Friday, January 21, 2011

Hikayat Dua Beranak


Sepulang dari kampus aku dan kawan-kawan mampir ke pasar rakyat Attaba dulu. Hitung-hitung refreshing setelah ujian tadi. Maka singkat cerita, berbaurlah kami dengan lautan manusia yang hiruk-pikuk. Aku sendiri sempat terpisah dari teman yang lain di pusat buku bekas Azbakiya.

Lewat tengah hari, kami pulang dengan belanjaan masing-masing. Aku mendapatkan panduan wisata berbahasa Inggris dengan harga miring. Padahal di toko, buku keluaran terbaru itu bisa seharga ratusan pound. Ipeng memborong buku-buku filsafat kegemaran. Sedang Harun memuaskan dahaga fashionnya dengan kaos-kaos obralan. Meski paling tua di antara kami, lelaki ini tak pernah ketinggalan gaya.

Enaknya, nanti sampai ke flat langsung bergumul di kasur sambil selimutan. Hawa musim dingin yang sejuk pasti membuat tidur makin nikmat.

Rupanya bus tujuan Nasr City hampir penuh. Tinggal dua bangku kosong di belakang. Kami bertiga berebut bak anak kecil dibagi permen. Saling sikut, saling jegal. Apes, aku terlambat dan terpaksa berdiri. Mereka berdua yang beruntung siang ini.

Entah berdoa apa si Harun malam tadi, keberuntungannya dua kali lipat. Di sampingnya duduk gadis berjilbab hitam, modis seperti lazimnya remaja Mesir. Kalau soal kecantikan, jangan ditanya lagi. Memenuhi sembilan puluh persen standar kecantikan menurut orang Indonesia; kulit putih, hidung mancung, mata bundar, tubuh langsing semampai. Untuk kesekian kalinya aku memafhumi, negeri ini adalah surga bidadari dunia!

Aku terpaksa berdiri. Ya sudahlah, pasrah melakoni perjalanan panjang ini. Sudah terbayang jalan sekitar Maydan Geish dan Abbasiyah yang rawan macet. Jam segini mestinya mobil-mobil itu berbaris seperti semut di dinding. Problematika khas ibukota.

“Hei, kamu dari Indonesia ya?” tak ada angin-tak ada hujan, orang di sampingku menyapa.
Ternyata pemuda bernama Badri ini mahasiswa Al Azhar juga. Bedanya denganku yang mendalami agama Islam, dia dan teman di sebelahnya adalah mahasiswa fakultas pertanian. Mereka mendiami asrama kampus di Nasr City. Kami pun berkenalan dan berbicang ngalor-ngidul. Lumayan, daripada berdiri bengong sendiri.

Tanganku tiba-tiba dicolek. Olala… si jilbab hitam rupanya. Ia menyuruhku duduk menggantikannya. “Gak usah, saya berdiri saja….” aku menolak.

Enak saja! Ini masalah harga diri lelaki. Gengsi dong membiarkan wanita berdiri di mobil, sedang aku duduk. Walau jika ditanya dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku kepingin bangku empuk itu.

“Maaf, tapi temanmu ini tidurnya miring ke bahu saya terus,” ujarnya sambil melirik Harun.
Aku menepuk jidat. Wah, temanku ini memang mudah sekali tidur. Kalau sudah terlelap, berada di samping presiden Obama pun ia tak peduli.

“Ayo, anak saya merasa tak enak membangunkan temanmu. Sepertinya dia kelelahan,” wanita setengah baya di samping kiri gadis melambai tangannya kepadaku. Rupanya-rupanya ibu si gadis.

“Nah, kalau giliran saya yang ketiduran bagaimana?” candaku sambil beringsut duduk.

“Ya sudah, tidur saja nak…. Sandarkan kepalamu di bahu saya,” jawabnya mengangkat alis.

Penumpang di sekeliling kami tertawa. Ternyata orang di sekeliling kami menyimak peristiwa ini. Badri yang masih berdiri sampai setengah histeris, geleng kepala tanpa henti. Selera humor bangsa ini cukup aneh.

Selama di jalan kami ngobrol. Rupanya putri ibu itu sudah kelas 3 SMA dan tahun ini lulus. Si ibu banyak bertanya tentang bangku perkuliahan kepadaku dan Badri.

“Anak saya ini tidak begitu suka matematika dan ilmu pasti. Sepertinya kuliah jurusan terjemah bahasa asing saja. Nilai bahasa Inggrisnya juga bagus.”

“Kalau ada biaya, sekalian kuliah di luar negeri saja, ke Eropa. Pasti bahasa Inggris anak ibu makin terasah,” sahut Badri.

“Kalaupun ada biaya, sepertinya tidak mungkin. Ibu tidak sanggup berpisah jauh. Dia ini anak paling bungsu,” jawab si ibu. “Kakak-kakaknya sudah berkeluarga semua.”

“Ma’mun dan kawan-kawannya juga datang jauh-jauh dari Indonesia. Mereka sudah empat tahun belum pulang,” Badri menunjuk aku dan Harun yang masih tidur.

Menurutku tidak ada yang aneh dari kata-kata Badri. Namun ibu seketika terperanjat. Gurat wajahnya menegang.

“Benar kamu 4 tahun belum pernah pulang?” aku mengangguk.

