Thursday, January 21, 2010

Kang Abik Tak Mau Kecolongan Lagi

Catatan pembuka. Bisa dibilang tulisan ini ketinggalan zaman, berbulan-bulan setelah dua film KCB diputar ke hadapan masyarakat Indonesia. Maklum, namanya juga mahasiswa luar negeri. Jangankan nonton di bioskop, beli bajakan saja tak bisa.

Sempat sedikit geli ketika browsing poster film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) di Internet, ada stempel “Dijamin Asli Mesir” di sana. Terus terang agak sedikit norak. Tapi tindakan ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Besar kemungkinan pihak produser tidak ingin mengecewakan para pecinta novel-novel religi Habiburrahman el Shirazy, seperti saat film Ayat-ayat Cinta (AAC) dirilis.

Dari segi sinematografi, menurutku AAC yang juga diangkat dari buku Kang Abik—panggilan akrab Habiburrahman—, tidak begitu buruk. Mungkin nilai 7 dari 10 pantas disematkan. Cuma saja jalan cerita yang agak ‘menyimpang’ dari novel best seller itu membuat khalayak kecewa. Yang paling disesali para pembaca karya Kang Abik adalah langkah alternatif MD Pictures mengganti Mesir dengan India sebagai lokasi syuting. Fantasi indah para pembaca sontak buyar melihat film AAC garapan sutradara Hanung Bramantyo itu.

Kalau bisa jujur—tanpa mengesampingkan rasa kagumku pada Pak Chaerul Umam dan Kang Abik—, Aku tidak begitu puas dengan film yang menelan biaya hampir 20 milyar perak ini. Mungkin ini imbas dari keseringan menyantap film-film Holywood. Atau bisa jadi ini gejala trauma terhadap film-film horor-cabul yang beredar marak di bioskop tanah air.

Belajar dari AAC, Kang Abik tidak mau cerita di novelnya dipelintir sutradara seenak udel sutradara. Akhirnya ‘kepatuhan’Chaerul Umam pada novel yang membuat film ini terasa agak ‘kurang’. Banyaknya alur cerita yang padat dan terlalu berwarna membuat sebagian jalan cerita terkesan tidak fokus. Kasus serupa pernah terjadi dalam film The Da Vinci Code. Adaptasi dari novel dengan judul sama ini akhirnya menghasilkan rangkaian adegan yang terburu-buru. Potensi akting Tom Hanks dan Audrey Tatou pun tak tergali maksimal.

Novel dan film adalah dua media yang berbeda. Yang satu digerakkan oleh kata-kata, sedangkan yang lain mengeksplorasi suara dan gambar. Tidak semua film adaptasi dari novel tunduk pada cerita aslinya. Lihat saja Laskar Pelangi, Harry Potter, atau Trilogi The Bourne-nya Robert Ludlum yang harus banting setir beberapa derajat. Itu pula yang membuat KCB harus dibuat sebanyak dua seri, sama seperti novel. Lucu juga menyaksikan tulisan ‘to be continued’ terpampang di akhir KCB pertama karena cerita harus dilanjutkan ke KCB 2 yang rilis hari raya Idul Adha 2009 kemarin.

Tapi jangan sekali-kali menyamakan KCB dengan film setan murahan bikinan KK Dheraaj. KCB jauh lebih bermutu! Isinya sarat dengan nilai-nilai; perjuangan utama Azzam yang membanting tulang di Kairo demi adik-adiknya, bakti pada orang tua, kesucian cinta, jiwa enterprenuer sampai realita sosial kemasyarakatan.

Siap Lahir Batin untuk Kawin
Dalam KCB 1 penonton disuguhi pemandangan Mesir yang eksotis. Pantai biru Alexandria, Sungai Nil yang legendaris, monument-monumen peninggalan Islam, Piramid, Universitas Al Azhar berusia ratusan tahun sampai kost sederhana ala mahasiswa. Lebih menyenangkan, para tokoh juga berbahasa Arab dengan fasih.

Mengenai roman percintaan, bagian inilah yang cukup mendapat porsi terutama dalam KCB 2. Si Azzam di usianya yang hampir kepala tiga—setelah 9 tahun di Mesir—kalang kabut mencari jodoh. Untuk mendapat sang belahan jiwa, Azzam memakai metode Islami tanpa pacaran. Bagi sebagian penonton yang kurang memahami Islam memang agak bermasalah dalam bagian ini. Seakan Azzam berpetuah di sini, “Carilah istri kalau kehidupanmu sudah mapan”. Ya, Jadi pengusaha bakso sukses ternyata tidak menjamin Azzam mudah mendapat istri. Aku sendiri jadi sedikit khawatir tentang masa depanku setelah pulang ke Indonesia nanti. Jangan-jangan….

Ya, secara keseluruhan KCB 1&2 tidaklah buruk. Sebagai film Islami, KCB sudah bisa membahasakan pesan-pesan yang ingin disampaikan. Kekurangan memang masih banyak di sana-sini, tapi perpaduan antara aktor-aktor baru dan senior bisa saling menutupi. Angkat jempol buat M. Cholidi yang cukup berhasil menghidupkan tokoh Azzam dalam novel KCB dan Ibu Ninik L Karim yang mengingatkanku pada ibu di Banjarmasin.

Satu catatan sebelum lupa. Terima kasih untuk Pak Chaerul (atau siapapun) yang sukses memilah para aktris wanita dalam KCB. 80% perempuan-perempuan dalam KCB bening dan indah dipandang mata, terutama Meyda Safira dan Asmirandah. Gubrak!

2 comments:

Meta Ayu Fitrian said...

Waah kak, klo Asmirandah jgn dtanya lg... emank cantik bgt ! apa lg dmata cowok y,,, hehe
trus klo Dude Herlino gmn ?? (^o^)
(gawat,gawat ! istghfr. . .)

Anonymous said...

nice share...