“Pak, tempenya 10 ribu ya …”
Malam itu saya menepi di sebuah gerobak penjual tempe mendoan di
dekat tempat tinggal saya. Tempe mendoan adalah gorengan tempe tipis yang
dilumuri adonan tepung. Konon kata mendoan berasal dari “mendo” dalam bahasa Jawa
dialek Banyumasan yang artinya lembek atau setengah matang. Memang tempe
mendoan agak lembek dan tidak serenyah gorengan umumnya. Oleh karenanya,
biasanya kudapan khas Jawa Tengah ini lebih baik disajikan hangat dari wajan
agar rasanya lebih afdol. Biasanya dihidangkan
juga sambal kacang atau kecap sebagai pelengkap.
“Sekarang harganya naik jadi 2.500 dek, jadi 10 ribu cuma dapat
empat potong,” bapak asal Purwokerto ini terlihat berat untuk mengucapkan
kenaikan harga dagangannya. Terakhir saya beli tempe di sini bulan puasa silam,
10 ribu dapat lima potong.
Dalam hening saya terhenyak beberapa saat. Ternyata efek kenaikan
harga kedelai sudah berimbas pada salah satu snack kegemaran saya ini. Baru tadi
pagi saya membaca artikel bisnis di koran bahwa Indonesia terancam krisis
ekonomi untuk kedua kalinya sejak 1997. Kenaikan dolar yang sejak Juli 2013
lalu menyentuh angkapsikologis Rp. 10.000 merupakan gejala awal yang
ditakutkan. Hari ini (9 September) rupiah malah terpuruk jadi Rp. 11.200.
Ketika nilai tukar rupiah atas dolar melemah, harga barang yang didatangkan
dari luar negeri melalui impor juga akan naik. Salah satu komoditas impor itu
adalah kedelai. dan krisis yang tidak kalah mengerikan akan ikut menyusul;
krisis pangan.
“Tidak pantas dek, kita kekurangan kedelai. Saya malu,” bapak
berumur 40 tahunan ini meradang. Matanya menyimpan bara amarah dan kekesalan
karena tidak mampu melawan realita yang akan menyulitkan hidupnya ini.
“Katanya kedelai mulai langka Pak ya, mahal lagi…” saya menimpali.
“Gak ngerti juga saya sama pemerintah ini, kalau tanah di Jawa
sudah sempit buat pertanian, kenapa gak bikin perkebunan kedelai di Kalimantan,
Sumatera misalnya. Toh tanah di sana masih luas-luas. Gak
perlu sampai impor dari Amerika ribuan ton. Sekarang jangankan kedelai &
beras, brambang (bawang merah, bhs Jawa) juga
impor dari Cina.
Kalo pemerintah gak sanggup kan banyak pengusaha kaya di negara
kita. Pemerintah bisa ngerayu mereka bantuin membuka lapangan pekerjaan
pertanian. Bagi hasil keuntungannya bisa diobrolin nanti. Daripada
konglomerat-konglomerat itu bisnis bikin tv, malah pakai ikutan politik segala.
Yang ada malah rakyat tambah menderita,” panjang lebar bapak ini berceramah bak
dosen ekonomi di perguruan tinggi. Wawasannya luas juga.
“Di desa saya dek, karena susah jadi petani, orang-orang pergi ke
luar negeri jadi TKI. Padahal di Malaysia akhirnya bekerja di perkebunan juga. Sami
mawon, sama saja.
Saya akui, saya juga terpaksa merantau ke Jakarta karena susah di
kampung. Tapi saya tidak mau jadi karyawan, lebih baik saya membuka usaha
sendiri, tempe mendoan. Siapa tahu nanti usaha ini jadi gede lalu saya punya
banyak karyawan. Kan membuka lapangan pekerjaan juga,” katanya menutup kuliah
umum di pinggir jalan
ini.
“Amin, saya doakan pak,” ujar saya mengamini doanya.
Obrolan dengan Bapak penjual mendoan itu jadi pikiran saya. Bahkan
saat kekenyangan makan tempe dan berbaring di atas kasur.
Sudah seharunya kita menjadi negara yang mandiri. Kemandirian itu
diupayakan dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya alam dan
manusia-manusia handal yang dimiliki Indonesia. Kalaupun kita tidak bisa
melepaskan diri untuk impor alat elektronik dari luar negeri, paling tidak
kebutuhan pokok berupa sandang-pangan-papan kita sediakan sendiri.
Ketika sudah terjebak dalam keadaan sulit sekarang, saya tidak
tahu siapa yang harus disalahkan. Banyak yang mengatakan bahwa adalah kesalahan
pemerintah mengambil kebijakan yang membuat negara kita bergantung pada asing.
Ada juga yang menyalahkan mental masyarakat kita yang tidak kreatif. Tak
ketinggalan, konspirasi kapitalis dunia juga jadi tersangka.
Apapun penyebabnya, kita harus memulai dari diri kita sendiri.
Contohnya jika sedang lapar, tidak jajan fast foodAmerika, tapi
beli jajanan tradisional seperti tempe mendoan hehehe…. Dengan membeli tempe mendoan,
abang penjualnya, pengrajin tempe, petani kedelai hingga penjual tepung di
pasar ikut diberdayakan.
Saya teringat kebijakan pak Kyai di pesantren saya dulu yang
mengutamakan kemandirian. Bukan hanya santrinya yang harus mengurus hidupnya
sendiri jauh dari orang tua, santri juga berperan dalam roda perekonomian
pesantren. Santri dilarang beli di luar karena segala kebutuhan sudah
disediakan di koperasi/kantin di dalam komplek sekolah. Dari penggilingan padi,
pabrik es, percetakan buku, jajan, pakaian, air mineral, konveksi pakaian,
hingga sandal diusahakan oleh pondok, omsetnya milyaran. Dari jajanan di
koperasi saja, untung yang diraup bisa sampai 30 jutaan. Pak Kyai menyebutnya
sebagai “ekonomi proteksi”.
Mudah-mudahan presiden terpilih hasil pemilu 2014 tahun depan
mempertimbangkan Bapak penjual tempe mendoan sebagai Menteri Pertanian
Republik Indonesia. Amin.
No comments:
Post a Comment