“MAN JADDA WAJADA!!!” Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang. Telunjuknya lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. Wajah serius, alisnya hampir bertemu dan otot gerahamnya bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami. Sungguh mengingatkan aku kepada karakter tokoh sakti mandraguna di film layar tancap keliling di kampungku, persembahan dari Departemen Penerangan waktu itu.
Man jadda waja: sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami, tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau kalah kencang.
“Man jadda wajada! “
Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokanku panas dan suara serak. Hingar bingar ini berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdenging-denging sementara wajah kami merah padam memporsir tenaga. Kaca jendela yang tipis sampai bergetar-getar di sebelahku. Bahkan, meja kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh air liur yang ikut berloncatan setiap berteriak lantang.
Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang energik ini tidak dimuati aura jahat sama sekali. Sebaliknya, dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat dan menikmatinya. Sumbu kecil kami terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan terang! Kami bagai lilin kecil yang baru dinyalakan. Dengan wajah berseri-seri dan senyum sepuluh centi menyilang di wajahnya, laki-laki ini hilir mudik di antara bangku-bangku murid barunya, mengulang-ulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyalak balik dengan kata yang sama, man jadda wajada.
Mantera ajaib berbahasa Arab ini bermakna ringkas tapi tegas: ”Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil”.
Laki-laki ramping ini adalah Ustad Salman, wali kelasku. Rambutnya ikal dipotong pendek, jambangnya dibiarkan agak pajang. Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar. Alisnya yang tebal datar menaungi sepasang bola matanya yang lincah dan memancarkan sinar kecerdasan. Dagunya ditumbuhi jenggot yang dipangkas rapi. Kaki dan tangannya yang panjang gesit bergerak ke setiap sudut kelas. Sebuah dasi berwarna merah tua terikat rapi di leher kemeja putihnya yang licin. Kedua lengan bajunya lebar dan berkibar-kibar setiap dia melenggangkan tangan dengan cepat. Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Sepatu hitam bertalinya mempunyai sol tebal dan selalu berdekak-dekak setiap dia berjalan di ubin kelas kami.
Selain kelas kami, ada sekitar puluhan kelas lain yang bernasib sama. Masing-masing dikomandoi seorang kondaktur yang energik. Sang kondaktur menyalakkan “manjadda wajada” dengan penuh otoritas sehingga membuat para subjeknya tergugah dan menjerit kencang. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo. Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana yang sangat kuat yang terus menjadi kompas kehidupan kami kelak.
***
Kisah di atas adalah potongan dari novel "Negeri 5 Menara" yang diterbitkan Gramedia. Aku memang belum membaca/ membeli karya tulis A. Fuadi, seniorku di Pondok Modern Gontor. Seperti yang dicuplik dari situs resminya, salah satu pesan utama novel ini adalah "man jadda wajada" sebuah pepatah Arab yang berarti "siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses". Pengalaman para tokoh di novel ini mengajarkan mereka bahwa apa pun mungkin diraih selama didukung usaha dan doa.
Nilai plus lagi, latar belakang pesantren tempat Alif, si tokoh utama terinspirasi dari Pondok Gontor walau dengan nama berbeda (Pondok Madani alias P.M.). Dari cuplikan diatas, aku sudah bisa mereka-reka kejadian yang dialami Alif dan kawan-kawan. Sedikit menguak romantisme masa lalu, he... he... he.... Enam tahun silam aku, sekerat pengalaman Alif tadi juga kualami dengan deskripsi yang hampir-hampir mirip.
Trus Hubungannya apa dengan keadaanku saat ini? Tentu saja berkaitan erat, sebab tadi malam (19/ 08) aku baru saja dilantik sebagai ketua IKPM Cab. Kairo. Dalam acara yang berbarengan dengan tarhib Ramadhan tersebut aku dan teman-teman seperjuangan dalam Dewan Pengurus mengucapkan ikrar sakral yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Ilahi Rabbi di akhirat kelak. Cukup berat memang. Apalagi pengalamanku sebagai belum teruji betul menakhodai biduk organisasi.
Tapi jangan khawatir, selama masih ada "man jadda wajada" semua bukan hanya mimpi! Rumus "man jadda wajada" sudah teruji di jagat raya ini. Ribuan orang sukses dan berhasil karena dirasuki spirit "man jadda wajada". Mantra ajaib ini akan terus melantang sanubari kami.
Cuplikan cerita dan Gambar dicubit dari: http://www.negeri5menara.com
No comments:
Post a Comment