Jarang terjadi saya menonton film romantis di bioskop. Tapi bukan berarti saya anti 100% genre percintaan. Kalau bukan karena dapat tiket gratis, mungkin saya akan lebih memilih film laga atau komedi. Kali ini saya beruntung, mendapatkan beberapa tiket nonton gratis dari kuis yang diadakan di forum Kaskus. Maka ikutlah bersama saya, teman-teman saya yang brutal, laki-laki.
Alkisah seorang penyanyi bernama Wind mengalami sebuah prahara. Perlahan-lahan pamornya mulai turun, lagu-lagunya tak lagi jadi favorit. Penderitaannya bertambah karena manajemen tempat dia bernaung justru mengorbitkan penyanyi pendatang baru yang lebih menjanjikan.
Wind yang mulai galau, memilih menyepi ke sebuah kota kecil. Saya sebenarnya heran, kok bisa-bisanya Wind yang terhitung lelaki dewasa, karena persoalan yang agak sepele bisa bertindak kekanak-kanakan seperti itu, merajuk hingga manajernya di Bangkok pun kelabakan. Mungkin ini didasari oleh sikapnya yang agak angkuh dan egois. Dasar Wind, bikin malu kaum lelaki saja.
Di kota kecil inilah dia tanpa sengaja menemukan Mok, pianis muda berbakat. Sambil bekerja di toko penjual alat musik, perempuan cantik ini juga sukarelawati di sebuah yayasan sosial bagi anak-anak pengidap Leukimia. Dua faktor inilah yang membuatnya menjadi semakin dekat hingga sedikit demi sedikit perangai Wind menjadi lebih perasa dan lembut.
Kalau saya boleh sedikit sotoy, durasi selama 94 menit tidak cukup berhasil untuk kuat untuk membangun cerita. Kisah cinta Wind dan Mok tidak terbangun dengan baik. Tahu-tahu saja tumbuh asmara di antara keduanya. Pergulatan batin Wind menjadi pribadi yang lebih baik pun tidak didramatisir secara optimal. Sepertinya ekspresi Worawej Danuwon sebagai Wind datar-datar saja. Sesuatu yang melatar belakangi keras kepalanya Wind sempat sedikit diungkap, namun timbul tenggelam begitu saja. Serba tanggung.
Untung saja Pariyachat Limthammahesorn cukup sukses memerankan Mok. Banyak kata-kata bijaksana Mok yang membuat Wind—dan kami para penonton—tercenung. Salah satu contohnya adalah: “Lelaki macam apa yang membuat wanita menunggu…”. Mendekati akhir cerita, semakin kental saja mutiara hikmah dalam kata-kata Mok.
Yang membuat saya masih sumingrah adalah pengambilan sinematografi yang ciamik dan fresh. Pemandangan di Chiang Mai, Provinsi Mae Hong Son, Thailand sungguh memukau. Scene paling berkesan adalah saat Wind dan Mok mengunjungi perkebunan bunga matahari dan kuil Wat Pra That Doi Kong Moo. Hmm, pantas saja di depan ruang tunggu bioskop, logo Otoritas Pariwisata Kerajaan Thailand membubuhi poster film ini. Negara Gajah Putih ini memang sedang gencar-gencarnya memikat para turis. Saya kira, pemerintah kita tidak usah malu untuk mengikuti langkah ini.
Pelajaran yang ingin dibagikan sang sutradara dari film ini adalah tentang pengorbanan dan ketulusan. Seseorang yang tulus akan berbuat sepenuh hatinya meski hasil usahanya akan mengecewakan. Cinta pun tak harus diungkapkan dengan kata-kata. Sesuai judulnya—the Melody—cinta terungkap melalui lagu yang menyentuh hati. Saya yang kurang mengerti musik, tanpa sadar mengangguk-anggukkan kaki mengikuti alunan ritmis piano Wind ataupun Mok.
The Melody (Rak Tam Nong nee)
Sutradara: Tossapol Srisukontarat
Cast: Pariyachat Limthammahesorn,Worawej Danuwong
Nilai: 6,5/10
No comments:
Post a Comment