Tulisan ini terlambat diposting hampir dua tiga minggu dari waktu penulisan. Sebenarnya saya sudah menulisnya malam final leg kedua.
Pasca kekalahan 0-3 final pertama saya sudah punya firasat; Indonesia gagal juara. Bagaimana tidak, Merah Putih harus menang dengan selisih empat gol. Tahu sendirilah, Malaysia diramal akan bermain bertahan, mengamankan keunggulan agregat. Terlebih lagi, para pemain Malaysia bermain baik, lebih disiplin dari duet Hamka dan Maman yang sering salah sendiri.
Terlepas dari insiden ‘laser’ di Kuala Lumpur, Indonesia memang bermain buruk. Jikalau tidak ada kejadian yang memaksa wasit menghentikan laga tersebut, saya yakin kita tetap kalah. Mental timnas mendadak jatuh setelah blunder fatal Maman yang berujung gol.
Saya takut hal ini terulang. Lebih parah lagi di kandang sendiri. Namun saya berusaha menguatkan diri sendiri. "Tidak ada yang mustahil. Dulu Deportivo La Coruna pernah memukul balik AC Milan dalam laga Champions Eropa. Milan yang sudah di atas angin dengan kemenangan 4-1 dibabat empat gol tanpa balas. Akhirnya La Coruna melenggang ke semifinal," batin saya.
Sejarah yang lebih fenomenal pernah diukir Kurniawan Dwi Yulianto dkk dalam perhelatan Piala Tiger 2004. Lawannya sama, Malaysia. Negeri jiran itu unggul 2-1 di Stadion GBK. Giliran di Bukit Jalil, Merah-Putih mencabik-cabik tuan 4-1. Sebuah kisah heroik. Sayang Indonesia takluk di partai puncak di tangan Singapura.
Rabu sore waktu Kairo, amat menegangkan. Flat kediaman Bang Rizky di Saqr Quraisy jadi tempat nonton bareng dadakan. Pasalnya, warnet yang mensuplai koneksi Internet ke flat kami mengalami problem beberapa hari terakhir. Setibanya di sana, suasana sudah riuh. Padahal hanya ada Bang Rizky dan kawan-kawan seflat saja. Melalui stereaming Internet yang sering sendat-sendat, kami dibuat gregetan. Serangan Indonesia bertubi-tubi dari berbagai arah, tapi tetap saja buntu oleh tembok pertahanan Malaysia. Tim Garuda malah harus menelan pil pahit. Bek Maman salah oper bola dan bisa dimanfaatkan Safee Sali untuk membungkam pendukung setia Garuda.
"Maman lagi… Maman lagi….," keluh Doni sambil mengacak-acak rambut. "Kalo kaya ginigua kaga mau nonton lagi dah…." Ujarnya sambil menunjuk-nunjuk monitor, seakan-akan mengancam Maman Abdurrahman. Dua blunder dalam dua pertandingan memang dosa tak terampuni."Mane si Ridwan mainnya kacau gitu," tampak jelas anak Jakarta ini sedang depresi berat. caranya,
"Sudahlah Don, di saat sulit seperti ini kita jangan saling menyalahkan. Justru mereka butuh dukungan kita. Jelas timnas sedang dalam tekanan," sambil menghisap rokok Cleopatra dalam-dalam, Bang Rizky mencoba bijak.
Mendengar untaian hikmah kakak senior asal Padang itu saya jadi sedikit optimis, walau tetap galau. Kegelisahana terlihat jelas dari tingkah laku kami. Mulut Bang Rizky makin mengepulkan asap. Doni makin mengharu-haru rambutnya. Coy memilih masak di dapur sebagai pelampiasan. Fikri berusaha tawakkal dengan shalat Ashar di masjid. Saya sibuk sendiri menggaruk-garuk punggung yang tidak gatal.
Ajaib. Para fans yang memadati GBK seperti mendengar ucapan Bang Rizky. Terdengar jelas nyanyian suporter-suporter fanatik menggema di lapangan. "Yo ayo… ayo Indonesia… kuingin kita harus menang!" Darah saya terkesiap ke ubun-ubun. Bulu kuduk pun merinding. Rasanya seperti ikut nonton di stadion saja yang jauh ribuan kilometer di ujung timur bumi.
Memasuki 15 menit terakhir babak kedua, serangan itu ampuh juga. Nasuha berhasil memanfaatkan bola muntah hasil tendangan keras Bustomi. Kedudukan imbang. Jadi juara memang sudah hampir mustahil. Tapi paling tidak kita menang, menjaga rekor kandang di GBK. Ini bukan masalah juara atau tidak, tapi sudah masuk ranah harga diri bangsa. Mau ditaruh di mana muka ini kalau sampai Malaysia menang di Jakarta!
Satu gol lagi! Tendangan keras Ridwan dari luar kotak penalti menggetarkan jala gawang. GBK bergemuruh. Walau menang, kita tetap gagal menggenggam piala. Malaysia unggul agregat 4-2 dan mengangkat piala di kandang kita. Sungguh menyesakkan hati.
Tapi masih ada yang ‘sedikit‘ bisa dibanggakan.
Saya salut kepada para pemain yang mati-matian berjibaku di lapangan—walau saya nilai, pelatih Alfred Riedl sedikit salah taktik. Loyalitas pendukung juga tidak bisa dikesampingkan. Mereka tanpa henti bersorak-sorai menyemangati pejuang di lapangan. Susah-senang selalu bersama kesebelasan Merah-Putih.
Saya yakin, Indonesia suatu saat akan merajai sepakbola ASEAN dan berbicara banyak di kancah dunia. Itu terjadi ketika saya nanti yang jadi penasehat spiritual timnas. Pasti!
*Image courtesy of Getty Images
No comments:
Post a Comment