Akhir pekan.
Sore-sore saya duduk di muka televisi bersama kawan-kawan di asrama. Waktu itu
sedang tayang acara infotainment di
salah satu stasiun tv swasta.
“Acara
sampah!” cetus Riri sambil mengusap jidatnya.
“Iya tuh,
dari dulu gosip gak habis-habis. Ngapain juga orang cerai diekspos kaya gitu,”
saya menambahi.
“Waduh…. Ini
artis alay banget sih, pengen gue jitak,” ada lagi yang nyelutuk.
Begitulah,
kutuk dan sumpah serapah berloncatan di kamar berukuran 3x3 meter itu. Kami
semua menyesali adanya acara tidak bermutu itu. Merusak pola pikir penontonnya,
terutama generasi muda. Tapi anehnya, kami justru tak beranjak hingga tayangan
ini selesai 30 menit kemudian. Baru setelah wanita pembawa acara yang semlohai
itu uluk salam, kami buru-buru pindah saluran.
Kali ini
yang terpapar di tv adalah program budaya, jalan-jalan ke sebuah kota di
Sumatera, Baros. Rupanya—seperti dituturkan narator acara tersebut—kota ini
punya sejarah panjang. Panjang sekali, hingga abad-abad sebelum masehi. Kota yang
berada di bagian barat Sumatera Utara ini di masa lampau terkenal seantero
dunia sebagai penghasil kapur barus. Komoditas yang berasal dari kayu kamfer (Cinnamomum
camphora) ini dipakai oleh para raja Mesir kuno sebagai tonik (obat kuat)
dan obat-obatan, termasuk mengawetkan mumi 5 ribu tahun sebelum masehi. Konon kapur
barus termasuk barang mewah untuk masa itu di Timur Tengah dan Eropa. Acara tersebut
juga mengutip ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Innal abraara
yasyrabuuna min ka’sin kaana mizajuha kaafuuraa“ yang
artinya “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas
(berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur” (QS. 76:5)
Ayat di
atas menggambarkan keadaan para penghuni surga kelak. Kata “kafur” yang
maksudnya adalah kapur barus menunjukkan bahwa benda ini sudah dikenal di Arab
sejak dulu. Ini mengingat fakta bahwa Nabi Muhammad hidup di abad ke-7 hijriah saat
menerima wahyu al-Qur’an.
Lewat jalur
laut pula para saudagar mencapai kepulauan Maluku guna mendapat rempah-rempah,
terutama cengkeh dan pala. Selain sebagai bumbu dan obat, cengkeh pernah
berjaya karena kandungan eugenol dari bunganya juga bermanfaat guna mengawetkan
daging. Nusantara bersama wilayah tropis
seperti India, Srilanka dan Madagaskar adalah surga rempah-rempah saat itu.
Mungkin kemajuan
nusantara di masa lalu tidak terekam dengan baik seperti peradaban Babilonia,
Mesir kuno, Romawi, Cina atau Yunani. Pada tahun 2005, Professor Arysio Santos
menampilkan peta wilayah Indonesia dalam bukunya yang berjudul, “Atlantis: The
Lost Continent Finally Found.” Ahli geologi dari Brazil ini mengemukakan
hipotesa bahwa Indonesia adalah bagian dari benua legendaris Atlantis yang
tenggelam 10 ribu tahun silam.
Teori di
atas memang banyak diragukan, namun perlu dicermati. Bayangkan candi Borobudur
yang begitu megah, para ahli memperkirakan bangunan ini dibikin sekitar tahun
800-an masehi. Hampir mustahil untuk mendirikan bangunan yang punya kerumitan
arsitektur sedemikian rupa tanpa teknologi dan ilmu teknik mumpuni. Jauh sebelum
itu, orang Mesir sudah menunjukkan kemampuan menakjubkan dengan membangun
piramid dan kuil-kuil megah.
Saya jadi
teringat obrolan santai dengan seorang teman asal Lamongan, Habibi namanya.
“Tau gak
kenapa Belanda gak tenggelam?” daratan negeri kincir angin ini memang berada di
bawah permukaan laut dan rawan disapu air laut.
“Mereka kan
bikin bendungan buat menahan air laut,” saya mengajukan sebuah jawaban yang
sudah diketahui khalayak umum.
“Bisa jadi
demikian,” wajah jenakanya berubah serius. “Tapi… banyak orang Jawa berkeyakinan
bahwa itu karena adanya pusaka Jawa yang dibawa ke Belanda. Percaya atau tidak,
pusaka ini punya kekuatan magis yang sanggup melemahkan daya dobrak ombak yang
dahsyat. Kompeni tahu itu. Makanya bendungan-bendungan itu bisa bertahan sampai
sekarang.”
Sejak dulu
memang pemerintah kolonial Belanda banyak mengangkuti barang bersejarah dari
tanah air. Benda-benda berharga itu sampai kini dipajang di Tropenmuseum dan Rijksmuseum di Amsterdam
serta museum-museum lainnya.
Kita tidak
tahu semua yang telah terjadi di masa lampau. Tak semua yang terjadi tercatat
oleh tinta sejarah. Sempat terpikir oleh saya bahwa orang-orang zaman dulu
punya teknologi tak kalah canggih dengan masa kini. Kemungkinan lain, manusia
kala itu sakti mandraguna. Ini bukan klenik. Bisa jadi kesaktian didapat karena
mampu memaksimalkan berbagai potensi ragawi-rohani juga mengendalikan alam. Berkat
itu, mereka dengan mudah bisa mengangkat batu puluhan ton atau merekatkan bahan
bangunan tanpa lem dan semen.
Pengetahuan
terus berkembang. Apa yang selama ini kita alami hanya terbatas di dunia fisik
belaka. Percaya atau tidak, manusia dan alam masih menyimpan rahasia besarnya.
Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment