Cerita bermula pagi-pagi buta. Rama (diperankan Iko Uwais), terlihat sedang melakukan shalat subuh. Anggota satuan khusus kepolisian ini pamit kepada istrinya yang hamil tua dan ayahnya yang tampak gundah. Wajar saja jika orang terdekatnya khawatir, sebab Rama akan terjun ke medan perang. Rama didapuk sebagai salah satu dari 20 orang polisi elit yang menjalani sebuah misi penting.
Operasi ini dipimpin oleh komandan Jaka (Joe Taslim, atlet Judo Nasional). Targetnya adalah sebuah gedung yang jadi sarang para penjahat kelas kakap. Selama ini area hitam tersebut nyaris tak tersentuh karena mendapat beking oknum pejabat kepolisian.
Semuanya terlihat lancar hingga ketika sampai di lantai 6 mereka terjebak. Semua akses dan komunikasi dimatikan. Tama (Ray Sahetapy), penguasa gedung tersebut ternyata sudah menyiapkan ‘jamuan’ istimewa buat tamu tak diundang. Maka dikerahkanlah hampir semua anak buahnya yang bengis dan haus darah untuk menghabisi jagoan kita. Jaka, Rama dan anggota pasukan harus bertarung lantai demi lantai untuk mencapai singgasana Tama di lantai 15. Sebuah pertarungan mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh.
Tulisan di atas adalah cuplikan cerita The Raid, film action terbaru Indonesia yang diproduksi Merantau Films. Setelah sukses dengan film laga Merantau (2009) produser Ari Suprayogi kembali berduet dengan Gareth Evans, sutradara asal Wales. Gareth juga kembali menggaet lakon utama Merantau, Iko Uwais dan Yayan Ruhian.
Animo dan ekspektasi masyarakat terhadap film yang sedianya berjudul Serbuan Maut ini memang sedang tinggi-tingginya. Sudah lama genre laga tidak muncul di dunia perfilman kita sejak masa-masa Barry Prima dan Advent Bangun atau serial laga Wiro Sableng dan Angling Darma di era 90an.
Film yang menghabiskan biaya satu juta dolar—sekitar 10 milyar—ini menghiasi media-media nasional. Apalagi The Raid mendapat apresiasi tinggi di festival-festival film internasional. Yang paling keren adalah penghargaan sebagai pemenang Midnight Madness di Festival Toronto 2011. Ulasan para kritikus di situs resensi film macam IMDB atau Rotten Tomatoes juga memberikan tanggapan positif. Puncaknya, Sony Pictures Classic membeli hak distribusi The Raid untuk Amerika dan Kanada. The Raid juga tayang di bioskop Australia dan Inggris.
100 menit, 100 persen tegang.
Antusiasme inilah yang membuat saya dan 6 orang teman berbondong ke bioskop. Sebuah ritual yang jarang saya lakukan karena biasanya saya hanya download film-film bajakan dari internet. Sayang niat tulus untuk memberikan apresiasi khusus buat The Raid tak mulus. Kami kehabisan tiket karena penonton yang membludak. Apa boleh buat, niat nonton pukul tiga sore harus tertunda dua jam kemudian. Sembari menunggu waktu tayang, saya dan kawan-kawan masuk toko buku sambil baca majalah dan komik. Perlu diingat; cuma numpang baca. Ya, setelah puas membaca, buku itu kami letakkan ke rak semula.
Yang menjadi kekuatan utama The Raid adalah ketegangan dari awal hinggal akhir film. Penonton nyaris tak diberi waktu luang untuk menarik nafas, sebab aksi-aksi laga memukau terus menjejali benak penonton. Bak-bik-buk-duesh-brakk-dezing-door! Hujan pukulan dan tendangan sekali-kali ditingkahi desing peluru dalam tempo cepat. Bahkan selama 100 menit durasi film, saya tidak sekalipun melihat adegan slow motion.
Ironisnya, sempat-sempatnya Gareth menyisipkan beberapa humor di tengah kecamuk tegang. Ketua geng preman bergolok yang bengis luar biasa itu justru memancing tawa.
Pertarungan paling dahsyat tentu duel final antara si jagoan dan penjahat, seisi bioskop sampai riuh bertepuk tangan. Sungguh memorable!
Komposisi scoring musik yang tepat juga berhasil membawa penonton menyelami suasana tegang, kalut dan mencekam seperti yang dirasakan tokoh dalam film. Untuk film yang tayang di Amerika, Mike Shinoda, pentolan band Linkin Park yang menggarap scoring dan soundtracknya. Sedang buat di tanah air diramu oleh Ari Parayogi dan Fajar Yuskemal. Sekali lagi, saya bukan pakar musik, tapi ilustrasi musik mereka membuat saya larut dalam suasana.
Keseriusan dalam menggarap koreografi setiap adegan pertarungan harus diacungi jempol. Menurut berita yang saya baca, Yayan Ruhian dibantu Iko bekerja keras mempersiapkan koreografi selama 4 bulan. Kerja yang tak sia-sia jika melihat hasil maksimal dalam setiap adegan. Yayan yang juga berperan sebagai Mad Dog sungguh terampil memadukan para aktor yang berasal dari berbagai aliran beladiri. Meski pencak silat yang lebih ditonjolkan, sekilas memang agak mirip perkelahian dalam film action Thailand, Ong Bak. Saya yang tak paham beladiri saja terkagum-kagum. Brutal tapi indah, darah ciprat di mana-mana. Saya sempat menutup wajah dengan tangan karena tidak sanggup menyaksikan beberapa adegan sadis.
Saya tidak habis pikir, ada saja orang tua yang mengajak anaknya yang masih kecil nonton The Raid, duduk tepat di samping kami. Padahal tertulis jelas di poster dan iklan bahwa film ini untuk dewasa. Kebrutalan laganya tak cocok buat anak-anak. Pihak bioskop harus lebih tegas lagi. Masih ingat kan ketika dulu demam gulat Smack Down melanda Indonesia? Banyak anak-anak yang mencoba adegan berbahaya tersebut. Gak kebayang jika mereka sampai gandrung The Raid.
Saya tidak heran jika para kritikus luar negeri memberikan pujiannya terhadap The Raid. Dalam beberapa tahun belakangan, film action Holywood hanya jadi arena spesial efek dan tipuan digital komputer yang berlebihan. Penonton sudah mencapai titik jenuh. Makanya, ketika The Raid tampil di festival-festival, para sineas seperti mendapat angin segar.
Walau telah dipuji setinggi langit, The Raid bukan tanpa kelemahan. Bolong yang paling kentara adalah cerita yang dangkal dan terlalu sederhana. Latar belakang penyerbuan tidak diceritakan secara gamblang, hanya ditebar di beberapa bagian film. Sehingga penonton harus berpikir keras untuk memahami cerita secara utuh.
Penonton yang teliti juga akan menemukan lubang-lubang dalam logika cerita. Kesalahan kecil ini berpotensi merusak sensasi film ini. Untuk lebih jelasnya tonton saja sendiri.
Selain itu beberapa dialog yang kaku membuat kening saya berkerut. Terutama di bagian awal-awal film ketika Jaka memberikan pengarahan kepada anggota pasukan di dalam mobil. Bisa jadi ini karena naskah yang ditulis oleh Gareth dalam Bahasa Inggris diterjemahkan mentah-mentah.
Untung saja kekurangan-kekurangan ini tak mengganggu kenikmatan menonton. Toh ini film laga, bukan drama yang butuh pikiran. Yang dijual tentu aksi-aksi memukau dan laga pemacu adrenalin. Jadi yang perlu anda lakukan adalah duduk manis dan tonton saja. Jangan banyak berpikir.
Walhasil, sekeluar dari bioskop menuju tempat parkir, tangan dan kaki saya kepingin bergerak sendiri menirukan jurus-jurus maut Rama. Saya berkhayal ikut serta menyerbu markas Tama menghadapi para penjahat berdarah dingin. Ciaat!
Rating: 8/10
Ciputat, 28 Maret 2012.
1 comment:
saya sampai nonton 2 kali tetep rada merem melek nontonnya.hehe dan yang kedua kali saya sampe ngitungin peluru yg habis pas letnannya mau bunuh diri di akhir film. ternyata emang pas, 6 peluru sebelumnya yang udah ditembak.hehe
pasang peta di blog dapat hadiah
Post a Comment