Welad el ‘Am
Sutradara: Sherif Arafa
Pemain: Karim Abdel Aziz, Mona Zaki, Sherif Mounir
Produksi: El Massa Production, Egypt, 2009
Sutradara: Sherif Arafa
Pemain: Karim Abdel Aziz, Mona Zaki, Sherif Mounir
Produksi: El Massa Production, Egypt, 2009
Secara harfiah arti “Welad el ‘Am” adalah sepupu. Sebelumnya saya sempat mengira-ngira bahwa film ini berkisah tentang dua sepupu yang memperebutkan cinta seorang wanita. Sampai berbuntut kekerasan pula—dilihat dari posternya yang menampilkan dua lelaki dengan luka di wajah dan satu perempuan.
Ternyata saya salah.
Alkisah, ada sepasang suami istri berlibur di pesisir Port Said beserta dua anaknya. Dari sini saya sudah curiga, kenapa dalam adegan bahagia seperti ini, bukannya diisi oleh musik pengiring yang romantis atau ceria. Yang ada malah alunan instrumen musik yang “suram”. Bak film horror saja.Sutradara Sherif Arafa rupanya tidak mau buang-buang waktu. Kurang dari lima menit sejak film bermula, tensi cerita sudah mulai tegang. Rupanya Ezzat alias Daniel—sang suami—adalah mata-mata Israel yang diseludupkan ke Mesir. Karena intelejen Mesir berhasil membongkar kedoknya, Danielpun kabur ke negara asalnya bersama keluarga melalui perairan Port Said.
Salwa—sang istri yang diperankan oleh Mona Zaki—diguncang dilema. Ia tak menyangka lelaki yang hidup bersamanya selama 7 tahun adalah intel Yahudi. Salwa bimbang antara kabur ke Mesir bersama anaknya atau ikut suami.
Sebenarnya Daniel juga berada dalam tekanan. Dinas Intelejen Mossad juga mempertanyakan keputusannya membawa anak-istri ke Israel. Alasan pribadi Daniel rupanya belum diterima para petinggi Mossad. Oleh karenanya, Salwa selalu berada dalam pengawasan Daniel dan Mossad.
Lalu muncul jagoan penyelamat. Pemerintah Mesir mengutus Mustafa (Karim Abdel Aziz) untuk membawa pulang Salwa dan kedua anaknya. Mustafa adalah salah satu agen terbaik Mesir yang fasih berbahasa Ibrani seperti orang Yahudi.
Wellad el ‘Am adalah satu dari sekian film yang menyinggung konflik Arab-Yahudi. Bisa dibilang terlambat, saya baru tahu orang Arab menyebut Yahudi sebagai sepupu. Mungkin jika dilihat dari akar geneologis bahwa Yahudi dan Arab sama-sama keturunan Nabi Ibrahim AS. Arab dari Nabi Ismail sedangkan Nabi Ishaq menjadi moyang Yahudi.
Sebagai orang yang pro-Palestina, saya berpendapat film ini layak dapat nilai 7 dari maksimal 10. Para aktor berperan cukup cemerlang. Selama hampir dua jam, aktris Mona Zaki memainkan peran wanita yang selalu cemas dan dibayangi ketakutan. Meski meneguhkan hati untuk ‘mengkhianati’ Daniel, namun ia masih menyimpan segumpal cinta pada suaminya itu.
Sedangkan Sherif Mounir menerjemahkan tokoh Daniel sebagai suami yang rela berkorban untuk keluarga. Namun di sisi lain, sebagai agen Mossad ia memiliki sisi gelap; lelaki keras berdarah dingin. Yang biasa-biasa saja justru Karim Abdel Aziz. Padahal dengan kapasitasnya sebagai jagoan, sebenarnya saya berharap lebih. Dialog-dialog antar lakon cukup membuat kita berpikir tentang akar perseteruan abadi dua bangsa ini.
Adegan laga yang muncul di awal (saat penggerebekan mata-mata Israel di Kairo) dan akhir (Mustafa menerobos kantor Mossad dan melarikan Salwa beserta anaknya) terkonsep dengan bagus. Walau tidak maksimal, kerapian kerja agen Yahudi bisa dibahasakan dengan baik.
Hanya saja saya dibuat heran dan takjub karena begitu mudahnya Mustafa membobol ruang kerja Daniel di Mossad. Belum lagi ketika teman-teman Mustafa membuat onar begitu saja di tengah perkotaan dengan senjata api dan bazoka. Special effect pesawat tempur di perkampungan Palestina kurang halus. Sudahlah, namanya juga film bukan Hollywood.
NB: Judul versi Inggris film ini: The Wall/ Escaping Tel Aviv
Ternyata saya salah.
Alkisah, ada sepasang suami istri berlibur di pesisir Port Said beserta dua anaknya. Dari sini saya sudah curiga, kenapa dalam adegan bahagia seperti ini, bukannya diisi oleh musik pengiring yang romantis atau ceria. Yang ada malah alunan instrumen musik yang “suram”. Bak film horror saja.Sutradara Sherif Arafa rupanya tidak mau buang-buang waktu. Kurang dari lima menit sejak film bermula, tensi cerita sudah mulai tegang. Rupanya Ezzat alias Daniel—sang suami—adalah mata-mata Israel yang diseludupkan ke Mesir. Karena intelejen Mesir berhasil membongkar kedoknya, Danielpun kabur ke negara asalnya bersama keluarga melalui perairan Port Said.
Salwa—sang istri yang diperankan oleh Mona Zaki—diguncang dilema. Ia tak menyangka lelaki yang hidup bersamanya selama 7 tahun adalah intel Yahudi. Salwa bimbang antara kabur ke Mesir bersama anaknya atau ikut suami.
Sebenarnya Daniel juga berada dalam tekanan. Dinas Intelejen Mossad juga mempertanyakan keputusannya membawa anak-istri ke Israel. Alasan pribadi Daniel rupanya belum diterima para petinggi Mossad. Oleh karenanya, Salwa selalu berada dalam pengawasan Daniel dan Mossad.
Lalu muncul jagoan penyelamat. Pemerintah Mesir mengutus Mustafa (Karim Abdel Aziz) untuk membawa pulang Salwa dan kedua anaknya. Mustafa adalah salah satu agen terbaik Mesir yang fasih berbahasa Ibrani seperti orang Yahudi.
Wellad el ‘Am adalah satu dari sekian film yang menyinggung konflik Arab-Yahudi. Bisa dibilang terlambat, saya baru tahu orang Arab menyebut Yahudi sebagai sepupu. Mungkin jika dilihat dari akar geneologis bahwa Yahudi dan Arab sama-sama keturunan Nabi Ibrahim AS. Arab dari Nabi Ismail sedangkan Nabi Ishaq menjadi moyang Yahudi.
Sebagai orang yang pro-Palestina, saya berpendapat film ini layak dapat nilai 7 dari maksimal 10. Para aktor berperan cukup cemerlang. Selama hampir dua jam, aktris Mona Zaki memainkan peran wanita yang selalu cemas dan dibayangi ketakutan. Meski meneguhkan hati untuk ‘mengkhianati’ Daniel, namun ia masih menyimpan segumpal cinta pada suaminya itu.
Sedangkan Sherif Mounir menerjemahkan tokoh Daniel sebagai suami yang rela berkorban untuk keluarga. Namun di sisi lain, sebagai agen Mossad ia memiliki sisi gelap; lelaki keras berdarah dingin. Yang biasa-biasa saja justru Karim Abdel Aziz. Padahal dengan kapasitasnya sebagai jagoan, sebenarnya saya berharap lebih. Dialog-dialog antar lakon cukup membuat kita berpikir tentang akar perseteruan abadi dua bangsa ini.
Adegan laga yang muncul di awal (saat penggerebekan mata-mata Israel di Kairo) dan akhir (Mustafa menerobos kantor Mossad dan melarikan Salwa beserta anaknya) terkonsep dengan bagus. Walau tidak maksimal, kerapian kerja agen Yahudi bisa dibahasakan dengan baik.
Hanya saja saya dibuat heran dan takjub karena begitu mudahnya Mustafa membobol ruang kerja Daniel di Mossad. Belum lagi ketika teman-teman Mustafa membuat onar begitu saja di tengah perkotaan dengan senjata api dan bazoka. Special effect pesawat tempur di perkampungan Palestina kurang halus. Sudahlah, namanya juga film bukan Hollywood.
NB: Judul versi Inggris film ini: The Wall/ Escaping Tel Aviv
3 comments:
Di Indonesia diputar nggak Mas?
Gak tau mas... kayaknya sih tidak. Padahal di sama komunitas Muslim Amerika, film ini diputar di negeri paman sam
Wah, sayang sekali ya..gak bisa nonton di Indonesia :-D
Post a Comment