Tuesday, August 7, 2012

10 Kilometer bersama Kantuk

Kantuk menyerang saya tanpa ampun. Ketika itu memang sudah larut malam jam 11, jadi wajar jika mata butuh istirahat. Meski begitu, saya tetap berjuang sekuat tenaga agar kelopak mata tetap terbuka. Bahaya! Sebab saya masih berada di atas jok sepeda motor. Hilang kesadaran sedikit saja bisa berakibat fatal. Saat pertahanan saya hampir ‘jebol’, saya berinisiatif membuka kaca penutup helm. Lumayan, hantaman debu dan angin malam membuat mata saya sedikit perih, kantuk pun beringsut pergi menjauh.

Malam itu saya membonceng Rifqi—adik saya—pulang dari kota Banjarbaru, + 30 km sebelah timur laut Banjarmasin. Rifqi mendapat ajakan kawan-kawan lamanya untuk menyaksikan festival tanglong (lampu hias) dan lomba membangunkan (begarakan) sahur di lapangan Murjani, Banjarbaru. Kami berangkat selepas buka puasa, dari Banjarmasin dia yang membawa. Barulah pada saat pulang saya yang dapat giliran memegang setang motor.

Selain lampu hias dan begarakan, seperti tahun-tahun sebelumnya acara ini diwarnai juga dengan pesta mercon. Warga yang ingin menyalakan mercon dan kembang api dikumpulkan di lapangan dan dibebaskan melakukan tindakan huru-hara mereka di sana. Banyak yang menonton, bukan cuma para ABG tapi juga orang tua dan anak-anak. Tapi sayang, beberapa kali mercon terbang salah sasaran dan malah mengejar para penonton. Entah sengaja atau tidak. Saya malah sempat terjebak dalam perang mercon yang dilakoni beberapa kelompok ABG di sudut lapangan. Saya hanya bisa berjalan sambil melindungi kepala saya dengan tangan. Mungkin seperti inilah ketakutan orang-orang yang tinggal di daerah konflik seperti Palestina dan Syiria. Karena sudah larut, sebelum acara inti dimulai kami justru pulang.

Jalan protokol Ahmad Yani yang kami lewati lengang. Apalagi dari Liang Anggang (km 19) hingga Banjarmasin jalannya besar terdiri dari tiga jalur. Aspalnya pun lumayan mulus. Pokoknya kondisi favorit para rider. Saya pun tergoda untuk mengajak motor Honda Revo yang biasa dibawa ibu saya ke kantor berlari cepat. Haha… dengan kondisi seperti ini saya berani mengajak Jorge Lorenzo pembalap Spanyol itu duel—tentu saja saya yang akan kalah.  

Yang saya heran, lampu-lampu jalanan yang seharusnya menyala terang benderang itu mati! Andai saja sepeda motor ini tidak dilengkapi lampu, mungkin saya tidak bisa melihat apa-apa. Akibatnya, keadaan kurang cahaya ini membuat saya mengantuk seperti yang saya ceritakan di atas. Kondisi yang dapat membahayakan diri sendiri, penumpang dan orang lain.

Saking gelapnya jalan, tugu sebesar ini tak terlihat sama sekali. Hampir saja.

Tugu 17 Mei yang berada di tengah jalan di km 16 saja tidak terlihat sama sekali jika di jalan tidak ada lampu kendaraan lain. Kalau sopir sedang ngebut plus ngantuk bisa saja tertabrak monumen yang sebenarnya menjulang tinggi itu. Keadaan mengenaskan ini  berlangsung kurang lebih 10 kilometer hingga masuk kawasan Kertak Hanyar di km 7. Ketika memasuki kota Banjarmasin, lampu-lampu benderang dengan sempurna, sungguh kontras dengan keadaan di luar kota. Padahal di sepanjang jalan A Yani Banjarmasin – Banjarbaru di sampingnya jarang terdapat rumah penduduk. Sebagian besar masih diliputi daerah sawah dan tanah gambut yang rimbun dengan semak belukar. Selain membikin suasana jadi angker lampu jalanan yang mati bisa membahayakan pengendara dan penyeberang jalan.

Tanggung jawab siapa?  Tak tahulah. Yang pasti pihak pertama yang  Mungkin pemerintah bisa berniat menghemat listrik guna menghindari pemadaman yang lumrah terjadi di daerah ini.

Alhamdulillah saya sampai dengan selamat di rumah. Tak terbayangkan mengendarai motor sambil menahan kantuk selama 10 kilometer. Akhirnya saya bisa istirahat. Tapi begitu membuka membuka pintu kamar, kok kenapa rasa kantuk lenyap seketika….

Banjarmasin, 18 Ramadhan  1433

No comments: