Monday, March 14, 2011

Ikan Pun Doyan Mitos


Sudah lama saya meninggalkan ranah Banjar. Banyak hal yang makin saya rindui di perantauan. Apalagi terhadap makhluk air bernama haruan alias ikan gabus. Bukan rahasia lagi kalau orang Banjar adalah penggemar berat ikan. Urat-urat sungai yang mengakar dan bentangan rawa di bumi Kalimantan mempengaruhi budaya konsumsi masyarakat daerah ini. Malah penduduk bisa menemukan haruan dan ikan lain dengan mudah di barumahan—bagian bawah rumah panggung yang tergenang air atau terimbas aliran sungai.

Haruan jauh dari potongan ikan cantik rupa, apalagi imut seperti ikan hias dalam akuarium. Badan bulat panjang dengan sisik hitam serupa baju zirah. Kepala yang lonjong menopang sepasang mata bulat di atas mulut. Kulit sepanjang perut haruan berawarna agak sedikit terang. Karena perawakan inilah, sebagian peneliti fauna memberi gelar snake fish atau ikan ular.

 Berkat desain insang yang unik, haruan dapat hidup dalam benaman lumpur yang minim oksigen. Ia juga bisa bertahan lama di darat tanpa air. Oleh karenanya, jangan meremehkan ikan ini karena ia bisa ‘meloloskan diri’. Pernah waktu saya kecil dulu, haruan yang baru dibeli ibu saya meloncat dari baskom di dapur lalu berjalan meliuk-liuk bak ular sebelum akhirnya kabur ke barumahan. Kejadian traumatis ini terus membekas dalam benak saya. Cara penyajian haruan beraneka rupa macamnya. Dapat digoreng, bakar, direbus besama gulai, pepes atau berupa abon. Paling nikmat menikmati haruan goreng berselimut sambal cabe merah manis (sambal habang) ditemani nasi kuning atau lontong. Atau sarapan ketupat yang berlinang kuah santan berkawan lauk kepala haruan bakar.

Baru-baru ini dalam tayangan salah satu televisi swasta, haruan ternyata mengandung asam amino yang tinggi. Menurut para pakar, zat ini berkhasiat membangu penyembuhkan luka dan mengobati infeksi. Oleh karenanya Heri, tetangga saya yang mengidap tumor otak, harus makan haruan rebus setiap hari untuk membantu pengobatan dokter.

Selama mengecap bangku sekolah mengengah atas, saya berkesempatan tinggal di pulau Jawa. Susah menemukan haruan di sini. Maklum, mereka punya idola sendiri; lele. Ikan berkumis panjang ini bertubuh licin bak belut, tanpa sisik layaknya haruan. Dagingnya lebih lembut dibanding haruan yang agak sedikit bertekstur. Menurut lidah saya, rasanya pun sedikit manis.

Namun sebaliknya, lele tidak begitu populer di mata masyarakat Banjar. Kalaupun ada warteg atau rumah makan yang menjual menu lele di Banjarmasin, pasti dikelola oleh orang Jawa.

Konon katanya, dalam isi perut lele kerap ditemukan sisa kotoran manusia. Tidak aneh, karena memang ‘limbah perut itu’ adalah santapan nikmat bagi sebagian jenis ikan. Yang membuat saya tak habis pikir, ada lagi tuduhan yang lebih ‘keji’; alkisah ada orang yang pernah mendapati potongan kain kafan dalam tubuh lele! Rupanya makhluk tak berdosa ini disinyalir berhasil membuat lubang sampai ke kawasan pemakaman dan melahap potongan tubuh penghuni kubur. Saya sendiri meragukan kebenaran mitos ini. Bohong besar jika ada yang menyebut bahwa rambut-rambut tipis yang mulai tumbuh di atas bibir saya, adalah akibat kebanyakan makan lele yang berkumis itu!



Sungai Lulut, Maret 2011

No comments: