Saya jadi ikutan teler |
30
Oktober 2012
Selama di
Jakarta, hobi saya bertambah satu lagi: mencari tontonan gratis. Dari sononya
memang saya suka sekali menonton film. Bahkan saya kadang berlagak sok cerdas
mengkritik film yang ditonton. Bila saya menganggap film itu jelek, maka semua
lini produksi bakalan kena damprat. Tak peduli produser, sutradara, penata
artistik, tukang make-up hingga para aktor. Andai mereka tahu lagak saya ini,
pasti gantian saya yang diomelin,“Hei bro! Emang lu kira bikin film mudah?”
Pernah dua
kali saya harus mendatangi Museum Mandiri di kawasan Kota Tua Jakarta yang
jaraknya + 20 km-an dari Ciputat hanya untuk menonton film dokumenter
dan film tahun 50-an yang hitam putih.
Bioskop kelas premium di salah satu mall di kawasan Bundaran
Hotel Indonesia pun saya sambangi karena saya berhasil jadi salah satu pemenang
kuis berhadiah tiket.
Kali ini ada
undangan lagi lewat forum internet; premiere film Loe Gue End (LGE) di
salah satu bioskop di bilangan Rasuna Said, Kuningan. Rupanya sebelum tayang
secara resmi tanggal 1 November nanti, ada tayang perdana buat kalangan khusus.
Sayang premiere ini terbentur waktu kuliah malam saya. Ya sudah, akhirnya saya
mendaftarkan enam orang kawan-kawan dari Asrama Kal-Sel (AMKS). Biar mereka
saja-lah yang ketemu artis-artis itu.
Jam
21.00
Mata kuliah Principle
of Islamic Jurispundence baru saja usai. Inilah satu-satunya pelajaran yang
tidak bikin saya puyeng, sebab materi lainnya yang berupa teori ekonomi dan
akuntansi sudah sukses membuat urat-urat saraf saya kusut.
Oh, ada sms
masuk:
(Dari Mujib,
salah satu teman AMKS yang ikut premiere) sudah kelar ga kuliahnya? Filmnya
masih akan mulai seperempat jam lagi, cepat ke sini, nanti kami mintakan tiket
lagi.
Wah ini
rezeki.
(Saya) ok
bos, aku meluncur!
Dari
Sudirman ke Kuningan tidak terlalu jauh. Tapi karena saya tidak kenal baik
jalan yang menghubungkan dua daerah itu, perjalanan jadi lambat karena harus
tanya kepada beberapa mas-mas di pinggir jalan.
Film sudah
berjalan setengah jam. Yang saya pahami, film ini berkisah tentang Alana
(Nadine Alexandra), seorang model yang terjerat obat-obatan terlarang. Lalu tak
ada angin tak ada hujan, teman-temannya dari kalangan jet-set yang ada di
sekitarnya tewas satu persatu. Alana juga mendapat rentetan sms aneh dari
sebuah nomor tak dikenal. Apa rahasia di balik itu semua?
Nadine,
seorang gadis yang pernah memenangi kontes Miss Indonesia beberapa waktu yang
lalu ini, cukup berhasil memerankan seorang pecandu narkoba. Kedua matanya
selalu sayu dengan perasaan gelisah yang berlebihan. Dia dan kawan-kawannya
yang tampan dan cantik itu juga sering mencampuraduk bahasa nasional kita
dengan beberapa kosakata bahasa asing. Mungkin inilah salah satu gaya
komunikasi kaum sosialita.
Permen yang sempat bikin was-was itu |
Pesan film
ini jelas; jangan coba-coba dekat narkotika dan obat terlarang karena memang
tak ada gunanya. Kenikmatan yang diperoleh pun semu, cuma sesaat. Yang rugi
bukan cuma si pengguna, tapi juga orang lain di sekitarnya. Tapi saya heran, di
salah satu adegan kenapa sutradara seperti mengajarkan bagaimana meracik
narkoba “oplosan”. Di salah satu adegan dijelaskan bahwa ada satu jenis obat
yang bisa dibeli bebas di apotik, tapi jika dicampur dengan jenis minuman keras
tertentu akan memberikan efek nge-fly layaknya narkoba “resmi”.
Setiap
undangan yang hadir mendapat kaos dan sebungkus plastik berisi benda aneh.
Bentuknya bulat silinder berwarna putih & hijau. Mirip benda haram yang
tadi sering muncul di film! Untung saja
cuma permen.
Sutradara: Awi Suryadi
Cast: Nadine Alexandra, Dimas Beck, Manohara, Dion Wiyoko, Kelly Tandiono, Ray Sahetapy
Rating: 6,5/10
2 comments:
haha salah satu kalimat rancu yang tidak saya tulis "Muka lo cantik tapi bahasa lo kebun binatang semua" padahal kata-kata umpatan yang sering di ucapkan Alana adalah "anjing" Kebun binatang mana ya?
Hahaha... Mas Hendra ini bisa saja... Si Alana kerjaannya cuma ngomel-ngomel mulu :D
Post a Comment