Kerinduan
dengan para guru di pondok pesantren dulu mendorong saya untuk menulis
sekelumit memoar ini. Tulisan ini juga adalah untuk membayar janji untuk
melanjutkan catatan bagian pertama,
Oktober 2011 silam. Janji adalah hutang, harus ditepati meski baru bisa
terlunasi lebih dari setahun kemudian.
Kebetulan
hari Minggu lalu (30/12) saya dan beberapa alumni berkunjung ke tempat KH
Abdullah Syukri Zarkasyi menjalani terapi penyembuhan stroke di Pondok Labu,
Jakarta Selatan. Penyakit stroke terjadi pada pembuluh darah otak
yang dapat menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini terjadi ketika darah yang masuk
ke otak terganggu karena pembuluh darah dalam otak tersumbat oleh darah yang
beku atau pecah, sehingga beberapa sel-sel saraf dalam otak tidak bisa
berfungsi secara normal dan mati. Hal inilah yang menyebabkan kelumpuhan pada
anggota gerak, gangguan bicara dan penurunan kesadaran seperti yang dialami
Ustadz Syukri.
Tak terbayang, beliau yang dulu begitu gagah di podium memotivasi
para santri sekarang tak berdaya. Aktivitas beliau kebanyakan dilakukan di atas
kursi roda. Alhamdulillah selama menjalani masa pengobatan, sudah ada kemajuan
berarti. Beberapa gerakan sederhana sudah bisa dilakukan. Beliau pun sudah bisa
berucap meski tidak jelas dimengerti.
Aktivitas Ustadz Syukri buat pondok memang luar biasa. Kami mengenal
beliau sebagai pimpinan yang bertugas di garda depan. Tugas beliau lebih kepada
membuka jaringan dan hubungan ke berbagai kalangan. Tak heran jika beliau
sering bepergian baik dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk urusan ‘dalam
negeri’ Ustadz Hasan dan Ustadz Syamsul yang lebih banyak berperan. Berkat
sinergi yang kompak inilah, pesantren kami bisa mendirikan belasan cabang di
Jawa, Sumatera hingga Sulawesi. Solid luar dan dalam.
Kehadiran saya dan kawan-kawan adalah untuk mengkhatamkan
al-Qur’an di kediaman sementara beliau. Kami yang berjumlah 15 orang diberi
jatah masing-masing membaca satu juz. Pemimpin ritual ini adalah Farid, teman
satu angkatan saya yang hafiz—hafal 30 juz al-Qur’an—sekaligus qori ulung
bersuara merdu sejak semasa di pondok dulu. Sisa bacaan sejumlah kira-kira 15
juz kemudian diselesaikan oleh ‘pasukan khusus’ pimpinan Farid semalam suntuk
hingga subuh.
Ada satu momen malam itu yang membuat hati saya terharu-biru. Sewaktu
berjalan ke arah dapur, Pak Kyai yang duduk tidak jauh dari kami berusaha
mengucapkan sesuatu. Beliau berdiri ditopang oleh terapis yang juga kakak kelas
saya.
“Terima kasih banyak sudah datang. Mohon maaf atas jamuan saya yang
ala kadarnya ini,” ucapan beliau yang sekilas lebih mirip gumaman itu
diterjemahkan oleh si terapis.
Saya hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya ingin
sekali membalas ucapan beliau, “Justru kami yang berterima kasih. Perjuangan
ustadz demi kami jauh lebih besar. Seharusnya kami yang minta maaf karena tidak
bisa berbuat banyak buat ustadz,” kata-kata ini hanya bisa saya ucapkan dalam
hati.
Tercatat hanya ada beberapa orang yang menghadiri suasana melankolis
saat itu. Kalau saja saya termasuk lelaki perasa, mungkin saat itu juga saya
sudah menangis. Mungkin teman-teman yang ada saat itu juga merasakan hal yang
sama. Keterharuan itu hanya bisa saya terjemahkan lewat tangan saya yang
gemetaran memegangi piring.
#2
“Kalau kamu tidak lebih baik dari saya, lebih baik kamu tidak usah lahir, dan saya tidak usah mati! Hanya nambah jatah beras saja.”
Saat
mendengar ucapan ini ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi; tertawa,
merenung atau tertawa sambil merenung. Itulah petuah KH Hasan Abdullah Sahal,
salah satu pimpinan pesantren Darussalam Gontor tempat saya nyantri dulu. Kyai Hasan
ini terkenal dengan ceramahnya yang menggugah dan suka menelurkan gurauan
berupa kata-kata sederhana tapi mengena.
Di
satu sisi beliau keras dalam mendidik. Tak segan untuk mendamprat santri atau
guru sekalipun yang tidak disiplin. Saya dan kawan-kawan santri pernah menjadi
saksi hidup omelan beliau yang menusuk hati dan mendirikan bulu roma di aula
balai pertemuan. Saat itu memang kami yang salah karena datang terlambat.
Ketika naik pangkat jadi ustadz, kami juga tak luput dimarahi habis-habisan.
Meski
begitu, Ustadz Hasan rendah hati dan dekat dengan santri. Beberapa kali beliau
turun ke lapangan sepakbola ikut bermain karena di masa mudanya beliau adalah
striker handal dengan tendangan geledek. Beliau juga berjiwa seni sebagai
musikus penggebuk drum atau sekadar memetik gitar. Budayawan Emha Ainun Nadjib
pernah mengundang Ustadz Hasan dalam acara yang diadakannya.
#3
Sosok
pimpinan pondok ketiga yang memiliki kesan kuat adalah KH Imam Baderi yang
wafat tahun 2006. Saat itu saya duduk di kelas 6—setingkat kelas 3 SLTA. Meski sudah
memasuki kepala tujuh, Ustadz Badri masih energik dan sering terjun ke acara
santri. Pernah di suatu pagi buta di bulan puasa, beliau sudah berdiri tegak di
depan tangga mesjid merazia santri yang terlambat shalat subuh. Melihat kyai
yang disegani itu, kami lari membabi buta. Kantuk langsung lenyap.
Sosok
legendaris ini pernah ikut berjuang di masa penjajahan Jepang. Pada era
pemberontakan PKI di Madiun pun, beliau termasuk guru yang melindungi para kyai
dari kejaran komunis.
Mudah-mudahan
bisa berlanjut ke bagian 3. Kapan-kapan.
No comments:
Post a Comment