Jika dilihat dari postur tubuh dan keriput yang berlipat-lipat di wajah mereka, saya menaksir sepasang bule itu berusia lebih dari setengah abad. Dengan menggelembungkan sedikit nyali, saya dan Novan memberanikan diri menyapa mereka.
“Hello…”
“Hello…” si kakek membentang senyum di bibirnya. Sekelumit rasa percaya diri saya mengembang.
“Ee… where are you from?” saya sedikit tergagap, agak takut kalau bahasa Inggris saya kurang dimengerti.
“We are from Wales,”
“Wow…. Ryan Giggs…!” spontan, saya langsung teringat pemain kesebelasan Manchester United asal Wales ini. (Percakapan selanjutnya saya terjemahkan di sini dalam Bahasa Indonesia)
“Hahaha… Tahu banyak juga kamu… selama ini orang hanya tahu ‘Putri Diana’ saja dari negara Wales. Kamu dari mana?”
“Indonesia,”
“Tahun kemarin teman saya ini berlibur ke Bali,” ujarnya sambil memanggil sepasang kakek-nenek bule ke arah kami. Dua orang jompo mendekat dan ikut nimbrung.
“Anda dari kota mana di Wales? Swansea? Cardiff?”
“Kami dari Swansea…” tampaknya dua manula ini sangat antusias karena saya banyak tahu tentang negara mereka. Padahal saya sok tahu saja. Dua nama terakhir adalah dua tim sepakbola Liga Inggris. Ternyata nonton bola di tv ada berkahnya juga.
Di tepi pelabuhan Port Said itu kami berenam terlibat perbincangan. Dua pasang bule ini bercerita bahwa mereka ikut pelayaran kapal pesiar dari Inggris ke Siprus. Kapal mereka merapat di Port Said selama sehari. Nanti malam perjalanan dilanjutkan ke Israel lalu mampir ke Yerussalem, tanah suci tiga agama, termasuk umat Kristiani seperti mereka.
“Setelah ziarah ke Yerussalem kami lanjut ke Siprus. Dari sana kami pulang ke Inggris naik pesawat,”
Hmm… sudah pasti mereka orang-orang kaya duit. Untuk ke Timur Tengah saja mereka rela repot-repot naik kapal pesiar selama kurang lebih dua minggu. Padahal kalau pakai pesawat jauh lebih cepat. Tapi, memang harus diakui bahwa naik kapal pesiar lebih berkesan dan berkelas. Kalaupun bukan termasuk golongan konglomerat, bisa jadi mereka pemenang undian berhadiah.
“Di kapal yang kami tumpangi itu banyak juga lho orang Indonesianya. Mereka bekerja sebagai awak kapal,” si kakek menunjuk kapal pesiar mewah di sebelah sana. Sebuah logo perusahaan wisata Inggris terpampang gagah di cerobong asapnya yang lonjong. Sayup-sayup terdengar suara gitar dan drum dari kapal itu. Mungkin ada pertunjukan musik. Di atap kapal paling atas, beberapa bule berjemur di atas kursi sambil menyeruput minuman berwarna merah. Entah anggur atau jus biasa.
Kami pun berpisah. Dan betul, beberapa saat kemudian saya dan Novan berpapasan dengan orang Indonesia asli. Usianya saya taksir sekitar 30an.
“Nama saya Sidik dari Madura. Saya bagian housekeeping di kapal pesiar itu. Dua minggu sekali kami mampir di Mesir. Kalau gak di sini, ya di Alexandria,”
“Enak dong Mas, bisa keliling dunia,” kata Novan.
“Hehehe… bisa saja kalian. Namanya juga kerja, ada enaknya, ada nggaknya…”
Maka, selama di perjalanan dalam bus kembali ke Cairo, kami memperdebatkan profesi awak kapal pesiar.
***
Kota Port Said terletak di pesisir utara Mesir, di bibir laut Mediterania. Port Said adalah muara dari Terusan Suez. Tinggal berlayar selama belasan jam ke arah utara, sampailah ke Yunani, pulau Siprus yang mungil atau Turki. Selama setengah hari, saya dan Novan sempat mampir ke kota pelabuhan ini. Sehari sebelumnya kami mengunjungi teman yang kuliah di Ismailiyah. Sebelum balik ke Cairo kami jalan-jalan sebentar ke kota ini. Cuma 88 kilometer dari Ismailiyah atau sekitar satu jam perjalanan sambil melewati perkebunan Mangga.
Kota Ismailiyah dan Port Said (dan juga Suez yang bersentuhan dengan laut Merah) termasuk rentetan paket pembangunan terusan Suez. Terusan yang menghubungkan laut Mediterania dan laut Merah ini adalah mega-proyek yang merubah peta transportasi laut dunia. Jarak Eropa dan Asia tidak sejauh dulu lagi, sewaktu harus menyambangi Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika untuk sampai ke ke Benua Kuning. Apalagi ketika itu permintaan industri tekstil dunia terhadap kapas produksi Mesir begitu tinggi.
Pada tahun 1855, Khedive Said penguasa Mesir kala itu menandatangani perjanjian dengan Prancis untuk pembangunan terusan. Empat tahun berselang kota Port Said—berasal dari nama sang Khedive—didirikan sekaligus memulai proyek pembangunan. Maka, semenanjung pembatas antara Asia dan Afrika dibelah. Ribuan tenaga manusia dikerahkan untuk menggali jalan buat kapal supaya bisa lewat. Satu dekade kemudian, tepatnya 17 November 1869, Terusan Suez resmi dibuka.
Dalam perkembangannya, Khedive Ismai’l yang menggantikan Said harus menjual sebagian besar sahamnya di Suez Canal Company kepada Inggris. Hal itu terpaksa dilakukan untuk menutupi hutang peninggalan Said. Seterusnya selama beberapa puluh tahun Inggris bersama Prancis mengontrol Terusan Suez. Hingga nasionalisasi besar-besaran Presiden Gamal Abdel Nasser tahun 1956, berhasil mengusir kekuatan kolonial itu sekaligus menjadikan terusan ini milik negara. Selama dan pasca era perang Arab-Israel (sekitar 1967-1975) Terusan Suez sempat tidak berfungsi. Tahun 2006-2007 pemerintah Mesir mendapat pemasukan sekitar 4 milyar dolar dari kapal yang merapat dan melintas di terusan ini. Angka ini adalah pendapatan nomor tiga terbesar Mesir. Adapun income puncak diperoleh negara ini dari bidang pariwisata.
Adapun Ismailiyah dulunya berfungsi sebagai tempat tinggal para pekerja yang menggali Terusan Suez. Kota kecil ini relatif tenang dibanding Cairo yang sumpek. Taksi warna kuning mendominasi jalan. Karena kota yang didirikan Khedive Ismail ini tidak besar, maka tak ada bus kota. Untuk bepergian ke mana-mana, bisa naik taksi dengan ongkos berkisar antara 3-5 pound sekali jalan.
Saya sempat nongkrong di monumen peringatan perang 6 Oktober yang berada di tepi terusan Suez yang melewati Ismailiya. Dalam jarak tidak lebih dari dua menit, ada saja kapal yang lewat. Dari kapal penumpang, pengangkut peti kemas, tanker hingga kapal pesiar berlayar berduyun-duyun. Mungkin salah satunya ada yang menuju Indonesia.
***
Sambil menyisir pertokoan yang ada di tepi pantai, sesekali saya memanjangkan leher ke arah toko penjual ponsel. Sekali-kali saya menengok puluhan HP yang terpajang di etalase. Namun jika ingat bahwa di saku saya hanya ada ongkos untuk kembali ke Cairo, saya berlalu saja sambil menghela nafas panjang. Hingga di depan rumah makan seafood, kami dicegat dua lelaki berwajah Asia Tenggara. Dari logat bicara dan t-shirt yang dipakai, sepertinya mereka dari Filipina.
“Indonesia?”
“Yes…” saya dan Novan menggangguk berbarengan.
“Where is your ship? Kalian naik kapal yang mana?”ada dua kapal pesiar tertambat di dermaga.
Saya dan Novan cengar-cengir saja.
Cairo, 20 November 2011. Tepat seminggu sejak kembali dari Terusan Suez.
No comments:
Post a Comment