Thursday, December 27, 2012

Habibie & Ainun: Cinta Sejati Sang Jenius

 
Anak-anak yang tumbuh di era 90an seperti saya, menganggap Habibie adalah sebuah  profesi. Tak heran kami dulu tanpa malu-malu berucap, “cita-cita saya jadi Habibie”. Pokoknya, definisi Habibie adalah: insinyur pembuat pesawat. Begitulah.

Yang masih saya ingat jika melihat Pak Habibie di televisi adalah gaya jalannya yang unik, mata yang melotot kalau bicara dan istilah-istilah berbau cerdas seperti “canggih”, “strategis”  atau “tekhnologi” (dengan penekanan saat menyebutkan aksara ‘kh’. Agak seret di tenggorokan).

Pertama kali saya melihat Pak Habibie secara langsung adalah tahun 2011. Saat itu beliau diundang pemerintah Mesir untuk bertukar pikiran tentang reformasi di Indonesia. Saat itu Mesir dan negara Arab lainnya baru memasuki era baru perpolitikan (Arabic Spring). Dari jarak 10 meter—mungkin lebih—saya dan masyarakat Indonesia di Kairo berdesak-desakan di bagian belakang aula Azhar Convention Center. Mungkin hampir dua jam saya berdiri karena tidak dapat tempat duduk.

Saat itu, beliau sempat menyinggung cintanya yang amat mendalam terhadap istrinya, Ibu Hasri Ainun Habibie. Katanya, beliau sempat hampir kehilangan arah beberapa waktu setelah Ibu Ainun wafat. Sebagai solusinya, beliau menulis buku memoar yang berjudul segala kenangan dan suka duka mereka berdua. Buku berjudul Habibie & Ainun ini kemudian diangkat menjadi film dengan judul yang sama.

Banyak ibu-ibu muda hingga setengah baya yang menonton bersama saya. Sudah tentu, mereka sudah menyaksikan langsung sepak terjang Pak Habibie di negeri ini. Adapun mereka yang membawa anak yang masih kecil, tentu ingin mengenalkan legenda hidup yang jadi kebanggaan bersama itu.

Sorot kamera menuju sebuah sekolah menengah—entah SMP atau SMA.  Sosok Habibie dan Ainun adalah dua bintang kelas. Tak heran teman-temannya menjodoh-jodohkan mereka berdua, biasalah anak remaja sekolahan. Dan keduanya hanya tersipu.

Adegan meloncat ke tahun 60an, Habibie muda sudah berada di Aachen, Jerman. Dengan percaya diri, dengan bahasa Jerman yang menurut saya fasih, dia mencorat-coret papan tulis dengan diagram dan rumus-rumus fisika ajaib. Para dosen di Studi Magister di Institut Konstruksi Ringan terpana. Sayang, karena masalah kesehatan, si jenius dari timur limbung.

Begitu menyelesaikan sekolahnya, Habibie balik ke Bandung dan kembali bertemu Ainun. Singkat cerita, cinta lama bersemi kembali dan jadilah mereka suami istri. Ainun pun diboyong ke Jerman karena Habibie berambisi menyelesaikan program doktornya.

Di negeri bavaria ini, pasangan muda tersebut harus merintis kehidupan dari awal. Habibie yang bekerja di perusahaan konstruksi kereta api harus menghidupi keluarganya dengan penghasilan pas-pasan. Ditambah lagi, Ainun mengandung anak mereka yang pertama (Ilham Thariq Habibie). Kehidupan mereka mulai membaik saat Habibie menemukan teori ketegangan besi kemudian pindah ke pabrik pesawat.  

Kehidupan yang terbilang mapan itu harus ditinggalkan saat Presiden Soeharto memanggilnya kembali ke tanah air. Presiden kedua itu menganggap Habibie dapat membantu tercapainya Indonesia yang maju dan disegani di bidang teknologi. Tak ayal, selama dua dekade, Habibie mengawal mega-proyek industri strategis yang meliputi kedirgantaraan, maritim, transportasi, konstruksi hingga telekomunikasi sebagai seorang menristek. Pencapaian beliau sebagai presiden di era reformasi juga sedikit diulas.

Suka duka dan bumbu kehidupan mereka berdua dan keluarga menjadi episentrum film. Saya tidak ingin membocorkan kisah-kisah romantis yang hebat itu. Yang jelas saat film diputar, sering terdengar suara ingus dan isakan lirih dari bangku di sekeliling saya. Ainun sendiri mengakui tidak bisa menjadi istri yang baik, tetapi beliau siap menjadi pendamping hidup yang setia bagi suaminya.

Saya bersyukur, film ini tidak banyak menyorot intrik politik yang terjadi pada saat beliau menduduki kursi nomor satu republik republik ini. Kecuali hanya upaya suap dari seorang pengusaha yang namanya sengaja disamarkan. Dalam salah satu adegan, setelah pertanggungjawabannya sebagai presiden ditolak sidang MPR, Pak Habibie malah senyum-senyum. Lepas dari politik yang melelahkan, beliau bersyukur bisa punya banyak waktu buat keluarga.

Selain cinta suami istri dan keluarga,  cinta bangsa juga di antara nilai yang ingin ditonjolkan. Cuplikan penerbangan pesawat N 250 merupakan aksi heroik yang menggetarkan hati. Yang tak kalah menyentuh adalah saat Pak Habibie mengunjungi markas PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN) yang hampir dibubarkan.

Seperti biasa, saya mencatat beberapa poin menarik:

  1. Empat jempol buat Reza Rahardian yang sukses memerankan Pak Habibie. Dari bahasa tubuh, mimik muka hingga gaya bicara betul-betul mirip. Inilah yang membuat para penonton berulangkali tertawa. Apalagi saat foto Reza Rahardian disandingkan dengan foto Pak Harto. Gerrrr… Tapi ada beberapa kesempatan yang membuat Reza lebih mirip Mr Bean, haduh….. Faktor Reza lah yang membuat saya rela memberikan rating tinggi bagi film ini.
  2. Karena tidak pernah melihat bagaimana seorang ibu Ainun, saya menganggap akting Bunga Citra Lestari memenuhi standar. Paling tidak, gak mengecewakan.
  3. Dari sosok ibu Ainun, kita bisa belajar bahwa keluarga adalah segala-galanya. Bagi yang berumah tangga, banyak nilai yang bisa diteladani. Beberapa perempuan yang telah menonton film ini berucap pada saya bahwa mereka ingin seperti Habibie & Ainun yang tetap saling cinta hingga akhir hayat.
  4. Jangan malu dan selalu bangga jadi bangsa Indonesia. Kita juga berpotensi untuk maju. Jujur, saya tidak senang dengan acara tv yang banyak seperti mengutuki kebobrokan negeri ini, ada yang menyebut “jumpalitan” pula.  Memang Indonesia ini telah terjerat masalah pelik, lebih kacau dari benang kusut. Tapi apa salahnya mengumbar optimisme? Film ini paling tidak sempat membuat rasa bangga saya tumbuh kembali.
  5. Ada adegan saat Habibie & Ainun minum cairan berwarna merah tua pekat. Takutnya ada yang salah tafsir, mereka berdua mabuk-mabukan.
  6. Sutradara Hanung Bramantyo berperan jadi tokoh antagonis dan terlalu banyak iklan.
  7. Tim artistik sudah bekerja keras, mereka berhasil membuat tampilan jadul yang otentik. Berbagai properti kuno berhasil dihadirkan.
  8. Nilai minus mau tidak mau disematkan kepada tim make-up dan tata rias.  Reza masih terlihat gagah di masa-masa tua Habibie. Jangan berharap menyamai pencapaian karya-karya Holywood.
  9. Banyak cobaan bagi orang yang memangku jabatan penting di negeri ini. Semoga para pejabat yang baik sekarang ini bisa bertahan, sedangkan yang bermental buruk segera tobat atau tersingkir.
  10. Kalau ada yang punya rezeki lebih, ajaklah saya nonton film ini sekali lagi.


HABIBIE & AINUN
Sutradara:
Faozan Rizal & Hanung Bramantyo
Pemain:
Reza Rahardian (BJ Habibie), Bunga Citra Lestari (Hasri Ainun)

Ciputat, 27 Desember 2012. Jam satu dini hari.

No comments: