Tuesday, October 2, 2012

Cepatlah Insyaf!

Di karangan bunga itu tertulis: Mengenang 7 Hari anak/ sahabat kami: Alawy Yusianto Putra. Kelas X SMAN 6 Jakarta.

Di tengah perjalanan sebelum kelas malam di Jl Sudirman, saya singgah sebentar di kawasan Bulungan, dekat Blok M Plaza. Bukan apa-apa, saya hanya ingin beli gorengan yang dijual di pinggiran jalan karena sebuah alasan klise; lapar. Memang sebelum berangkat saya sempat makan sedikit di Asrama, tapi mungkin karena perjalanan yang cukup jauh (Ciputat-Sudirman sekitar 15 km) sepiring nasi dan sayur asem bagai lenyap tak berbekas.

Maka motor saya berhenti untuk membeli seplastik cemilan berisi tahu, tempe dan pisang goreng. Bukan snack yang menyehatkan memang, karena jajanan jenis ini banyak sekali mengandung kolesterol. Rakyat Indonesia sangat lekat sekali dengan segala kudapan yang digoreng. Bisa jadi karena 'menggoreng' adalah salah satu cara tercepat untuk membuat masakan matang karena sifat alamiah minyak goreng yang cepat mencapai temperatur tinggi.



Tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, saya duduk di sadel motor di samping gerobak gorengan tadi. Orang yang hulu mudik melintas tidak saya pedulikan. Toh memang di metropolitan seperti Jakarta ini tidak ada yang peduli dengan apa yang kita lakukan, pola hidup sudah mulai individualis. Masing-masing memikirkan dirinya sendiri saja.

Sambil mengunyak tahu yang masih hangat, saya mengarahkan pandangan ke sekeliling. Saya baru sadar bahwa di sekitar tempat ini terjadi peristiwa tawuran yang menewaskan siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) 6 yang terletak di kawasan ini. Korban bernama Alawy Yusianto, tewas dengan luka bacokan di dada. Menurut saksi mata Alawy tidak terlibat keributan. Saat itu dia sedang makan di warung, lalu datanglah gerombolan SMU 70 yang mengejarnya. Lalu terjadilah.

Suasana berkabung masih jelas terlihat. Di Bundaran mungil yang ditandai dengan patung telapak tangan raksasa di depan saya dipenuhi rangkaian bunga tanda belasungkawa. Ternyata hari ini tepat seminggu sejak kejadian naas itu. Saya pun menundukkan kepala sebentar, mendoakan almarhum agar diterima di sisi-Nya dan mendoakan para pelajar yang suka tawuran agar segera insyaf.

Kejadian tawuran atau perkelahian antar pelajar memang sudah lumrah terjadi di Indonesia. Sebuah kesialan bagi FR karena media mengekspos kejadian ini begitu rupa. Tak berapa lama, fotonya beredar di internet dan televisi hingga pelariannya ke Yogyakarta tak berarti apa-apa. Setelah tertangkap pihak berwajib, FR mengaku menyesal.

“Saat itu saya sedang tak sadar apa yang saya perbuat, saya kalap,” ujarnya seperti dikutip oleh salah satu portal berita on-line. 

Remaja seumuran FR memang biasanya tak suka berpikir panjang. Kita yang pernah merasakan masa remaja tentu tahu itu. Apalagi bagi kita yang pernah ikut sedikit ‘nakal’ Proses pencarian jati diri ABG jika berada di rel yang salah maka akan menjerumuskan kepada hal-hal yang salah pula. 

Tak terhitung berapa jumlah korban yang jatuh. Dan itu terjadi turun-temurun, entah berapa generasi. Saya tak mau menyalahkan siapa-siapa, karena semua salah. Si murid salah, orang tua salah, guru salah, gubernur salah, menteri pendidikan salah, anggota DPR salah, bapak Presiden pun salah. Ya, ini tugas kita bersama untuk memperbaiki mental bangsa dan anak cucu kita nanti. Tugas paling dekat, kita memperbaiki diri sendiri dan keluarga di sekitar kita.

Nah, gorengan saya sudah tandas. Daripada menggerutu tidak jelas seperti petugas kecamatan, lebih baik saya melanjutkan perjalanan ke kampus. Waduh, tangan saya berminyak—resiko makan gorengan—tidak ada tisu untuk mengelap tangan. Terpaksalah saya menyapu telapak saya ke jaket yang memang sudah lusuh. Jangan bilang-bilang ya, ini rahasia kita.

Ciputat, Senin, 1 Oktober 2012.

No comments: