“Gooooooooooooooool! Del Real Madrid! Gol gol gol goooooooooooooool del real Madrid! Golazo, golazo, golazo, golaaaaaaaaaaaaaaazo de Cristiano Ronaldooooooooooo!
Marcelo combina con Di María, Fideo la pone al segundo poste y Cristiano Ronaldo marca su primer gol en una final, menuda ocasión para empezar!
Deliiiiiiiiiiiiiiirio blancooooooooooo! Contra muchos pronósticos, el Madrid es nuevo campeón de la Copa del Reeeeeeeeeeeeeey!”
Bukan pagi itu saja saya menemukannya dengan ritual khusus itu. Hampir selalu seperti itu, setiap saya berkunjung ke flat sederhana dimana dia dan tujuh kawannya bermukim. Iman mengaku sedang mendalami bahasa Spanyol. “Ini rekaman komentator sepakbola Real Madrid lawan Barcelona kemarin”, ujarnya.
Keterbatasan dana tidak membuat Iman ciut, berbagai cara ditempuhnya termasuk belajar online lewat situs berita BBC. Jawatan berita asal Inggris tersebut memang menyediakan fasilitas belajar bahasa asing gratis di internet. Cara ini jauh lebih terjangkau dibanding kursus di Spanish Culture Center. Satu levelnya saja bisa ratusan Pound.
Saya bisa memaklumi antusiasme Iman belajar bahasa. Sebab bagi sebagian besar mahasiswa asal negara berkembang seperti Indonesia, belajar di luar negeri merupakan sebuah kemewahan. Meski kalau dihitung-hitung, biaya hidup di Mesir tidak seberat studi di Indonesia. Untuk kuliah relatif murah karena ada subsidi pemerintah. Tidak sulit juga untuk mendapat beasiswa dari beberapa instansi setempat, yang penting prestasi dan nilai akumulatif lumayan bagus.
Karena hidup dalam sebuah kemewahan, setiap detik terasa begitu berharga. Oleh karenanya terpikir bagaimana cara mendapat ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya, termasuk belajar bahasa tadi. Apalagi keahlian berbahasa amat dibutuhkan dalam era modern sekarang. With languages is in your tongue, the world is in your grasp.
Posisi Kairo yang terapit tiga benua juga mendukung euforia ini. Posisinya yang strategis dan sejarahnya yang bersinggungan dengan banyak bangsa juga ikut berandil. Juga status Mesir sebagai salah satu pusat belajar bagi umat Islam mengundang kedatangan para pemuda dari penjuru dunia.
Saya beruntung berada di sini. Lebih beruntung lagi, teman-teman sebangsa di sekeliling saya memiliki hasrat belajar yang hebat. Belajar bahasa bagi mereka seperti berlomba mengeruk harta karun yang berserakan di depan mata.
Ada beberapa yang ikut kursus bahasa Turki di Agouza. Dengan alasan selain biayanya murah, kebanyakan pengajar adalah perempuan-perempuan muda Turki. Sekalian cuci mata katanya.
Belajar non formal dengan mahasiswa dari negara lain bisa jadi solusi hemat. Seperti Bukhari yang belajar bahasa Prancis dari temannya asal Kamerun di Asrama Al-Azhar. Negara di Afrika Barat ini memang menggunakan Prancis sebagai bahasa resmi nasional. Saking bhinnekanya asrama ini, pernah saya mendapati mahasiswa Nigeria yang fasih bahasa Indonesia. Uniknya lagi ternyata Indomie, panganan instan asal Indonesia laku keras di Nigeria.
Kalau saya sendiri, sebenarnya ingin belajar bahasa milik bangsa-bangsa yang selama ini jarang dipelajari. Sebuah kebanggaan tersendiri kalau bisa menguasai bahasa Belarus, Nikaragua, Makedonia atau Fiji. Tapi saya tak tahu harus kemana.
Saqr Quraisy, 18 Mei 2011. Kala ujian semester makin dekat.
Tulisan serupa juga terdapat di laman Kompasiana saya
No comments:
Post a Comment