Matahari
sudah merendahkan diri ke ufuk barat. Apabila dalam hari-hari kerja, sore
segini, jalanan Jakarta hampir pasti ramai luar biasa. Maklum, orang-orang
pulang kerja ke rumah masing-masing. Anak-anak sekolah pun ada yang baru
menyelesaikan pelajarannya. Pokoknya tumplek blek. Kalau sudah hari
libur, barulah jalanan agak lenggang. Tapi di beberapa titik keramaian, kaidah
ini tidaklah berlaku. Tetap saja ramainya bikin kita mengucap Masya Allah meski
dalam kurun waktu week-end.
Angkutan
umum pun ikut dalam siklus ini. Karena memang jumlah armada kendaraan umum
sangatlah kurang jika dibandingkan total penduduk ibukota yang hampir mirip
padang mahsyar, setiap hari berjubellah umat manusia ini dalam busway, metro
mini dan angkot.
Andai
aktivis Hak Asasi Manusia PBB berkunjung ke sini, niscaya mereka akan
memberikan sanksi buat Pemerintah kita menyangkut perihal nasib penumpang angkutan
umum. Lihat saja, bus tanggung seperti Metro Mini dan Kopaja yang hanya muat
sampai dengan 20an penumpang dipaksa untuk menampung lebih dari itu.
Sampai-sampai ada yang bergelantungan di pintu, bus jadi miring ke sebelah kiri
menahan beban yang berat sebelah. Yang di ada dalam, berdiri berhimpitan tak
tentu juntrungnya, bak ikan sarden dalam kaleng—demikian ungkap salah satu kolumnis
di situs travelling Fodor’s mendeskripsikan realita transportasi di
negara-negara berkembang.
Di
tengah hiruk pikuk ini, saya juga ikut serta. Butuh waktu seperempat jam
menunggu untuk bisa naik busway ke arah Blok M dari halte Bank Indonesia. Memang
setiap lima menit armada bus datang, cuma selalu penuh. Baru pada bus ke empat
saya bisa ikut serta itu pun harus berdiri di sela-sela ketiak para pria kekar.
“Gimana
sih mas ini, kok cuma satu orang yang bisa masuk,”
Calon
penumpang yang masih tertahan di tepi pintu halte menyalak saat si petugas
merentangkan tangannya, melarangnya untuk naik
“Sabar
Pak ya, di sini sudah penuh. Itu di belakang ada lagi kok,”
Pintu
tertutup, dan bus mulai berjalan pelan. Memang si bapak berhasil digagalkan
untuk naik, tapi sepertinya hatinya masih dongkol. Mukanya terlihat masam.
“Saya
ini Mas, setiap hari saya kerja lima putaran. Klo macet kayak gini, biasanya
dari jam sebelas pagi sampai jam sepuluh malam baru kelar. Sampai ke rumah jam
sebelas malam. Masih saja saya sering dimarahi penumpang,” tanpa diminta pria
muda sekitar 27 tahunan ini curhat pada kami yang berdiri di dekat pintu.
“Padahal
itu kan buat keselamatan mereka juga,”
“Berarti
12 jam sehari mas ya, wuih pasti capek bener,” tanpa diminta, saya
menimpali.
“Yah…
sabar aja Mas, mudah-mudahan dapat pahala,” Bapak pemakai baju kotak-kotak
membesarkan hatinya.
“Makasih
pak, mudah-mudahan dapat gubernur baru, Jakarta jadi lebih baik,”
“Betul
itu, kita semua harus dukung buat kemajuan Jakarta. Kalo saya sih baru bisa
ngedukung pake baju kotak-kotak ini,” ah iya, ternyata baju kotak-kotak bapak
itubermotif persis yang sering dipakai Gubernur baru terpilih, Jokowi saat kampanye.
Warna merah, putih dan biru tua.
“Kalo
itu saya pasti dukung Pak, saya kan asli wong Solo, satu kampung sama pak
Jokowi” petugas sambil mengacungkan kedua jempolnya ke dada.
Kami
semua yang ada di sekitar pintu tergelak.
Benar
juga kata Bapak kotak-kotak itu tadi. Gubernur Jakarta—siapapun itu—tidak bisa
berbuat apa-apa tanpa dukungan semua pihak. Kalangan elit politik harus
mengenyampingkan kepentingan partainya. Masyarakat metropolis juga harus
membuang ego, tidak lagi saling serobot serta tak lagi mudah terprovokasi.
Kasihan
sekali Jokowi & Basuki Ahok, baru terpilih memimpin Provinsi DKI Jakarta dituntut
untuk menyelesaikan salah satu fenomena pelik yang menggelantungi
masyarakatnya. Isu transportasi umum—selain kemacetan dan banjir—adalah
problematika rakyat Jakarta dewasa ini yang paling tampak ke permukaan.
Namanya
juga Jakarta, sudah benar-benar kusut. Obama pun kalau mengajukan diri jadi
Gubernur bakalan geleng-geleng kepala.
Sekedar Catatan Pengusir Kantuk.
Ciputat, 2 Oktober 2012
Ciputat, 2 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment