Beberapa malam yang lalu saya bermimpi sangat aneh; saya jalan-jalan ke London,ibukota Inggris yang kesohor itu. Saya keliling kota ajaib itu dan mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah, alangkah bahagianya. Kenikmatan itu tidak lama karena lamat-lamat suara mengaji di Masjid membangunkan saya untuk sahur. Tapi sensasi yang sebentar itu cukup untuk membuat saya bangun terengah-engah dengan nafas memburu. Mimpi ke London di bulan puasa, sebuah kombinasi aneh memang.
Sambil
santap sahur masakan ibunda, saya mencoba menerawang apa yang membuat
saya bermimpi demikian. Banyak pakar ilmu jiwa berpendapat bahwa bunga
tidur disebabkan oleh pikiran yang secara sengaja atau tidak sengaja
tertinggal di alam bawah sadar kita saat tidur. Namun ada beberapa kasus
mimpi yang kadang jadi kenyataan—atau de javu—memang agak susah untuk dicari penyebab ilmiahnya.
Sampai
keesokan harinya saya mulai melupakan mimpi itu dan beraktivitas
sebagai mana biasa. Ketika saya membereskan tumpukan buku-buku koleksi Abah
(ayahanda, bhs Banjar), saya menemukan secarik kartu pos bergambar
Houses of Parliament, London. Ah iya, kartu pos ini sudah berumur hampir
empat tahunan. Saat itu, salah satu kolega Abah yang kuliah di Inggris
mengirimi beliau kartu pos, berikut penampakan benda tersebut:
Saya mencoba sedikit menganalisa bahwa mimpi saya kemarin salah
satunya disebabkan oleh benda ini. Memang saya agak sedikit terobsesi
dengan Inggris dan London-nya sejak masih SMA di Pesantren. Waktu itu
sekolah kami menggunakan buku terbitan Berlitz yang isinya tentang orang
yang jalan-jalan di kota London. Maka sejak saat itu saya dan
kawan-kawan akrab dengan nama-nama landmark London yang antik
itu; Big Ben, Piccadilly Circus, Hourses of Parliament, Westminster
Abbey, London Eye hingga terowongan selat Channel. Walau sebenarnya kami
hanya mengenal gambar yang dibawa oleh ustadz ke dalam kelas dan
berkhayal untuk berkunjung ke sana.
Salah satu pelajaran
yang paling berkesan adalah bab tentang restoran. Saya hanya bisa
ternganga dan menelan liur saat ustadz di kelas menjelaskan cara makan
orang Barat yang elit itu. Percakapan antara tokoh utama (kalau tidak
salah namanya Mr. Smith dan Mr. Brown) dengan waiter (pelayan)
melambungkan angan saya ke langit ke tujuh. ‘Ritual’ makan terbagi
menjadi tiga ronde dengan sup tomat dan aneka salad sebagai pembuka.
Lalu diteruskan dengan makanan berat berupa daging panggang dan diakhiri
dengan dessert penutup dan segelas anggur. Kami sekelas jadi lapar.
Obsesi
inilah yang membuat saya membeli sebuah buku panduan wisata London di
pasar buku bekas Azbakiya, Cairo dua tahun silam. Yang pertama saya
cari-cari adalah menu makan orang Inggris. Begitu senang rasanya melihat
foto menu sarapan ala Inggris yang ramai dengan sereal, roti, telur,
daging, the, susu hingga kopi terdapat di halaman ke empat. Saya tak
habis pikir, sebesar apa lambung orang-orang bule untuk memuat makanan
sebanyak itu.
Mudah-mudahan saja mimpi barusan adalah sekelumit wangsit atau bisikan gaib bahwa di masa depan saya akan berkunjung ke London, hehehe. Kalau saya benaran pergi ke sana suatu saat nanti, tak perlulah saya makan di restoran seperti Mr. Smith dan Mr. Brown. Cukup di pedagang kaki lima saja untuk menghemat biaya karena mata uang Poundsterling terhitung tinggi untuk ukuran kita. Doakan saja :)
1 comment:
ya udah saya doain deh, sekalian ntar saya nitip oleh - oleh hehehe..
Post a Comment