Wael Ghanim |
Mari kita berkenalan dulu dengan pria yang satu ini:
Nama: Wael Ghanim. Usia: Baru 30 tahun. Kewarganegaraan: Mesir tulen. Pekerjaan: Manajer Pemasaran Timur Tengah Google Inc. di Dubai. Status: Sudah beristri 1, punya anak 2
Berawal dari internet, Wael Ghanim menyulut api revolusi Mesir yang membara. Dialah orang yang membentuk grup “We are All Khaled Saed” di jejaring sosial Facebook. Grup ini pada mulanya didedikasikan untuk Khaled Saed, pemuda berusia 28 tahun yang tewas akibat kekerasan polisi Mesir. Masyarakat menemukan jasad Khaled bonyok tak bernyawa di jalanan kota Alexandria.
Grup ini terus berkembang dengan anggota yang makin banyak. Demonstrasi besar-besaran tanggal 25 Januari 2011 lalu di Tahrir Square disinyalir salah satunya berawal dari grup ini. Maka tak heran, pemerintah sempat memblok akses internet dan komunikasi seluler selama beberapa hari untuk mencegah mobilisasi massa lewat situs Facebook dan Twitter. Aparat pun menciduk Ghanim.
Usaha tak berguna. Demonstrasi makin panas dan beracun. Puncaknya, rezim presiden Mubarak runtuh tanggal 11 Februari 2011. Kursi empuk berumur 3 dekade itu pun harus digotong keluar istana negara.
Orang-orang, televisi dan koran mengelu-elukan Ghanim. “Saya bukan pahlawan,” katanya. “Selama 12 hari ini saya hanya tidur di penjara. Mereka yang turun ke jalan itu, pahlawan sesungguhnya.” Boleh saja Ghanim merendah, namun dunia sudah mengakui anak muda ini sebagai salah satu pelopor reformasi di negeri Piramida.
Alih-alih berleha dengan gelimang dolar di Google—perusahaan internet asal Amerika—, Ghanim malah asyik mendukung gerakan rakyat. Sebuah tindakan beresiko tinggi, sebab keamanan Mesir tidak segan memberangus setiap gerakan mencurigakan. Apalagi penentang pemerintahan.
Itulah anak muda. Mereka memiliki energi melimpah untuk memelintir jagat raya dan mewujudkan mimpi yang mustahil. “Beri aku 1000 orang tua, akan kucabut gunung Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda saja, akan kuguncangkan dunia!” Demikian perkataan Bung Karno yang tersohor.
Setiap ziarah ke makam Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari, diri saya terasa ciut. Di depan pusara beliau di Kelampaian, 50 km dari Banjarmasin itu saya selalu takjub. Track record hidup beliau sejak lahir tahun 1710 sampai wafat pada 1812 membuat saya bukan siapa-siapa. Bayangkan, sejak muda—baru 30 tahun—beliau sudah menuntut ilmu nun jauh di sana, ke Mekkah selama 35 tahun! Istri yang baru dinikahi pun harus melepas kepergian beliau dengan tabah, meski berderai air mata.
Perjalanan yang berat. Tidak heran, karena zaman dulu Timur Tengah adalah belahan bumi yang amat jauh. Syeikh Arsyad harus menempuh jarak ribuan kilometer tersebut dengan kapal laut, berbulan-bulan lamanya. Mungkin mirip dengan kapal layar di uang kertas 100 rupiah berwarna merah itu. Kini, dengan teknologi pesawat terbang, jazirah Arab bisa didatangi dalam hitungan jam.
Betapa belajar harus mengorbankan masa muda. Namun itu bukan pengorbanan yang sia-sia. Syeikh Arsyad dengan keluasan ilmu dan ma’rifahnya diangkat menjadi mufti Kerajaan Banjar. Beliau tidak hanya berdakwah dan menyebarkan agama Islam, tapi juga membina masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu karyanya yang monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin tentang fikih, hukum-peribadatan dalam Islam. Menurut para pakar, kitab ini bahkan masih layak dianggap sebagai pedoman fikih masa kini, meski ditulis pada abad ke 18 lampau.
Tak habis-habis cerita ini jika menyebut kehebatan pemuda dengan masa mudanya. Tak terhitung pula para tokoh dengan masa muda yang luar biasa. Tak usahlah saya ceritakan di sini. Saya masih sibuk dengan PR besar: bagaimana menjadikan masa muda ini tidak sia-sia. Sungguh, zaman keemasan itu tidak panjang. Hanya beberapa jengkal saja dari gerbang masa tua.
Jalan Pramuka, 21 Maret 2011
Terima kasih untuk Pak Dokter yang telah mengantar saya ke Kelampayan.
Nama: Wael Ghanim. Usia: Baru 30 tahun. Kewarganegaraan: Mesir tulen. Pekerjaan: Manajer Pemasaran Timur Tengah Google Inc. di Dubai. Status: Sudah beristri 1, punya anak 2
Berawal dari internet, Wael Ghanim menyulut api revolusi Mesir yang membara. Dialah orang yang membentuk grup “We are All Khaled Saed” di jejaring sosial Facebook. Grup ini pada mulanya didedikasikan untuk Khaled Saed, pemuda berusia 28 tahun yang tewas akibat kekerasan polisi Mesir. Masyarakat menemukan jasad Khaled bonyok tak bernyawa di jalanan kota Alexandria.
Grup ini terus berkembang dengan anggota yang makin banyak. Demonstrasi besar-besaran tanggal 25 Januari 2011 lalu di Tahrir Square disinyalir salah satunya berawal dari grup ini. Maka tak heran, pemerintah sempat memblok akses internet dan komunikasi seluler selama beberapa hari untuk mencegah mobilisasi massa lewat situs Facebook dan Twitter. Aparat pun menciduk Ghanim.
Usaha tak berguna. Demonstrasi makin panas dan beracun. Puncaknya, rezim presiden Mubarak runtuh tanggal 11 Februari 2011. Kursi empuk berumur 3 dekade itu pun harus digotong keluar istana negara.
Orang-orang, televisi dan koran mengelu-elukan Ghanim. “Saya bukan pahlawan,” katanya. “Selama 12 hari ini saya hanya tidur di penjara. Mereka yang turun ke jalan itu, pahlawan sesungguhnya.” Boleh saja Ghanim merendah, namun dunia sudah mengakui anak muda ini sebagai salah satu pelopor reformasi di negeri Piramida.
Alih-alih berleha dengan gelimang dolar di Google—perusahaan internet asal Amerika—, Ghanim malah asyik mendukung gerakan rakyat. Sebuah tindakan beresiko tinggi, sebab keamanan Mesir tidak segan memberangus setiap gerakan mencurigakan. Apalagi penentang pemerintahan.
Itulah anak muda. Mereka memiliki energi melimpah untuk memelintir jagat raya dan mewujudkan mimpi yang mustahil. “Beri aku 1000 orang tua, akan kucabut gunung Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda saja, akan kuguncangkan dunia!” Demikian perkataan Bung Karno yang tersohor.
Setiap ziarah ke makam Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari, diri saya terasa ciut. Di depan pusara beliau di Kelampaian, 50 km dari Banjarmasin itu saya selalu takjub. Track record hidup beliau sejak lahir tahun 1710 sampai wafat pada 1812 membuat saya bukan siapa-siapa. Bayangkan, sejak muda—baru 30 tahun—beliau sudah menuntut ilmu nun jauh di sana, ke Mekkah selama 35 tahun! Istri yang baru dinikahi pun harus melepas kepergian beliau dengan tabah, meski berderai air mata.
Perjalanan yang berat. Tidak heran, karena zaman dulu Timur Tengah adalah belahan bumi yang amat jauh. Syeikh Arsyad harus menempuh jarak ribuan kilometer tersebut dengan kapal laut, berbulan-bulan lamanya. Mungkin mirip dengan kapal layar di uang kertas 100 rupiah berwarna merah itu. Kini, dengan teknologi pesawat terbang, jazirah Arab bisa didatangi dalam hitungan jam.
Betapa belajar harus mengorbankan masa muda. Namun itu bukan pengorbanan yang sia-sia. Syeikh Arsyad dengan keluasan ilmu dan ma’rifahnya diangkat menjadi mufti Kerajaan Banjar. Beliau tidak hanya berdakwah dan menyebarkan agama Islam, tapi juga membina masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu karyanya yang monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin tentang fikih, hukum-peribadatan dalam Islam. Menurut para pakar, kitab ini bahkan masih layak dianggap sebagai pedoman fikih masa kini, meski ditulis pada abad ke 18 lampau.
Tak habis-habis cerita ini jika menyebut kehebatan pemuda dengan masa mudanya. Tak terhitung pula para tokoh dengan masa muda yang luar biasa. Tak usahlah saya ceritakan di sini. Saya masih sibuk dengan PR besar: bagaimana menjadikan masa muda ini tidak sia-sia. Sungguh, zaman keemasan itu tidak panjang. Hanya beberapa jengkal saja dari gerbang masa tua.
Jalan Pramuka, 21 Maret 2011
Terima kasih untuk Pak Dokter yang telah mengantar saya ke Kelampayan.
No comments:
Post a Comment