Monday, February 4, 2013

Kasturi dari Leluhur



Girang sekali rasanya melihat tumpukan buah kasturi di lapak-lapak pedagang di pasar Martapura. Buah ini termasuk langka. Sudah mulai sulit menemuinya di pasar kota Banjarmasin. Padahal dulu sewaktu SD, dengan mudah didapat di pedagang asongan. Biji kasturi termasuk sampah yang kerap mengotori pekarangan sekolah ketika itu.

Buah kasturi mirip mangga namun lebih kecil dengan bentuk bulat telur. Mungkin panjang buahnya berkisar antara 6-8 cm saja. Kulitnya hijau tua dengan bintik gelap. Daging buah berwarna kuning oranye dan agak berserat dan berbau harum manis membangkitkan selera. Cara memakannya bisa dikupas dengan pisau seperti mangga atau dikoyak manual dengan tangan atau gigi. Saya lebih menyarankan cara pertama—meski lebih rumit.

 Yang membuat buah ini istimewa adalah pohonnya memerlukan minimal 10 tahun untuk sekedar berbuah, bahkan lebih. Pohon yang terdapat sekarang rata-rata berusia lebih dari 50 tahun. Oleh karena itu kasturi sudah mulai jarang ditemui. Menurut acil (bibi, bahasa Banjar) penjual buah, kasturi ini didapatnya dari pasar buah di Astambul, 18 km dari Martapura. Penduduk kampung sekitar Martapura seperti Matraman dan Astambul masih membudidayakan tanaman yang sejak 1994 masuk IUCN Red List Threatened Species alias spesies yang hampir punah ini.

Dulu di dekat rumah saya di Sungai Lulut ada pohon kasturi yang berdiameter lebih 1 m. Sehabis hujan turun, kami berlarian ke sana mengambil buah yang jatuh. Menurut kesaksian Abah, pohon kasturi yang lebih besar pernah ada di desa kakek saya. Pohon yang konon berdiameter hampir 3 m tersebut harus dibabat untuk membangun rumah almarhum kakek. Menurut mitos penduduk lokal, karena berusia tua pohon yang jadi flora maskot provinsi Kalimantan Selatan ini adalah sarang jin.

Masih adanya kasturi hingga abad 21 tidak lepas dari peran leluhur kita yang menanamnya. Para padatuan (nenek moyang/leluhur) sudah tahu konsekuensi pahit menanam tumbuhan bernama latin Mangifera casturi ini. Mereka belum tentu bisa memetik buahnya mengingat siklusnya yang membutuhkan waktu lama! Namun dengan tulus mereka tetap menanamnya guna dinikmati oleh anak cucu dan generasi mendatang.

Konon suatu hari raja Anusyirwan yang menguasai Persia antara tahun 1344–1357 berkeliling ke sebuah desa di pelosok negerinya. Raja dan rombongannya bertemu dengan seorang kakek yang sudah sangat renta yang sedang menanam sesuatu. 

“Apa yang sedang anda lakukan?” Anusyirwan bertanya.

”Saya sedang menanam pohon kurma,” ujar sang Kakek.

”Mengapa engkau menanam pohon kurma ini, padahal kurma adalah pohon yang perlu waktu lama untuk berbuah? Usiamu yang sudah sangat sepuh, mungkin engkau tak akan sempat menikmati buahnya...” 

Keraguan raja memang ada benarnya sebab dulu memang belum populer sistem tanam vegetatif yang lebih cepat seperti stek atau okulasi. Raja heran mengingat kakek yang sudah “bau tanah” ini mungkin hanya berumur beberapa tahun lagi. 

”Wahai Yang Mulia, kita telah memakan apa yang telah ditanam oleh para orang tua kita. Maka sekaranglah saatnya kita menanam untuk anak cucu kita.”Mendengar jawaban bijak itu sang Kaisarpun terkesima dan meminta pengawalnya untuk memberikan hadiah kepada kakek tua itu.

***

Demikianlah kisah yang dulu saya pelajari sewaktu masih sekolah di pesantren. Saya yakin para padatuan kita dulu punya pola pikir yang sama dengan sang kakek. Mereka memiliki kesadaran dan rasa terima kasih kepada para pendahulunya peduli pada kesejahteraannya sebagai generasi penerus mereka. 

Para leluhur kita punya tujuan agung untuk berkontribusi bagi umat manusia yang hidup setelah mereka. Alangkah malunya jika mereka ‘berpulang’ kepada Allah SWT tidak meninggalkan hal yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Mereka sadar benar bahwa kita hidup tidak hanya untuk diri sendiri. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain. 

Warisan kepada generasi penerus bukan hanya berbentuk pohon dan sarana fisik lainnya. Kita bisa meninggalkan ilmu pengetahuan, ajaran moral dan kebajikan sosial lainnya. Menjaga lingkungan dengan tindakan sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya dan mengurangi polusi juga merupakan warisan untuk anak-cucu-cicit kelak. 

Bukankah warisan manfaat ini juga termasuk amal yang pahalanya terus mengalir hingga si empunya meninggal dunia seperti yang disebutkan Nabi Muhammad SAW? Saya yakin jawabannya “iya”.

Ciputat, 4 Februari 2013.

No comments: