugas sambil mengacungkan kedua jempolnya ke dada.

Kami semua yang ada di sekitar pintu tergelak.

Benar juga kata Bapak kotak-kotak itu tadi. Gubernur Jakarta—siapapun itu—tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan semua pihak. Kalangan elit politik harus mengenyampingkan kepentingan partainya. Masyarakat metropolis juga harus membuang ego, tidak lagi saling serobot serta tak lagi mudah terprovokasi.  

Kasihan sekali Jokowi & Basuki Ahok, baru terpilih memimpin Provinsi DKI Jakarta dituntut untuk menyelesaikan salah satu fenomena pelik yang menggelantungi masyarakatnya. Isu transportasi umum—selain kemacetan dan banjir—adalah problematika rakyat Jakarta dewasa ini yang paling tampak ke permukaan.

Namanya juga Jakarta, sudah benar-benar kusut. Obama pun kalau mengajukan diri jadi Gubernur bakalan geleng-geleng kepala.

Sekedar Catatan Pengusir Kantuk.
Ciputat, 2 Oktober  2012

No comments: