Pohon keramat di depan Fakultas Ushuluddin |
Ujian akhir kali ini bisa dibilang penentuan, karena hasilnya menentukan lulus tidaknya kami nanti. Ujian terbagi dua, lisan dan tulis. Ujian lisan mencakup hafalan Al Qur’an dan pemahaman materi. Karena saya berada di jurusan tafsir, maka yang ditanyakan adalah tafsir dalam kitab-kitab klasik.
Saya dan beberapa teman dari Indonesia membentuk kelompok belajar. Anggotanya tidak banyak, cuma Hafiz, Dayat, Aman, Ahri, Pipin, Haji dan saya sendiri. Kami sering duduk berderet di ruang kuliah. Bahkan—maaf—jika udara panas dan suara pak dosen kurang terdengar, kami kerap terserang kantuk dan tertidur bersama. Tertelungkup di atas meja. Setelah kelas bubar, kami bersama mengerubungi Amin, mahasiswa Bangladesh yang biasa duduk paling depan. Menanyakan bab apa sajakah yang penting dan dijelaskan dosen tadi.Malamnya, kami berkumpul di rumah saya untuk mendiskusikan pelajaran yang tertinggal. Kisruh politik Mesir awal tahun silam, membuat studi kami agak terlambat. Apalagi kami masih harus melakukan perbaikan nilai untuk beberapa pelajaran tahun lalu.
Diskusi ini kadang diselingi siaran langsung sepakbola atau turnamen tenis Rolland Garros. Jika ada berita stasiun Al Jazeera yang meliput negara-negara Timur-Tengah atau Eropa, belajar terhenti sejenak. Kami saling berandai-andai bisa pelesiran ke negeri tersebut. Dengan pengetahuan yang terbatas dan kesotoyan tingkat tinggi, kami beradu argumen dan merasa paling tahu. Sampai akhirnya kami membuat satu kesepakatan; sama-sama ingin mengunjungi Turki. Caranya kami masih belum tahu.
Ujian tulis berlangsung kurang-lebih selama sebulan. Kami sering datang pagi-pagi dan duduk di bawah pohon di depan fakultas Ushuluddin. Selain untuk berdiskusi dan uji pemahaman, kami berkumpul dengan alasan lain yang sedikit berbau mistis. Ya, kami mencoba menerawang soal-soal yang akan keluar nanti. Sebab dari sekian ratus halaman diktat, pertanyaan yang akan keluar pasti cuma tiga atau empat soal saja. Kebetulan kami dianugerahi kepandaian yang sedang-sedang saja. Jadi tidak semua yang dibaca dapat kami pahami dan hafal.
Sebenarnya dalam ritual tebak-menebak ini tidak ada unsur supranatural. 50% adalah untung-untungan. Sisanya kami hanya menerapkan praktek statistik sederhana. Kami menganalisis bagian-bagian mana yang dirasa penting dan inti dari mata pelajaran tersebut. Selain itu, kami juga membandingkan soal-soal yang pernah keluar beberapa tahun kebelakang. Walau terkadang diktat yang dipakai tidak sama, paling tidak ada beberapa poin yang serupa. Kami juga sedikit bereksperimen bertanya kepada diri sendiri; “seandainya anda yang menjadi dosen, pertanyaan model apa yang akan anda bikin untuk para mahasiswa?”. Tidak selalu apa yang kami gadang-gadang berhasil. Namun Alhamdulillah, setiap mata pelajaran, selalu ada tebakan kami yang manjur. Jackpot! Ehna Mahzhuzin!
“Kita ini kayak Sidharta Gautama aja…“ celutuk Hafiz sambil membolak-balik buku Manahij Mufassirin. Kami tergelak. Menurut legenda, Sidharta Gautama konon mendapat wahyu untuk menyebarkan agama Buddha di bawah pohon bodhi. Pohon keramat juga terdapat di Mesir. Tepatnya di distrik Matariya, ada potongan pohon yang dipercaya umat Kristen Koptik menjadi tempat berteduh Maryam dan Nabi Isa yang masih bayi. Mereka harus hijrah ke Mesir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Raja Herodus yang lalim di Palestina.
“Kalau menurutku sih, oksigen hasil fotosintesis yang bikin kita mudah memahami pelajaran,” dengan gaya sok tahu, saya ikut menimpali. Seperti yang saya pelajari di SMP dulu, wilayah di sekitar pohon kaya akan oksigen. Ini dikarenakan proses fotosintesis yang sedang berlangsung dalam daun. Melalui fotosintesis, karbon dioksida atau zat asam arang diubah menjadi oksigen lewat zat hijau daun.
Oksigen segar inilah yang masuk lewat paru-paru dan dibawa darah menuju seluruh tubuh, termasuk otak. Kalau tidak salah, salah satu fungsi darah adalah membawa oksigen yang mengikat nutrisi agar organ tubuh berfungsi dengan semestinya. Nah, kalau kerja otak optimal, manusia akan mengeluarkan kemampuan pikirnya lebih maksimal. Teori ini saya simpulkan setelah menonton film ‘Limitless’. Film yang dibintangi Bradley Cooper dan Aby Cornish ini menceritakan tentang pil ajaib yang membuat orang bisa menggunakan 100 persen potensi otaknya. Menurut penelitian para pakar, manusia baru menggunakan kurang dari 20 persen kemampuan otaknya. Kalau ada obat seperti itu, tidak perlu lagi kami berkumpul di bawab pohon menunggu wahyu, ilham, wangsit atau semacam bisikan dari langit.
Nishfu Sya’ban, 17 Juli 2011. Tak sabar menunggu Ramadhan turun.
No comments:
Post a Comment