Monday, September 19, 2011

Oase


Baru-baru ini saya berkesempatan mengunjungi kawasan oase di Siwa, Mesir bagian barat. Menurut Youssef Sarhan—warga setempat yang jadi pemandu kami— di Siwa terdapat tidak kurang dari 200 mata air, baik besar maupun kecil. Air dari oase-oase ini membuat pohon kurma tumbuh subur di sini. Selain kurma, Siwa juga terkenal sebagai penghasil Zaytun. Sesuai adat yang berlaku di sini, siapapun boleh makan buah kurma dari pohonnya, sepuas hati. Dengan syarat tidak boleh dibawa pulang alias makan di tempat.

Sejak zaman dahulu kala Siwa sudah didiami oleh manusia. Di tengah kota Siwa yang mungil, masih berdiri dengan kokoh reruntuhan kota Shali yang dibikin dari bata dan lumpur kering. Ada juga reruntuhan kuil peninggalan Alexander Agung. Saat bertualang naik jip off-road ke gurun di barat Siwa, terlihat kota ini seperti sepetak tanah hijau di kelilingi padang pasir gersang. Sungguh kontras.

Masyarakatnya masih memegang teguh adat setempat. Sangat sulit menemukan wanita di Siwa. Selama dua hari di sini, hanya empat kali saya melihat perempuan, itupun bersama suaminya. Kata Youssef, kultur di sini memang cukup konservatif, termasuk masalah pergaulan perempuan. Laki-lakinya pun banyak yang memakai pakaian khas berupa gamis putih atau warna cerah lainnya.

Siwa terletak sekitar 19 meter di bawah permukaan laut. Salah satu fakta ini sudah cukup untuk menjawab kenapa banyak mata air di Siwa. Setiap oase menghasilkan air tawar yang dialirkan ke perkebunan dan rumah penduduk. Sebuah sensasi unik ketika melihat gelembung-gelembung udara keluar dari dasar oase yang jernih.

Setelah menyaksikan kehidupan masyarakat Siwa, saya makin mafhum bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa air. Kota-kota di Mesir terletak tidak jauh dari sumber air. Kalau tidak di pesisir sungai Nil atau pinggir laut, pastilah di sekitar oase seperti Siwa, Bahariyya, Dakhla atau Farafra.

Lebih dari 60% bahan pembentuk tubuh kita berupa air. Detailnya seperti ini: 65% dari tubuh adalah air; 74,5% dari otak merupakan air; 75,6 % dari otot adalah air; 85% dari darah berupa air; 82,7% ginjal kita adalah air; bahkan tulang kita 22%-nya adalah air. 
“. . . dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak beriman?" (QS: Al Anbiya’ ayat 30)
Selain buat minum, kita juga butuh air bersih untuk mandi, cuci & kakus (MCK). Konon katanya, manusia bisa hidup sampai tiga minggu tanpa makan. Sedangkan tanpa minum, kita hanya bisa bertahan hidup kurang dari seminggu. Gak percaya? Silakan coba sendiri…. Saya jadi teringat salah satu adegan menyayat hati dalam film “127”. Ceritanya tokoh Aron yang diperankan James Franco, harus minum—maaf—air seninya sendiri supaya bisa bertahan saat terjebak di pegunungan Grand Canyon.

Seperti yang kita pelajari dalam IPA, air menutupi 71% permukaan bumi. 97,2% air di planet ini ada di laut, sisanya berupa sungai, danau, mata air dan danau. Dulu waktu saya masih kecil dan air PDAM belum masuk daerah saya, kami menggunakan sungai kecil di belakang rumah. Kalau turun hujan, ayah saya menampung air dari langit itu pakai drum. Untuk kebutuhan minum, kadang ayah saya membubuhkan kaporit supaya air dari sungai tersebut jernih. Meski beberapa sungai kecil di kota Banjarmasin sudah tidak bisa dipakai lagi, untung saja sungai-sungai besar di Kalimantan Selatan pada umumnya masih bisa dikonsumsi. Penduduk di desa-desa juga masih memakai air sungai dan sumur.

Sayangnya, umat manusia—termasuk kita—justru berulah mencemari sumber air di bumi. Lihat saja sungai di kota-kota besar, sudah berubah fungsi sebagai tempat pembuangan sampah. Ironisnya, karena faktor ekonomi, banyak masyarakat kita yang masih mengkonsumsi air sungai. Pencemaran limbah juga sudah merambah laut lepas. Coba bayangkan, limbah industri dan rumah tangga di kota mau ke mana larinya? Walau sudah mengusahakan banyak alternatif ramah lingkungan, tetap saja sungai dan laut menjadi tempat pembuangan paling masuk akal.

Ada sebuah penelitian yang membuat saya bergidik; diperkirakan tahun 2050 nanti setengah dari populasi manusia di dunia bakal kesulitan mendapat air bersih. Saat itu saya mungkin sudah jadi kakek-kakek. Saya yakin, tidak ada seorangpun yang menginginkan hal ini. Tapi kerusakan lingkungan merupakan resiko atas zaman yang makin maju dan jumlah manusia yang terus bertambah—sekarang sudah mencapai 6 milyar. Tugas kita sekarang adalah melindungi bumi dan air sebaik mungkin. Bukan cuma untuk masa tua kita kelak, tapi juga generasi setelah kita. Wallahu’alam.

Saqr Quraisy, 19 September 2011.
Terima Kasih untuk Gamajatim yang sudah menyelenggarakan Rihlah Sa'idah ke Siwa.

No comments: