Monday, March 19, 2012

Mengkhayal Tak Dilarang (Resensi Dua Novel Sepakbola)



Sebelas Patriot; Penulis Andrea Hirata; Penerbit Bentang Pustaka; 2011; 108 halaman.
Menerjang Batas; Penulis Estu Ernesto; Penerbit Bogalakon;2012; 250 halaman

Dunia persepakbolaan Indonesia heboh setelah akhir Februari lalu tim nasional kita menelan kekalahan terbesar sepanjang sejarah. Betul Bung, tanpa belas kasih Bahrain menggelontor  gawang kesebelasan Merah Putih sepuluh gol tanpa balas. Pemain malu, pelatih terdiam, suporter fanatik hilang muka, masyarakat ribut di warteg. Tak pernah timnas terjungkal seburuk itu.

Dengan terjadinya kisruh di jajaran Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia beberapa waktu belakangan, kekalahan memang sudah diprediksi. Namun tidak dengan angka yang sedemikian besar. Terjadi dualisme kompetisi yang berakibat beberapa pemain terbaik nasional tidak bisa membela panji Garuda karena dianggap bermain di liga ilegal.

Keadaan menyedihkan ini tidak membuat saya hilang semangat membaca dua novel bertema Sepakbola:  Sebelas Patriot novel karya Andrea Hirata dan Menerjang Batas oleh Estu Ernesto. 

Sepakbola; Sisi Lain Andrea Hirata
Sebelas Patriot bermula ketika Ikal tanpa sengaja mengungkap rahasia besar ayahnya. Rupanya dulu, buruh timah yang pendiam itu adalah pemain sepakbola andal di zamannya.  Sampai-sampai kesebelasan kompeni yang saat itu masih bercokol di nusantara gemetar jika harus menghadapi para pekerja kasar itu. Hingga pada akhirnya sebuah tragedi mengakhiri karir para pesepakbola tambang timah, termasuk ayah Ikal.
Kalau anda pembaca setia tetralogi laskar pelangi, tentu akan sedikit heran karena dalam novel-novel sebelumnya Ikal diceritakan gemar bulutangkis, bukan si kulit bundar. Kenangan ikal dengan sepakbola merupakan sisi lain yang ingin Andrea ungkap dalam buku setebal 200 halaman ini. Rupanya sepakbola pun pernah singgah di kehidupannya.  Demi cinta kepada Ayahnya, Ikal jatuh bangun membangun mimpi sepakbolanya dari level paling rendah di klub kampung. Cerita berlanjut hingga petualangannya mencapai semenanjung Spanyol. Di benua biru itu, Ikal mengajak kita belajar menginsafi diri sebagai orang Indonesia.

Seperti novel-novel Andrea sebelumnya, plot yang biasa-biasa saja menjadi istimewa dengan bahasa hiperbolik namun tidak lebay. Kadang berupa humor lucu, sindiran, drama mengharukan hingga patriotisme.  Selain itu, Jadinya, seratus delapan halaman terasa begitu singkat. Ya, Sebelas Patriot cukup tipis untuk ukuran novel.

Untuk semakin menyeburkan pembaca dalam kisah, novel ini disertai bonus  cd yang berisi lagu-lagu karangan Andrea tentang sepakbola dan kebangkitan PSSI. Tapi saya yakin, seperti warga Indonesia lainnya, Andrea tidak memihak salah satu pihak dalam konflik PSSI dewasa ini. Mereka hanya ingin PSSI menjadi pemersatu bangsa seperti tujuan berdirinya dulu. Mereka tak peduli timnas menang atau kalah, yang diinginkan hanyalah mendukung tim garuda sepenuh hati. Karya ini lebih berupa wujud cinta rakyat kepada sebelas patriot pemakai emblem garuda yang berjibaku di lapangan.

Menerjang Batas: Dunia Dongeng Gabriel
Sekilas, judul novel ini lebih mirip buku motivasi pengembangan diri dibanding cerita tentang sepakbola. Cover yang menampilkan penonton dari tribun Stadion Gelora Bung Karno pun sekilas tidak mewakili. Sudahlah, sejenak kita lupakan masalah sampul. Don’t judge a book from its cover.

Novel ini bermula dengan setting akhir tahun 80an. Alkisah tersebutlah seorang pria bernama Edi Baskoro yang mencintai sepakbola lebih dari apapun di dunia. Kegagalan timnas lolos ke Piala Dunia 1986 menorehkan luka mendalam di hatinya. Padahal selangkah lagi, Indonesia akan tampil di ajang  4 tahunan paling bergengsi di kolong langit itu.

Kelahiran Gabriel Omar, putra kesayangannya melecut optimisme akan masa depan sepakbola Indonesia. Ya, Edi dengan segenap kemampuannya ingin menjadikan Gabriel pemain handal yang akan membawa harum negeri ini. Namun cita-cita setinggi langit itu harus dilalui dengan berbagai bumbu dan lika-liku kehidupan.

Inilah negeri dongeng tempat Gabriel Omar hidup. Indonesia menjadi salah satu kekuatan sepakbola Asia. Beberapa pemain nasional bertebaran di klub-klub Eropa. Bambang Pamungkas di Fiorentina (Italia), Ahmad Bustomi di Schalke (Jerman), Boaz Solossa di Roda JC (Belanda) hingga Zulkifli Syukur yang ngetop di Jepang. Timnas pun dilatih oleh Ruud Gullit, legenda Belanda penganut setia total football. Lolos ke Piala Dunia 2014 adalah harga mati bagi Gullit dan anak asuhnya!

Liga Indonesia menjelma jadi industri yang profesional sekelas dengan Liga Jepang atau Korea dengan antusiasme tinggi. Bintang-bintang bermunculan dari klub-klub papan atas Liga Indonesia; Jakarta Metropolitan, Jayakarta FC, Surabaya Sakti, Singosari Malang, Mutiara Hitam atau Bahana Yudha adalah sederet klub-klub imajiner tersebut.

Sungguh 180 derajat bertolak belakang dengan realita yang kita hadapi sekarang. Dengan kacau balaunya persepakbolaan nasional. Ah, sudahlah. Andibachtiar mengajak kita melupakan sejenak kenyataan menyedihkan itu. Saat membaca novel ini, saya merasa di alam lain yang indah. Khayalan-khayalan manis mengenai timnas terwujud di sini.

Ide cerita buku ini pada awalnya adalah kumpulan catatan Andibachtiar Yusuf, sineas yang berkecimpung dalam film-film independen. Seperti jutaan pendukung setia timnas lainnya, Andi dan ayahnya bermimpi setinggi langit, suatu saat tim garuda sejajar degan kesebelasan elit dunia. Timnas yang tak kunjung berprestasi tidak menyurutkan semangat Andi. Mulailah ia mencoret-coret catatan dan menulis tokoh-tokoh imajinatif di mana Indonesia jadi macan Asia.

Selanjutnya, Andi minta bantuan jurnalis olahraga nasional Estu Ernesto untuk menyusun ulang sejarah Indonesia versi Gabriel. Akhirnya jadilah novel ini. Andibachtiar dan Estu juga nongol di buku ini sebagai karakter istimewa.

Gaya tulisan Estu yang deskriptif khas wartawan begitu kental. Saya merasa seperti membaca rubrik di koran atau buku sejarah. Angka-angka dan data yang kebanyakan hanya khayalan berjejalan di setiap halamannya. Selain itu kita akan mendapati banyak nama pemain timnas fiktif bertebaran seperti Albinus Cobias, Sam Feriawan, Christoper Waworuntu, Ashabul Kahfi atau Gusnanda bersanding dengan Bambang Pamungkas dan kawan-kawan. Kadang mengganggu, kadang membuat khayalan kita melayang. Dulu penerbit Gramedia pernah menerjemahkan novel serupa berjudul Three Lions Roar tentang timnas Inggris di Piala Dunia 2006.

Sekarang Andi sedang terlibat proyek pembuatan film layar lebar tentang Gabriel Omar. Proses produksi sudah memasuki syuting, beberapa pemain nasional  pun ikut serta. Diperkirakan, film ini akan rampung bertepatan dengan momen Piala Dunia.

Sebagai penutup saya ingin menyumbang usul—seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini—judul novel diganti saja. Cukup Gabriel Omar, atau GO8 atau Hari Ini Pasti Menang. Tapi ini sekedar ide. Selamat datang di dunia versi Gabriel, lupakan sejenak kegagalan kita lolos ke Brasil!

No comments: