Ruangan perpustakaan fakultas Ushuluddin tidak senyap seperti biasanya. Kali ini agak ramai. Ada beberapa mahasiswa yang sudah lulus duduk antri di depan meja ustadz Gamal. Mereka adalah mahasiswa yang sedang mengurus ijazah, termasuk saya. Masing-masing menunggu namanya dipanggil.
Di hadapan saya terdapat seorang pria seusia saya. Mahasiswa juga tentunya. Wajah peranakan arab dengan berjenggot lebat menjalar dari cambang hingga dagu. Mirip sarang tawon, demikian saya membatin.
“Mana paspor kamu?” ustadz Gamal mengulurkan tangan kanan dengan telapak hadap ke atas. Jari telunjuknya bergerak-gerak dari depan ke belakang. Sebuah isyarat untuk meminta.
Ooo, ternyata si empunya sarang tawon adalah mahasiswa asing (non-Mesir). Mungkin dari negara Arab lain. Sebuah buku tipis seukuran dompet dia keluarkan, tentu sebuah paspor. Tapi berbeda dengan warna sampul paspor dari negara lain yang hanya pakai satu warna (biru tua, merah atau hijau seperti Indonesia), punya si jenggot memiliki tiga warna sekaligus; merah, hitam dan hijau.
Untung ustadz Gamal dapat panggilan telepon. Dia mohon diri ke luar ruangan. Ini kesempatan bagus.
“Min ayna antum? Dari negara mana kamu?” rasa penasaran saya sudah tak bisa ditolerir.
“Libya, kami berdua dari Benghazi,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Rekan senegaranya yang duduk di ujung ruangan ikut mendekat. Rupanya ada dua orang Libya di ruangan ini.
“Berarti kalian anti-Qaddafi dong…” kota Benghazi adalah basis militan yang meruntuhkan rezim Muammar Qaddafi.
“Benar. Habis ujian bulan Juli kemarin saya pulang kampung. Ikutan perang,”
Rasa kagum dan terkejut secara otomatis membuat kedua mata saya terbelalak. Pupil mata saya membesar.
“Pakai senapan betulan?”
“Ya iyalah.,”
“Kalashnikov AK-47?” saya menyebut merek senapan serbu masyhur asal Rusia.
“AK 47 itu sudah termasuk kuno. Kita biasanya pakai senapan FN buatan Belgia, pelurunya kaliber 7,62 kali 51 milimeter,”
Saat revolusi Mesir, 25 Januari lalu, televisi sempat menayangkan demonstran yang berdarah-darah kena peluru karet dari polisi. Emang, tidak sampai hilang nyawa, tapi keadaannya cukup mengenaskan. Saya tidak sanggup membayangkan apa jadinya kalau kena serempet peluru tajam dari senapan serbu di Libya.
“Alhamdulillah kami berdua tidak kenapa-kenapa, belum pernah kami keserempet peluru atau kena pecahan bom,” si jenggot yang bernama Alauddin itu seperti bisa membaca pikiran yang berputar di otak saya.
“Saya tidak tahu persis, berapa orang tentara Qaddafi yang saya bikin tewas. Pokoknya di mana sumber tembakan, ke arah sanalah kami mengarahkan moncong senapan. Kadang-kadang membabi-buta supaya musuh takut. Waktu merebut kota Tripoli, bulan Agustus kemarin, saya termasuk berada di garis depan,” temannya yang mirip aktor Liev Schreiber—tapi berjenggot tipis—ikut menambahi.
“Terus kelanjutan Libya gimana?
“Sekarang Dewan Transisi Nasional yang memegang kendali sampai ada presiden baru. Para militan juga dilucuti dan menyerahkan senjatanya pada Dewan Transisi. Insya Allah Libya akan memakai hukum Islam seperti yang rakyat kehendaki selama ini. Dulu waktu Qaddafi berkuasa, aktivis Islam begitu dibatasi gerak-geriknya, dicurigai sebagai penentang pemerintah. Foto paspor saja gak boleh pakai jenggot,” Alauddin membuka paspor tiga warnanya. “Akhirnya jenggot kami memproklamirkan kemerdekaannya,”
“Dan akhirnya Libya pakai bendera baru kayak di paspor itu?” saya menunjuk paspor di genggamannya.
“Paspor Libya aslinya warna hijau, terus sampulnya saya tempeli stiker tiga warna ini. Justru tiga warna ini adalah bendera Libya yang asli. Warna merah melambangkan darah pahlawan yang gugur melawan penjajah Italia. Warna hijau berarti kemerdekaan dan Libya yang makmur dan sejahtera. Sedangkan warna hitam ditambah bulan sabit dan bintang adalah simbol Islam. Setelah Qaddafi mengkudeta Raja Idris tahun 1969, dia merubah bendera jadi warna hijau polos. Katanya warna hijau itu simbolisasi ideologi politisnya. Entahlah. Mungkin ini satu-satunya bendera negara di dunia yang cuma satu warna dan gak pakai corak apa-apa,”
***
Untung saja ustadz Gamal sudah tiba. Kalau tidak, mungkin kami akan tenggelam dalam diskusi panjang sampai berjam-jam membahas politik Libya dan Timur Tengah yang lagi panas. Kisah kediktatoran Muammar Qaddafi juga sangat seru jika diceritakan oleh salah satu anggota militan anti pemerintah.
Ada beberapa teman saya dari negara Afrika yang negaranya sempat terjebak dalam perang sipil seperti Libya. Yang barusan masih hangat adalah konflik di Sudan hingga republik ini terpecah jadi dua. Atau perang saudara di Pantai Gading dan Sierra Leone yang sudah kembali damai. Mungkin inilah penyebab rata-rata mahasiswa dari negara-negara Afrika di Cairo agak susah diatur dan keras kepala. Kehidupan yang keras dan konflik yang berkepanjangan membentuk mental mereka sedemikian rupa.
Indonesia memang mengidap seribu satu masalah. Bentrok antar etnis juga sempat meletup beberapa tahun silam, dan ribuan jiwa jadi korban. Meski begitu, saya masih bersyukur kejadiannya tidak segawat yang dialami Alauddin dan kawan-kawan. Tidak terbayang bagaimana rasanya menenteng senapan dan menjinjing granat betulan. Desing peluru dan ledakan mortir jadi santapan sehari-hari. Asap ledakan bom dan awan sudah tidak ada bedanya lagi. Cukuplah benda-benda mengandung mesiu itu jadi pekakas TNI di gudang senjata saja.
Hari kedua Pemilu Legislatif di Mesir. 29 November 2011.
No comments:
Post a Comment