Saturday, August 24, 2013

Uwa

Uwa beraksi di Dapur. Saingan Masterchef


Mudik kali ini butuh perjuangan lebih karena saya harus menempuh jarak 200 kilometer dalam keadaan sakit. Sungguh tidak nyaman meski hanya duduk manis di samping  adik saya yang memegang kemudi. Biasanya jarak segitu bisa ditempuh 4-5 jam. Namun karena kami singgah di beberapa tempat dan saya yang harus sering istirahat kami menghabiskan waktu 8 jam. Apalagi di kecamatan Binuang—100 km dari Banjarmasin—macet sampai 3 kilometer. Maklum di sana ada objek wisata gua Batu Apu yang terkenal itu.

Kakek-nenek baik dari ayah dan ibu sama-sama sudah wafat. Jadi kami bersilaturahim ke saudara-saudara bapak & ibu di kampung sana. Karena jarang bertemu dengan sanak famili, hampir setiap rumah di kampung kami sambangi walau hanya sekadar bersalaman.

Yang paling berkesan tentu adalah kunjungan ke rumah Uwa. Menurut tradisi Banjar, Uwa atau Julak adalah sebutan bagi kakak dari ayah atau ibu. Uwa dan suaminya memang tidak dikaruniai anak, jadinya setiap para keponakannya datang, beliau menyambut dengan hangat. Syarif, sepupu saya yang sekolah di pesantren Ibnul Amin sampai ketagihan dimanja oleh Uwa. Pantas saja dia betah tinggal jauh dari orang tua di Banjarmasin.

Sungai di belakang rumah Uwa.

Rumah Uwa boleh sederhana nan biasa saja. Tipikal rumah orang Banjar pedesaan yang terbuat dari kayu dan beratap sirap. Di bagian dapur malah beratap daun rumbia. Tapi soal kebersihan, beliau nomor satu, baik pekarangan hingga interior. Inilah yang membuat kami betah. Sungguh nikmat menggelar tikar di teras samping sambil menikmati angin sepoi siang hari. Di belakang rumah terdapat kali kecil yang memisahkan perkampungan dengan kebun dan hutan kecil.

Kalau kami berkunjung, Uwa selalu mengeluarkan suguhan favorit kami semua; wadai baras alias kue beras. Kue beras bikinan Uwa itu sederhana saja. Terbuat dari tepung beras yang ditumbuk uwa sendiri, telur bebek, gula dan santan. Adonan cair itu kemudian dimasukkan ke dalam cetakan, lalu dipanggang di atas kompor berbahan bakar kayu. Kuenya berbentuk balok tidak simetris  dengan puncak yang merekah mirip kawah gunung berapi. Bertekstur lembut seperti roti namun ajaibnya jika disimpan makin lama, menjadi renyah. Dengan penyimpanan di tempat sejuk dan kering sesuai petunjuk Uwa, Insya Allah tahan hingga sebulan. Rasanya gabungan antara gurihnya tepung beras dan santan serta dan manisnya gula. Simpel dan lebih sederhana jika dibanding bolu, nastar, brownies atau black forrest.

Wadai baras yang fenomenal itu.

Kalau menonton kompetisi memasak di salah satu televisi swasta, saya sering bergidik sendiri. Sepertinya memasak makanan enak butuh perjuangan ekstra keras, ketelitian, keterampilan, sedikit bakat dan resep rahasia. Itu memang benar adanya. Namun sepeninggal dari kampung Uwa saya jadi terpikir bahwa mungkin kunci lain makanan enak adalah kesederhanaan. Masakan ibu kita di rumah atau nenek di kampuang nan jauh di mato mungkin contoh paling dekat. Kadang hanya berupa tumis kangkung yang terdiri dari racikan bawang merah dan putih, irisan cabe dan satu sendok teh garam. Paling banter, tambahan gula untuk memperkuat rasa sebagai pengganti monosodium glutamat (MSG alias micin alias vetsin). Simpel tapi membangkitkan selera makan.  

Di jalan Ahmad Yani, Banjarmasin, ada penjual nasi dan mie goreng pinggir jalan yang laris manis. Tendanya setiap malam selalu sesak pembeli, dari orang biasa sampai orang kaya bermobil berkelas. Padahal penampilan nasi gorengnya cenderung sederhana dan tidak ramai lho; berwarna sedikit kemerahan efek saus tomat dan bertabur sedikit irisan telur serta setikit suir daging ayam. Harganya 9 ribu rupiah. Dari rasanya saya taksir tidak ada tambahan bumbu istimewa, mungkin bawang putih, garam dan sedikit vetsin. Kalaupun ada resep rahasia, mungkin api kompor gas yang memuntahkan lidah api warna biru itu. Tapi api yang besar semacam itu hal yang lumrah bagi penjual nasi goreng agar nasinya lebih kering, pisah dan tidak lengket satu sama lain.


Simplicity is the ultimate sophistication. Kesederhanaan adalah  kesempurnaan, ujar Leonardo da Vinci.

Jalan Pramuka, 21 Agustus 2013



No comments: