Ba’da Magrib, 4 Februari 2011
Sudah 11 hari, terhitung sejak 25 Januari lalu demonstrasi besar-besaran meledak di seluruh penjuru Mesir. Tahrir Square di Kairo sebagai pusat konsentrasi massa dipenuhi lautan manusia. Tidak kalah dengan keadaan padang Arafah saat pelaksanaan ibadah haji. Penuh, sesak dan yang pasti bau keringat. Maklum, musim dingin seperti ini pasti orang-orang ogah mandi.
Sudah 11 hari, terhitung sejak 25 Januari lalu demonstrasi besar-besaran meledak di seluruh penjuru Mesir. Tahrir Square di Kairo sebagai pusat konsentrasi massa dipenuhi lautan manusia. Tidak kalah dengan keadaan padang Arafah saat pelaksanaan ibadah haji. Penuh, sesak dan yang pasti bau keringat. Maklum, musim dingin seperti ini pasti orang-orang ogah mandi.
Pada hari kedua yang lalu saya berkesempatan menyaksikan secara langsung unjuk rasa di kawasan Tahrir. Bukan berarti saya mencari gara-gara, sebab bisa-bisa saya jadi korban salah tangkap. Masih untung kalau dideportasi ke Indonesia. Kebanyakan aktivis pergerakan di sini hilang tanpa kabar. Keberanian saya lebih dikarenakan rasa penasaran, sekaligus ingin jadi saksi sejarah. Mungkin ini yang disebut Bang Haji Rhoma Irama sebagai ‘masa muda, masa yang berapi-api’.
Kebetulan juga saya ada urusan di Ramsis dan Attaba, jadi sekalian menengok kegaduhan di distrik Downtown. Meski begitu, saya masih menjaga jarak dengan kerumunan massa yang dikelilingi polisi anti huru-hara. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Di samping saya terdapat beberapa warga Mesir dan turis asing yang mengabadikan momen ini dengan kamera digital.
Tidak sampai setengah jam, tiba-tiba muncul arus massa dari arah Jalan Tala’at Harb. Gerombolan ini mengajak setiap orang yang ada di pinggir jalan untuk ikut berdemo. Dari pada terjadi macam-macam, lebih baik saya pulang saja. Apalagi masa berlaku visa saya sudah habis. Sebenarnya mengenai visa, sudah diproses ke kantor imigrasi, namun pada hari proses terakhir imigrasi ditutup karena unjuk rasa ini.
Alhamdulillah, kami seflat adalah sedikit diantara mahasiswa Indonesia di Kairo yang dikaruniai fasilitas televisi. Melalui layar kaca selebar 18 inchi ini kami memantau perkembangan terakhir Kairo. Selama 24 jam berbagai channel trus menyorot keadaan termutakhir di Tahrir. Kesyukuran semakin bertambah saat internet dan telepon dimatikan beberapa hari. Kami dan televisi menjadi teman akrab. Padahal sebelumnya piranti dengan warna yang sudah memudar ini hanya untuk menonton siaran langsung sepakbola saja.
Namun benda ini sempat pula membuat kami mengalami tekanan jiwa. Bayangkan saja, saat-saat kekacauan itu langsung diantar ke hadapan kami. Wawancara Al Jazeera dengan tokoh oposisi, diskusi channel Al Arabiya yang tak kunjung henti, berita kontroversial stasiun nasional Mesir, pembakaran kantor pusat partai pemerintah al Hizb al Wathany dan adegan-adegan yang membikin hati tak karuan. Bahkan stasiun musik Mazzika yang biasanya memutar lagu pop Timur Tengah, malah menyuguhi pemirsa dengan lagu-lagu nasionalis. Edan!
Di antara kami serumah mungkin Jali yang paling antusias menonton berita. Semenjak matahari terbit, dengan segelas teh ia sudah nongkrong di hadapan Nouran Sallam, penyiar BBC itu. Jali sudah berada dalam ektase, mirip para sufi pada peringatan Maulid Nabi. Sampai-sampai kami harus memaksa dia untuk menyantap makan malam.Kami juga harus meladeni diskusi dan analisa-analisa politisnya. Klimaks dari itu semua, suatu kali ia meracau aneh, “Kekacauan di Mesir ini tidak lain adalah ulah Dajjal. Lihat itu… logo mata di tengah para demonstran!”
Malang nian nasibmu kawan.
Untung saja pemerintah RI memutuskan untuk mengevakuasi WNI di Mesir. Beban dan kekhawatiran kami bisa sedikit menguap. “Keadaan sementara ini memang aman tapi tak nyaman”, kata salah seorang senior. Keadaan negara ini belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Kawan-kawan dari Jakarta mengungkit lagi tragedi 98 yang mencekam. Kasihan teman-teman yang sudah menipis keuangannya. Karena harga barang naik dan sulit untuk mengambil uang.
Lumayan, pulang gratis ke tanah air dan bertemu keluarga lagi setelah sekian tahun. Walau sebenarnya saya bimbang dengan seabrek cemas; Bagaimana kelanjutan kuliah? Apakah bisa kembali ke sini? Bagaimana barang-barang yang ditinggal? Ditambah lagi saya belum sempat foto dengan latar belakang unjuk rasa di Tahrir. Tidak ada kenang-kenangan.
2 comments:
Terimaksih sudah berbagi cerita. Semoga segalanya akan kembali seperti sedia kala :-D
Salam mas, semoga Mas Yulian selalu dalam kondisi baik-baik selalu dalam mengejar cita-cita!
Post a Comment