Thursday, January 17, 2013

Kapur Barus



Akhir pekan. Sore-sore saya duduk di muka televisi bersama kawan-kawan di asrama. Waktu itu sedang tayang  acara infotainment di salah satu stasiun tv swasta.

“Acara sampah!” cetus Riri sambil mengusap jidatnya.

“Iya tuh, dari dulu gosip gak habis-habis. Ngapain juga orang cerai diekspos kaya gitu,” saya menambahi.

“Waduh…. Ini artis alay banget sih, pengen gue jitak,” ada lagi yang nyelutuk.

Begitulah, kutuk dan sumpah serapah berloncatan di kamar berukuran 3x3 meter itu. Kami semua menyesali adanya acara tidak bermutu itu. Merusak pola pikir penontonnya, terutama generasi muda. Tapi anehnya, kami justru tak beranjak hingga tayangan ini selesai 30 menit kemudian. Baru setelah wanita pembawa acara yang semlohai itu uluk salam, kami buru-buru pindah saluran.

Kali ini yang terpapar di tv adalah program budaya, jalan-jalan ke sebuah kota di Sumatera, Baros. Rupanya—seperti dituturkan narator acara tersebut—kota ini punya sejarah panjang. Panjang sekali, hingga abad-abad sebelum masehi. Kota yang berada di bagian barat Sumatera Utara ini di masa lampau terkenal seantero dunia sebagai penghasil kapur barus. Komoditas yang berasal dari kayu kamfer (Cinnamomum camphora) ini dipakai oleh para raja Mesir kuno sebagai tonik (obat kuat) dan obat-obatan, termasuk mengawetkan mumi 5 ribu tahun sebelum masehi. Konon kapur barus termasuk barang mewah untuk masa itu di Timur Tengah dan Eropa. Acara tersebut juga mengutip ayat al-Qur’an yang berbunyi:  

“Innal abraara yasyrabuuna min ka’sin kaana mizajuha kaafuuraa“ yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur” (QS. 76:5)

Ayat di atas menggambarkan keadaan para penghuni surga kelak. Kata “kafur” yang maksudnya adalah kapur barus menunjukkan bahwa benda ini sudah dikenal di Arab sejak dulu. Ini mengingat fakta bahwa Nabi Muhammad hidup di abad ke-7 hijriah saat menerima wahyu al-Qur’an.
Pada era itu memang sudah ada jalur sutra yang membelah daratan Asia. Tapi tentu transportasi yang paling memungkinkan untuk mencapai Baros dari Timur Tengah adalah jalur laut. Jalur darat terlalu berat dan beresiko.

Lewat jalur laut pula para saudagar mencapai kepulauan Maluku guna mendapat rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala. Selain sebagai bumbu dan obat, cengkeh pernah berjaya karena kandungan eugenol dari bunganya juga bermanfaat guna mengawetkan daging. Nusantara  bersama wilayah tropis seperti India, Srilanka dan Madagaskar adalah surga rempah-rempah saat itu.

Mungkin kemajuan nusantara di masa lalu tidak terekam dengan baik seperti peradaban Babilonia, Mesir kuno, Romawi, Cina atau Yunani. Pada tahun 2005, Professor Arysio Santos menampilkan peta wilayah Indonesia dalam bukunya yang berjudul, “Atlantis: The Lost Continent Finally Found.” Ahli geologi dari Brazil ini mengemukakan hipotesa bahwa Indonesia adalah bagian dari benua legendaris Atlantis yang tenggelam 10 ribu tahun silam.

Teori di atas memang banyak diragukan, namun perlu dicermati. Bayangkan candi Borobudur yang begitu megah, para ahli memperkirakan bangunan ini dibikin sekitar tahun 800-an masehi. Hampir mustahil untuk mendirikan bangunan yang punya kerumitan arsitektur sedemikian rupa tanpa teknologi dan ilmu teknik mumpuni. Jauh sebelum itu, orang Mesir sudah menunjukkan kemampuan menakjubkan dengan membangun piramid dan kuil-kuil megah.

Saya jadi teringat obrolan santai dengan seorang teman asal Lamongan, Habibi namanya.

“Tau gak kenapa Belanda gak tenggelam?” daratan negeri kincir angin ini memang berada di bawah permukaan laut dan rawan disapu air laut.

“Mereka kan bikin bendungan buat menahan air laut,” saya mengajukan sebuah jawaban yang sudah diketahui khalayak umum.

“Bisa jadi demikian,” wajah jenakanya berubah serius. “Tapi… banyak orang Jawa berkeyakinan bahwa itu karena adanya pusaka Jawa yang dibawa ke Belanda. Percaya atau tidak, pusaka ini punya kekuatan magis yang sanggup melemahkan daya dobrak ombak yang dahsyat. Kompeni tahu itu. Makanya bendungan-bendungan itu bisa bertahan sampai sekarang.”

Sejak dulu memang pemerintah kolonial Belanda banyak mengangkuti barang bersejarah dari tanah air. Benda-benda berharga itu sampai kini dipajang  di Tropenmuseum dan Rijksmuseum di Amsterdam serta museum-museum lainnya.

Kita tidak tahu semua yang telah terjadi di masa lampau. Tak semua yang terjadi tercatat oleh tinta sejarah. Sempat terpikir oleh saya bahwa orang-orang zaman dulu punya teknologi tak kalah canggih dengan masa kini. Kemungkinan lain, manusia kala itu sakti mandraguna. Ini bukan klenik. Bisa jadi kesaktian didapat karena mampu memaksimalkan berbagai potensi ragawi-rohani juga mengendalikan alam. Berkat itu, mereka dengan mudah bisa mengangkat batu puluhan ton atau merekatkan bahan bangunan tanpa lem dan semen.

Pengetahuan terus berkembang. Apa yang selama ini kita alami hanya terbatas di dunia fisik belaka. Percaya atau tidak, manusia dan alam masih menyimpan rahasia besarnya.

Wallahu’alam.

No comments: