Lama menunggu bus jurusan el-Sayeda Aisha dari terminal Zahra, aku dan tujuh laskar Armada Jelajah IKPM Cab. Kairo (Jamil, Nurdin, Irfan, Arwani, Niam, Amien dan Zahro) mencegat tramco menuju terminal H-7. Terpaksa rute yang diambil meloncat-loncat karena bus 353 dan 65 yang biasanya langsung mengarah ke el-Sayeda Aisha itu tak kunjung datang. Begitu kami sampai, bus 24 jurusan Darrasah baru saja tiba. Masih kosong, belum banyak orang di dalam. Dari Darrasah sudah dekat, tinggal mencegat bus yang lewat benteng Shalahuddin (Saladin Citadel). Dulu aku bersama seorang teman pernah mencoba jalan kaki dari el-Sayeda Aisha ke Darrasah. Wuih! Kaki terasa mau copot. Untung saja pemandangna sepanjang jalan tidak membosankan. Benteng Shalahuddin yang perkasa, indahnya Azhar Park hingga reruntuhan dinding kota Kairo dinasti Ayyubiyah berderet sepanjang trotoar.
Mujib–laskar ke-9–berdiri melambaikan tangan di depan masjid el-Sayeda Aisha. Lelaki berambut cepak ini berdomisili di asrama Bu’uts, hingga tidak perlu berangkat bareng kami dari H-10 Nasr City. Kami langsung menunaikan Shalat Ashar di masjid ini, sekaligus ziarah ke makam Sayyidah Aisyah. Beliau adalah putri Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali Zainul Abidin bin Imam Husain cucu Rasulullah Saw. Beliau terkenal ahli ibadah, di samping itu juga terkenal seorang yang sangat dermawan. Setiap hari ia bersedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, meski terkadang beliau sendiri dalam keadaan ekonomi sulit. Makam beliau dilingkungi pagar besi mungkin dengan maksud agar para peziarah tidak berbuat macam-macam yang tidak sesuai syari’at. Namun ada saja yang menyelipkan uang, bahkan foto ke dalam pagar tersebut.
Selanjutnya kami menyeberang jalan, menuju makam ulama besar Imam as-Suyûthi. Nama lengkap beliau ialah Abdul Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiqudin bin al-Fakhr Usman al-Khudairi As-Suyûthi. Seorang cendikiawan dan ulama agung al-Azhar. Dilahirkan pada tahun 749H (6 tahun sebelum kematian ayahandanya). Beliau adalah seorang pembaharu pada abad ke-9 H. Kitabnya karyanya: Jami’ Saghîr Asbah wa Nazhâir ar-Rahmân, Al-Itqân, Tafsir Jalâlain, Tadrîb ar-Râwi dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 933 H.
Maghrib akan menjelang, untung saja Museum Mustafa Kamil belum tutup. Di dalam bangunan kecil ini terdapat makam Mustafa Kamil, tokoh nasionalisme Mesir pada masa penjajahan Inggris. Selain makam pengacara legendaris ini, disemayamkan 3 jasad tokoh lainnya; Mohammad Farid, Abdurrahman ar-Rafi’i dan Fathi Ridhwan. Seorang petugas memandu kami menjelaskan sejarah benda-benda peninggalan yang terdapat di sini. Memperkenalkan sebuah cagar budaya bernilai sejarah. Dan yang lebih penting, gratis! Tidak ada tiket masuk.
Karena sudah gelap, kami bergegas menapak Masjid Rifa’i dan Madrasah Sultan Hassan. Sayangnya bangunan terakhir sudah tutup. Padahal masjid sekaligus pusat pendidikan fikih empat mazhab pada masa Dinasti Mamalik berkuasa ini termasuk salah satu peninggalan umat Islam terbesar di dunia. Berdiri kokoh dengan dinding cokelat yang eksotis. Konon, Sultan Hassan membangun madrasah ini (1348-1351 M) menggunakan bebatuan yang diambil dari Piramida Giza. Wallahu a’lam.
Persis di sisi masjid Sultan Hassan berdiri Masjid Rifa’i (nisbah kepada Abi Syubbak Hafizh Rifa’i, seorang juru dakwah besar). Ide pembangunan masjid ini lahir dari ibu Khedive Ismail tahun 1287 H/ 1869 M dan rampung tahun 1912. Di dalam masjid Rifa’i dimakamkan beberapa raja, termasuk Fuad II (Raja Farouq, raja terakhir Mesir yang direvolusi tahun 1952). Juga ada beberapa makam Syah Iran, kaisar terakhir Parsi yang digulingkan pada 20 Februari 1979. Sekilas dua masjid ini terlihat kembar, karena memiliki model dan ketinggian hampir sama. Namun berbeda dari berbeda dari menara dan warna batu kedua bangunan.
Setelah shalat Maghrib di Masjid Rifa’i dan memuaskan diri dengan berfoto-ria, kami mengisi perut yang kosong dengan burger kofta di dekat Shalahuddin Park. Malam merayap, azan Isya tiba, kami beranjak pulang.
No comments:
Post a Comment