“Pas libur musim panas juga tidak pulang?” lagi-lagi aku mengiyakan. 

Tiba-tiba muka ibu ini seperti digelayuti awan mendung. Spontan beliau terisak. Tetes bening merayap turun dari dua matanya yang berlingkar keriput.

Beliau mungkin membayangkan rasanya berpisah dengan buah hati. Sepi, sedih tak terperi. Apalagi dalam jangka waktu selama itu. Si ibu seperti meratapi malangnya nasib perantauan sepertiku. Padahal aku bukan siapa-siapanya. Nama ibu itu saja aku tidak tahu.

“Sudahlah Mama, mereka ini walau jauh di Mesir tetap komunikasi dengan orang tua di sana. Sekarang sudah ada internet,” Badri mencoba menghibur. Di Mesir, wanita seumuran ibu-ibu biasa dipanggil Mama.

“Iya, saya hampir tiap kok hari chatting dengan keluarga di Indonesia,” aku ikut meyakinkan bahwa nasibku tidak semalang yang beliau bayangkan.

“Tapi siapa yang memperhatikan makan dan kebutuhan sehari-harinya….” si ibu tersedu sedan, mengusap air mata dengan tisu putih. Emosi ibu ini masih saja terharu biru.

Detik seperti berhenti. Aku terbayang ibu di Banjarmasin. Selama ini aku tidak begitu peduli dengan kerinduan  orang tua di rumah. Yang penting kiriman uang lancar.

Jauhnya jarak dan biaya ke tanah air sebenarnya dapat dijadikan alasan. Orang tua pun pasti mafhum. Selama ini aku hanya menelepon sebulan sekali. Kadang cuma kasih kabar seadanya lewat SMS, itupun amat jarang.

Padahal zaman modern sekarang, ada telepon berteknologi voip internet yang lumayan murah. Memang aku sering chatting dengan adik, sebab Ayah dan ibu tidak terlalu paham internet. Sebegitu egoiskah aku ini?

Sudah pasti orang tua di rumah merasa berat melepas buah hatinya. Padahal kalau dihitung-hitung, aku sudah berada di perantauan kurang lebih sebelas tahun. Syukur, sekolah tiga tahun di Amuntai aku masih sering pulang ke Banjarmasin. Bisa empat atau lima kali setahun. Apalagi ada kakek dan nenek di sana.

Lima tahun di pulau Jawa frekuensi kepulanganku agak berkurang. Cukup setahun sekali saat libur bulan puasa. Maklum, jarak ke Kalimantan lumayan jauh. Satu hari satu malam naik kapal dari Surabaya menyeberang laut Jawa yang biru.

Tiga tahun kuliah di Kairo ini mungkin paling mengenaskan. Selama itu aku belum pernah pulang. Kadang  terbetik pikiran nyeleneh bahwa orang tua dan sanak famili di sana sudah lupa dengan wajahku.

Pantas saja ketika dulu aku mengutarakan niat belajar ke Timur Tengah, berkali-kali ibu menanyakan kesungguhanku. Aku tidak menurut saran beliau agar kuliah di Jawa saja biar tidak terlalu jauh. Pun dengan harapannya agar aku tidak melanjutkan S2 di luar negeri selepas tamat di Kairo. “Sudah lama kamu terpisah dengan orang tua. Ibu sudah kangen…!” begitu pesan rutin beliau setiap kali aku menelepon di awal bulan.

Ibu di sampingku sudah bisa menguasai dirinya. Detak jantung dan hembusan nafasnya kembali stabil. Itu berarti otaknya kembali mengatur pasokan oksigen dari jantung ke paru-paru dengan baik.

Tidak terasa, obrolan terus berlanjut sampai di simpang tiga Mutsallats. Aku harus turun. Si ibu melepas kepergianku dan kawan-kawan dengan melafalkan doa-doa tanpa henti. “Rabbuna yunaggihku ya Rabb…. Semoga kuliah kalian berhasil. Cepat-cepat lulus, lalu pulang!”

“Ma’a salama… sampai jumpa Mama!” turun dari bus aku meluangkan waktu sejenak melepas dua beranak itu. Lambaian tanganku dibalas senyuman ibu dan anak gadisnya. Harun yang baru siuman belum sadar apa yang telah terjadi. Kelopak matanya memicing penuh curiga. Dia menganggapku telah berperilaku tidak wajar. Ipeng juga demikian. Memegang dagu, memikirkan kondisi kejiwaanku bak psikiater kawakan.

Persetan dengan dua makhluk ini. Barang beberapa detik aku menikmati sensasi kejadian langka dalam bus tadi. Aku mengepalkan tangan dan memejamkan mata. Bertekad dalam hati untuk belajar serius, supaya cepat menyelesaikan studi. Mereka menunggu kepulanganku di kampung halaman!

Segera aku melangkah mantap menuju flat kami sambil mengutuki diri sendiri. Mengapa aku begitu gegabah? Benar kata pepatah; sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Sebuah kecerobohan fatal. Aku lupa berkenalan dengan putri ibu itu…!

Saqr Quraish, 13 Januari 2011 (Duabelas Hari Sebelum Pecahnya Revolusi di Tahrir Square)
*Sumber ilustrasi foto: bikyamasr.com

No comments: