Monday, January 25, 2010

Negeri 5 Menara: Mantera itu Bukan “Simsalabim”

Ahmad Fuadi Bersama Pimpinan Pondok Gontor, KH Abdullah Syukri Zarkasyi

Mati-matian Alif berkelit dari titah Amaknya (Ibu dalam bahasa Minang) agar masuk Madrasah selepas tamat Tsanawiyah (Sekolah Menengah Pertama). Keinginannya sudah tergantung tinggi di langit: Masuk SMA lalu kuliah di ITB Bandung kemudian jadi Insinyur seperti Pak Habibie!

Sungguh ibunya punya keinginan yang tidak kalah mulia. Ia ingin putra sulungnya menjejak langkah Buya Hamka, ulama besar Minang, mendalami ilmu agama. “Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk akhirat,” ujar ibunya bersikeras.

Sebagai langkah pemberontakan, Alif lebih memilih merantau ke Pondok Madani (PM), pondok pesantren modern di pedalaman Ponorogo, Jawa Timur daripada harus masuk madrasah. Padahal seumur-umur Alif belum pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Sebuah keputusan setengah hati yang Alif sesali, namun kemudian disyukurinya di kemudian hari.

Di PM Alif bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan bersama Raja dari Medan, Dulmajid dari Madura, Said dari Surabaya, Atang dari Bandung dan Baso dari Sulawesi, Alif menjalin persahabatan karib.

Setiap sore menjelang maghrib, Alif and the gank nangkring di bawah menara masjid. Mereka belajar bersama, membicarakan mimpi dan cita-cita, senda-gurau, sampai berbagi kesedihan.

Suka-duka Alif dan kelima kawannya belajar di PM lengkap dengan warna-warni kehidupan inilah yang menjadi pusat cerita Negeri 5 Menara (N5M). Novel karangan A. Fuadi ini memang diinspirasi dari kisah nyata selama penulis jadi santri di Pondok Modern Gontor, Ponorogo.

Keajaiban Man Jadda Wajada
Buang jauh-jauh bayangan santri yang kolot dan ketinggalan zaman. Fuadi menggambarkan anak didik PM sebagai para remaja berambut cepak yang keranjingan bahasa Arab dan Inggris sampai ke ubun-ubun. Tentengannya bukan hanya kitab hadits dan fikih saja, tapi ensiklopedi canggih Al Munjid plus Kamus Oxford setebal bantal. Mereka juga bisa menjelma dalam berbagai bentuk: orator ulung titisan Bung Karno, agen rahasia James Bond, wartawan amatir, juru sensor hingga Maradona yang hafal Al Qur’an.

Kehidupan PM yang dinamis dan disiplin, non-stop 24 jam memang bak perguruan shaolin di pedalaman Jawa Timur. Keras namun sarat hikmah dan bait-baik kebijakan.

Adalah mantera sakti “Man Jadda Wajada” yang merasuk sampai ke sumsum tulang para santri. Kalimat dalam bahasa Arab yang artinya “siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses” menyadarkan Alif dan kawan-kawan tentang perjuangan meraih sukses. Kerja keras, kreativitas, ketabahan dan doa menjadi multivitamin wajib dalam meraih mimpi di masa depan.

Man Jadda Wajada”, sebuah serum untuk sebagian generasi muda kita yang tersaruk-saruk diseret globalisasi. Generasi instan yang menurut penulis kawakan Gola Gong, “tinggal seduh langsung jadi”. Dunia tidak berubah begitu saja dengan ucapan Simsalabim Abrakadabra!

N5M juga menyuguhkan cara pandang baru terhadap pondok pesantren. Pesantren tidak ketinggalan zaman, tidak pula sekolah orang-orang buangan. Apalagi beberapa waktu belakangan, isu terorisme di Indonesia sempat membarikan stigma negatif lembaga pendidikan Islam ini. Beberapa pondok bahkan dituduh sebagai sarang para teroris.

Ulasan ini memang subjektif. Apalagi aku alumni Pondok Gontor seperti A. Fuadi. Jelas-jelas senior harus didukung he…he…he…. Tapi yang jelas saya berusaha menulis sebaik mungkin. Semoga berkenan.

Catatan:
-Terima kasih untuk Iqbal yang sudah membawa N5M jauh-jauh dari Tanah Air.
Musyakirin Awie!

-Foto diambil dari situs resmi www.negeri5menara.com

No comments: