Matahari tergelincir ke arah barat. Bulir-bulir peluh tumbuh di ubu-ubun dan dahiku. Dua-tiga tetes merayap turun di pelipis. Begitu mudah cuaca berubah drastis di Banjarmasin. Siang seperti ini panas membara, lalu bisa-bisa menjelang sore turun hujan deras. Kata orang dalam angkot tadi, sudah hampir dua tahun iklim tidak stabil seperti ini. Keadaan ekstrim ini katanya juga melanda seluruh kepulauan Indonesia yang luas. Para petani banyak gagal panen, pasalnya tanaman padi yang sudah menguning terendam banjir. Akibat pemanasan global kah?
Sambil melayani pergumulan di benakku tadi, aku bergegas menuju terminal angkot di kawasan Pasar Sentra Antasari. Sebenarnya keputusanku ini kurang bijaksana, karena angkot yang ngetem di terminal biasanya menunggu penumpang cukup penuh dulu sebelum jalan. Namun aku tidak punya cukup tenaga lagi untuk berjalan 300 meter menuju lampu merah. Di sini biasanya tinggal mencegat angkot yang sudah berisi penumpang dan siap tancap.
Rupanya di dalam angkot berkelir kuning-putih ini baru ada satu penumpang. Seorang kakek bersongkok beludru hitam di atas rambutnya yang sudah putih. Mumpung bangku di samping sopir sedang kosong, aku memilih duduk di depan saja. Biar nanti gampang kalau mau turun.
“Di Jalan Pramuka, Kek. Pian pang turun di mana?” Aku memutar pinggang 120 derajat ke arah beliau.
“Jalan Ahmad Yani, dekat Pasar Pandu. Hei Nak, zaman dulu itu gak sesusah sekarang nyari pekerjaan.”
Tiba-tiba sekali kakek ini merubah tema pembicaraan. Aku diam saja, tidak tau harus bersikap apa.
“Dulu itu, tahun 60an saya memasukkan lamaran ke 20 tempat, perusahaan atau jawatan pemerintah. Semuanya diterima! Saya sempat bingung mau memilih yang mana; Guru SMP, Karyawan Pemda, Dinas Perpajakan, atau perusahaan asing,” matanya membelalak ke arahku sambil menunjuk mukanya. “Padahal saya hanya lulusan SGB.”
“SGB?”
“Sekolah Guru Bantu. Mungkin sekarang setara dengan SMA”
Hari tetap terik. Sopir kami tak kunjung datang, padahal angkot jurusan lain sudah mulai bergerak walau hanya berpenumpang 3-4 orang. Ekor mataku melirik para tukang ojek di sekitar terminal. Mereka sedang nongkrong sambil mengibas-ngibas potongan koran mengusir hawa panas. Hanya kami berdua berada dalam angkot.
“Mungkin dulu orang sekolah masih sedikit, sedang yang butuh pegawai banyak,” Aku mencoba mencari sebab-musabab.
“Iya juga pang. Wayah damini, sekarang ini, sarjana sudah berhamburan di mana-mana. Sampai-sampai banyak yang jadi pengangguran. Yang bikin saya sedih Nak, sekarang semuanya udah pakai duit. Ijazah saja bisa dibeli. Parahnya, susah lulus tes pegawai kalau tidak punya ini,” katanya sambil menggesek jempolnya dengan telunjuk dan menekuk tiga jari lainnya. Gerakan isyarat minta uang.
“Korupsi sudah merajalela. Kamu masih ingat dengan Edi Tansil?”
Belum sempat aku menjawab, si Kakek langsung menyambar. “Saat itu gak mungkin dia bisa lolos dari penjara ketat kalau tidak ada kongkalikong. Sekarang dia mungkin sudah tinggal di luar negeri. Jangan-jangan malah operasi ubah wajah biar gak dikenali. Bayangkan, dana milyaran rupiah milik negara lenyap begitu saja. Sekarang muncul lagi Gayus Tambunan. Kamu bisa bayangin gak? Pegawai biasa kayak dia bisa menggelapkan uang sedemikian banyak, apalagi pejabatnya.”
Kalau tidak salah, Edi Tansil adalah buronan pemerintah tahun 90an. Beritanya memenuhi siaran berita TVRI kala itu. Akal kanak-kanakku saat itu belum sampai untuk memikirkan hal semacam ini.
“Bisa dibilang saya ini saksi sejarah. Saya sudah melihat Indonesia dari zaman kemerdekaan sampai sekarang.”
“Emang umur kakek sekarang berapa?”
“Sekarang masuk 75 tahun. Sudah 15 tahun saya pensiun. Saya pernah bertugas di berbagai tempat. Terakhir jadi karyawan tata usaha di salah satu perguruan tinggi di Banjarmasin.
Sudah kepala tujuh tapi kakek ini masih tegap. Sinar matanya memijarkan semangat hidup yang berkibar-kibar. Bisa jadi beliau rutin menenggak ramuan khusus warisan leluhur untuk menjaga vitalitas.
“Pegawai negeri zaman dulu nasibnya tidak seberuntung sekarang. Kesejahteraan tidak senyaman saat ini. Gaji kami kecil, kadang harus makan beras jatah bulanan yang bau apek. Tapi, alhamdulillah dengan gaji 4500 rupiah per bulan saya dan keluarga bisa hidup sederhana. Ketika itu harga barang-barang masih murah sekali. Logam satu rupiah amat berharga sekali. Sekarang seratus rupiah cuma dapat sebutir gula-gula.
Saya maklum kenapa presiden SBY tidak jadi perang dengan Malaysia tempo hari karena ada 3 juta tenaga kerja kita di sana. Mereka harus mencari nafkah di negeri tetangga karena lapangan pekerjaan makin sulit di negara ini. Padahal dengan pulau yang begitu banyak dan luas, seharusnya semua warga negara dapat hidup yang layak. Kalau masih ada program transmigrasi seperti dulu, tiga juta orang itu bisa diberdayakan di pulau lain yang jarang berpenghuni. Yang ada sekarang malah berduyun-duyun datang ke kota-kota di pulau Jawa,” panjang lebar kakek bertutur, bagai seorang pakar kependudukan.
Akhirnya sopir yang ditunggu-tunggu datang. Angkot belum penuh, tapi sudah ada beberapa penumpang lain. Maka perlahan-lahan mobil Suzuki Carry ini beringsut. Awan kelabu berarak menutup sinar matahari. Ditambah sepoi angin yang lolos dari jendela, membuat hawa tidak segerah tadi. Aneka rupa kendaraan bersliweran di jalan. Ada yang pulang kerja sampai anak sekolah.
Sampai di daerah Pandu, kakek tadi turun. “Nanti kalau ketemu di jalan, jangan sungkan menyapa. Saya kadang suka lupa wajah orang,” ujar kakek yang rupanya bernama Tolib itu sambil membayar ongkos ke sopir.
“O, iya... apa rahasia Kakek bisa sehat dan gagah sampai setua ini?” rasa penasaranku makin menjadi-jadi.
Ia diam beberapa detik sebelum menjawab dengan mantap. “Banyakin senyum aja!”
Hujan rintik luruh satu persatu. Angkot kami pun beranjak meninggalkan Kakek Tolib di pinggir jalan.
Sungai Lulut, 8 Maret 2011
Sumber foto: detik.com
No comments:
Post a Comment