Matahari menyalak di atas horison. Sengatannya terasa menggigit kulit. Angin berhembus sepoi-sepoi, meniupkan hawa panas yang mengundang keringat. Peluh bercucuran di dahi. Bulir-bulirnya berlomba turun dari pelipis. Tidak mudah bertahan hidup di bawah suhu 38 derajat celcius seperti ini. Apalagi bagi saya, lelaki biasa dari kepualauan tropis yang lembab di Asia bagian tenggara sana.
“Ya Rayyis… Negeri saya di Indonesia sana, tidak sepanas ini. Sungguh tidak bisa membayangkan harus menjalani puasa dalam suhu panas seperti ini,” ujar saya setengah mengeluh kepada sopir taksi yang membawa saya ke distrik Sayeda Zaynab.
“Ziyadah el masyaqqah tugibu mazida tsawab. Semakin besar kesulitan yang kita hadapi dalam melakukan ibadah, pahalanya pun akan makin besar pula,” kata pria bernama Magdi itu sambil menggedor klakson. Taksi ini pelan-pelan merayap di tengah macet yang menggila.
Saya tersadar sudah melontarkan sebuah pernyataan konyol dengan keluhan tadi. Sungguh Allah Maha Adil. Ditambah lagi, tiga Ramadhan sebelumnya saya lalui dalam musim panas seperti ini. Persis. Sampai sekarang saya masih sehat wal afiat. Tidak ada yang perlu dikeluhkan sebenarnya. Saya masih lebih beruntung dibanding saudara-saudara muslim di belahan bumi lainnya.
Ada teman saya yang sedang menempuh studi di Khartoum, Sudan. Katanya siang hari bisa mencapai suhu di atas 40 derajat. Dia berkelakar bahwa negara di selatan Mesir ini hanya punya dua musim; musim panas dan musim panas sekali. Tentu puasa di sana lebih berat. Orang-orang di Palestina juga pasti mengalami bulan Ramadhan yang tak nyaman di bawah ancaman militer Israel yang tak bernurani. Begitu pula umat Islam yang jadi minoritas di negara-negara Eropa.
Alhamdulillah, masyarakat Mesir selalu menyambut bulan puasa dengan gempita. Lihat saja, jalan di depan apartemen kami penuh hiasan kertas warna warni bergelantungan. Pemilik toko furnitur di seberang jalan yang biasanya berpakaian necis pun berganti penampilan dengan gamis panjang warna putih. Buka puasa gratis bertebaran di mana-mana. Bukan hanya di masjid-masjid, di pinggir jalan banyak tenda-tenda darurat untuk menjamu orang yang puasa.
Toko-toko penjual sembako tampak lebih ramai dari biasanya. Gerombolan pembeli berjubel di antara aneka kebutuhan pokok sehari-hari. Beberapa ibu-ibu terlihat memborong kacang ful kalengan, makaroni, sosis, kurma atau aprikot kering.
Yang paling mencolok adalah fanus, lampu hias yang menjadi simbol Ramadhan. Konon tradisi fanus berawal sejak abad ke 10 masehi ketika khalifah Al Muiz li Dinillah dari dinasti Fatimiyah memasuki Mesir saat bulan puasa. Warga ketika itu menyambut kedatangannya dengan membawa lampu-lampu.
“Saya sendiri punya fanus besar yang pakai bohlam listrik, saya gantung di balkon rumah setiap Ramadhan tiba,” kata Magdi ketika taksi kami lewat penjual fanus di pinggir jalan. Beberapa model fanus masih menggunakan cahaya lilin atau lampu minyak.
Sejak beberapa tahun terakhir, Mesir mendapat agresi fanus bikinan Cina. Kebanyakan fanus made in negeri tirai bambu ini berukuran tidak terlalu besar. Bahkan ada yang terbuat dari plastik dan memakai baterai, bodinya pun bercorak tokoh-tokoh kartun. Pangsa pasarnya tentu untuk anak-anak.
Tak perlulah fanus impor dari Cina itu saya perdebatkan di sini. Selama empat kali menemui bulan puasa di Cairo, saya malah belum pernah beli lampu fanus.
31 Juli 2011. Sehari menjelang tibanya Ramadhan. Taqabalallahu minna wa minkum.
No comments:
Post a Comment